Sakit Maag, Diisolasi Bayar Rp 10 juta/hari

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 20 Jul 2020 22:11 WIB

Sakit Maag, Diisolasi Bayar Rp 10 juta/hari

i

Ilustrasi

Hasil Investigasi Tim Surabaya Pagi di Beberapa Rumah Sakit Swasta Terkait Pasien Covid-19 

  

Baca Juga: DSDABM Kota Surabaya Akan Segera Tuntaskan 245 Titik Banjir di Surabaya

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya –  Terkait temuan Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah, bahwa adanya dugaan Rumah Sakit di sejumlah daerah, termasuk di kota besar Surabaya yang “nakal” dalam menangani pasien Covid-19, bukan isapan jempol belaka. Bila dalam temuan  Banggar DPR RI yang membeberkan kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, ada RS dengan sengaja membuat pasien yang dinyatakan positif Covid-19, meski bukan terkena Covid-19. Ternyata, di sejumlah Rumah Sakit di Surabaya, dalam penanganan pasien Covid-19 sendiri masih tidak seperti yang dikatakan tenaga medis ke publik, yakni selalu diberi motivasi agar untuk sembuh, sampai soal kebersihan lingkungan agar pasien Covid-19 bisa sembuh. Bahkan, pasien yang awalnya masuk rumah sakit untuk dirawat penyakit stroke, pun “mendadak” dirubah sebagai pasien terkonfirmasi Covid-19.

Hal ini terkuak setelah Surabaya Pagi, sejak awal Juli 2020 hingga Minggu (19/7/2020) kemarin, mendapat aduan dan keluhan dari tiga orang yakni pasien dan keluarga pasien berbeda, yang diduga mendapat kesewenang-wenangan dari rumah sakit, khususnya rumah sakit swasta di Surabaya.

Dua dari tiga yang mengadu ke Surabaya Pagi, salah satunya, sebut saja Inem, seorang perempuan perawakan gemuk, berkulit gelap, mengenakan kaos oblong warna putih, celana selutut warna putih, dengan hanya sandal jepit. Dirinya sempat ditemui Surabaya Pagi Selasa (7/7/2020) lalu, di salah satu waralaba minimarket di Raya Gubeng Surabaya, sedang kebingungan menelpon beberapa sanak saudaranya.

“Iki ya opo, si Bejo (nama samaran), kok dikongkon ngamar. Jarene kenek Covid. Wis ngunu dikongkon rapid mbek Swab. Padahal dekne iku gak onok opo-opo,” cerita Inem, diteleponnya, saat itu.

Inem, keluarga pasien yang sedang dirawat di salah satu RS Swasta di Surabaya itu, masih tak menyangka harus mendapat perlakuan tersebut. Dirinya menceritakan kakak iparnya yang saat itu “terpaksa” harus dirawat di lantai 2 ruang isolasi RS Swasta tersebut. “Yang saya keberatan, aslinya kakak saya itu kok tiba-tiba divonis Covid-19. Padahal kakak saya itu stroke. Dan memang perlu perawatan. Lhaa ini mas, gak boleh didampingi. Harus masuk ruang isolasi. Mana biaya APD yang hampir Rp 2 jutaan per harinya,” cerita Inem, cemas.

Inem pun menolak untuk beban biaya APD dimasukkan dalam billing tagihannya.

Ternyata tak hanya Inem yang kakak iparnya ‘mendadak’ dirawat di ruang isolasi. Ada salah satu pasien yang diharuskan dirawat di ruang isolasi Covid-19 RS Swasta di Surabaya itu. Sebut saja, Omas, perempuan berusia 47 tahun. Dirinya masuk dirawat di rumah sakit, karena kena penyakit maag akutnya. Namun, saat masuk, diharuskan rapid test dan tes Swab PCR, serta foto thorax dan cek darah lengkap lainnya.

“Awalnya itu saya maag akut saya kambuh. Gak bisa bangun. Lalu dibawa kesini (RS swasta di Surabaya). Yah gitu, udah urus administrasi, setelah tes Swab yang menjadi keharusan disini. Nunggu 3 hari, ternyata positif. Padahal rapid test saya seminggu lalu non reaktif semua. Thorax saya juga bersih. Akhirnya saya pun dirawat diruang isolasi di lantai 2. Tak boleh ada keluarga yang menunggu. Satu kamar berisi tiga orang. Tapi yang sangat disayangkan, perawat-perawatnya seperti kurang peduli terhadap pasien. Responnya lambat. Padahal biaya yang dipatok untuk masuk ruang isolasi tidak murah. Sehari aja total-totalan bisa Rp 10 jutaan per hari. Mulai dari Rp 2,5 juta untuk kamar, lalu ada biaya Rp 5 juta untuk perawatannya, dan biaya APD nya saja dibebankan Rp 1,8 juta,” cerita Omas, melalui pesan WhatsApp kepada Surabaya Pagi Jumat (17/7/2020), yang hingga kini masih dirawat di ruang isolasi.

Dalam sekamar, cerita Omas, dirinya bersama tiga orang. Mereka semua awalnya bukan karena Covid-19 dan tak memiliki gejala Covid-19. Tetapi karena Swab, “mendadak” positif, mereka diharuskan dirawat. “Ada yang punya penyakit stroke, ada yang habis lahiran tapi karena positif dimasukkan. Tapi bayar segitu, pelayanannya jauh dari kata memuaskan. Perawat seolah-olah tak mau merawat pasiennya. Kondisi lantai 2 nya pun tak mencerminkan ruang isolasi yang seharusnya bersih dan steril. Banyak sampah-sampah medis berserakan dimana-mana. Sampai-sampai troli keranjang yang berisi kardus kosong, bekas sisa APD kotor, hingga sampah-sampah medis dan makanan, dibiarkan di depan lift lantai 2. Sementara kamar, juga tak rapi dan kotor. Barang-barang saya pun banyak yang hilang. Charger HP, baju saya beberapa. Kalau kondisi begini, bagaimana pasien bisa sembuh. Padahal pasien bisa sembuh itu butuh psikologis yang tenang dan butuh pendampingan perawat,” cerita Omas panjang lebar, sembari mengirim beberapa video rekaman di dalam ruangan isolasi RS swasta di Surabaya itu yang kondisinya terkesan kumuh.

Dirinya, tambah Omas, sudah dirawat hampir 1 bulan, dari hari ke hari, tak ada perkembangan. “Saya malah sudah dipindah 6 kali. Diendeng-endeng kesana kemari. Malah ada salah satu rekan sekamar saya, orangnya sudah tua, jatuh dari kamar mandi pun. Perawat yang jaga tidak ada empati untuk menolong. Malah dengan santainya, bilang, “lho oma, kenapa jatuh. Hati-hati oma”. Apa gitu sebagai seorang perawat,” jelasnya.

 

Investigasi Surabaya Pagi

Dan saat Surabaya Pagi menginvestigasi di RS swasta di Raya Gubeng itu, memang kondisinya seperti yang dikatakan salah satu pasien yang mengadu ke Surabaya Pagi. Dari pantauan Surabaya Pagi, lift yang berada di sisi timur pintu utama, atau sebelah selatan ruang IGD, hanya satu lift yang difungsikan untuk umum. Dan itupun hanya ditujukan di lantai 1 dan lantai 3. Sementara lantai 2, harus menggunakan lift yang satu sebelahnya, yang diberi pembatas dan dijaga satu sekuriti.

Lift khusus untuk “pasien Covid-19” menuju ruang isolasi lantai 2, isinya pun terlihat tidak mencerminkan sebagai RS swasta yang steril dan bersih. Hampir 3 jam, Surabaya Pagi, memperhatikan hilir mudik lift khusus itu. Disuatu waktu, lift khusus terbuka, membawa sampah-sampah kardus. Dan disatu waktu, membawa seseorang pasien di kursi roda, dengan didorong perawat ber APD lengkap level 3 keluar. Bahkan, ruang pintu IGD pun sudah disteril, dengan salah satu sekuriti mensterilkan, “Awas, ada pasien Covid. Ada pasien Covid. Minggir-minggir!” ujar petugas sekuriti yang mengenakan pakaian safari hitam-hitam.

Saat Surabaya Pagi mencoba masuk naik ke lantai 2, disaat tanpa ada penjagaan. Saat lift khusus terbuka di lantai 2, suasana berantakan bak kapal pecah pun terlihat. Ruang admisi di lantai 2 hanya diisi 3 orang perawat ber-APD level 3 lengkap. Yang katanya tertulis ruang isolasi, justru seperti lantai gudang yang berisikan sampah-sampah. Tak ada steril satupun yang terlihat.

Baca Juga: Wali Kota Surabaya Minta Surveyor Gali Informasi untuk Atasi Kemiskinan

 

RS Siloam Bungkam

Namun, Rumah Sakit yang diceritakan dua dari tiga pasien itu, yang diduga mengarah pada RS Siloam Surabaya, saat dikonfirmasi Surabaya Pagi melalui Marketing Communication Sally Danayani dari pukul 13:30 WIB hingga pukul 21:00 WIB, tidak merespon baik melalui pesan singkat WhatsApp dan telepon.

Pesan WhatsApp Surabaya Pagi yang berisi “Kebenaran tentang biaya rawat inap pasien covid atau pasien tanpa gejala yang melakukan pemeriksaan secara mandiri. Apa pernah pihak RS Siloam melakukan hal seperti contoh, pasien non covid tetapi untuk data di masukkan ke pasien positif, seperti yang di temukan Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah di kota Surabaya. Sedangkan dari hasil Tim investigasi Surabaya Pagi, beberapa keluarga pasien yang pernah menjalani perawatan di RS Siloam Surabaya dipaksa melakukan rawat inap degan tarif Rp 2,8 juta perhari untuk kamar. Rp 5 juta untuk biaya lain-lain. Rp 1,8 juta untuk biaya APD tenaga medis. Pemaksaan rawat inap itu dilakukan pihak rumah sakit Siloam Surabaya sebelum hasil swab pasien keluar.” 

 

RS Mitkel Tak Wajibkan Pasien Rawat Inap

Sementara, RS Mitra Keluarga Kenjeran, melalui PIC Covid-19 RS Mitra Keluarga, dr. Rizmi menjelaskan, pihaknya, yakni RS Mitra Keluarga Kenjeran, tetap menegakkan prosedur rumah sakit yakni melihat gejala-gejala standar pasien. "Kita sendiri tidak mengharuskan pasien untuk rapid test, terkecuali kondisi pasien di haruskan rawat inap mas," ujar dr Rizmi saat dihubungi Surabaya Pagi, Senin (20/7/2020).

Rizmi juga menambahkan, jika untuk pasien yang melakukan rapid test mandiri, dan hasil rapid testnya reaktif, pihaknya menawarkan untuk swab. Dan bila hasil swabnya negatif, pihak rumah sakit menganjurkan pasien untuk isolasi mandiri di rumah.

Baca Juga: DPMPTSP Kota Surabaya Target Capaian Investasi 2024 Rp40 T

"Pihak kita sama sekali tidak pernah menuntut pasien untuk rawat inap disini, kita sarankan agar pasien isolasi diri dirumah dan melaporkan ke puskesmas terdekat," terangnya.

 

Persi Jatim Bantah RS di Surabaya Bermain

Sementara, Ketua PERSI (Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) Propinsi Jawa Timur, dr. Dodo Anondo.,M.PH menangkal isu bahwa masih ada RS di Surabaya dan Jawa Timur yang memaksa pasien dan memainkan data pasien Covid-19.

Menurutnya, setiap pasien yang masuk rumah sakit atau memiliki keluhan dimana membutuhkan rawat jalan, maka akan diperiksa rapid, foto toraks, dan melakukan periksa darah. "Lalu bila ada pasien yang rapidnya non reaktif, tetapi foto toraksnya mengarah pada pneumonia, maka akan mendapatkan perawatan sesuai dengan aturan penanganan covid-19, karena gejalanya menuju ke covid-19," ungkapnya kepada Tim Surabaya Pagi.

Dodo kemudian menjelaskan bila permasalahan mengenai proses pembayaran rumah sakit yang meminta kepada pasien, hal ini telah mendapat respon tanggap oleh Kementrian Kesehatan. "Saat ini klaimnya sudah ditanggung oleh kementrian kesehatan, masuk pada status PDP pun sudah di klaim oleh Pemerintah, yang tidak boleh adalah rumah sakit yang meminta pasien untuk membayar. Rumah sakit rujukan dan non rujukan seluruh Indonesia untuk pembiayaan di klaim oleh kementrian kesehatan jadi tidak boleh meminta untuk membayar pada pasien covid-19. Bila berbohong, maka akan berhadapan dengan hukum pidana," jelasnya.

Dodo sendiri menegaskan hingga Juli 2020, dari pantauan Persi Jatim, bila tidak ada rumah sakit yang mengubah status pasien non Covid menjadi Covid.-19.

"Pada intinya, rumah sakit tidak ada yang mengubah status pasien dari non covid menjadi covid. Dasarnya adalah setiap pasien yang datang untuk rawat inap bila mengarah ke covid maka harus diperiksa rapid test, pemeriksaan darah, dan foto toraks, lalu swab," tegasnya. adt/byt/tyn/cr1/pat/cr3/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU