Sepenggal Cerita dari Penjual Koling Tanjung Perak

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 14 Mar 2021 16:22 WIB

Sepenggal Cerita dari Penjual Koling Tanjung Perak

i

Nana, penjual kopi keliling (koling) di Pelabuhan Tanjung Perak. SP/ Sem 

SURABAYAPAGI, Surabaya - Langit Surabaya cukup cerah hari itu. Mentari siang menambah panasnya suasana di pelabuhan Tanjung Perak. 

Sepanjang gerbang masuk terminal Jamrud, berjejer rapi truk muatan. Beberapa sopir terlihat santai di trotoar, sembari meneguk secangkir kopi. Tak lupa, menyundut sebatang rokok. 

Baca Juga: Imigrasi I Surabaya Berhasil Terbitkan Hampir 10 Ribu Paspor

Di antara gerombolan sopir, terparkir sepeda ontel berwarna pink. Di sampingnya, terlihat pemudah bertopi kupluk biru tengah asyik mengaduk secangkir kopi. Dia adalah Narsam. Orang-orang akrab menyapanya Nana. 

Dari namanya saja, orang akan tahu ia berasal dari Madura. Tepatnya Bangkalan. Bahkan istrinya pun, berasal dari kampung yang sama.  

Saat ini ia memiliki 3 orang putri. Ketiganya telah bersekolah, walau dari rumah saja akibat covid-19. Anak yang pertama saat ini kelas 4 dan sisanya kelas 1 dan TK.  

Biaya sekolah anaknya ia peroleh dari menjual kopi keliling atau koling. Bermodal sepeda ontel pink, ia mengayuh berkeliling Tanjung Perak menawarkan kopi kemasan yang dijualnya.  

"Ya hari-hari sama sepeda keliling tawarkan kopi ke sopir. Seribu, dua ribu gak apa, yang penting bisa makan saja," kata Nana 

Seorang penjual koling mendapatkan bayaran tatkala jualannya dibeli orang. Untuk satu cangkir plastik dibandrol dengan harga Rp 5 ribu. Saban hari, ia membawa kurang lebih 2 renteng kopi kemasan. Setiap rentengnya berisi 10 hingga 12 sachet, tergantung jenis kopi yang dibawanya. 

"Dalam satu hari bisa terjual 5 atau 6 bungkus. Jam 4 sore aku pulang," ucapnya

Dipalak Preman 

Kendati ramainya pelabuhan di malam hari, Nana tak pernah berjualan hingga larut malam. Ia takut akan keselamatan dirinya dan uang hasil dagangannya diambil orang. 

Di Pelabuhan Perak sendiri, ada sekelompok orang yang berkuasa. Itu sudah menjadi rahasia umum. Bahkan trotoar tempatnya menawarkan kopi kepada supir pun, dikuasai oleh preman. 

"Trotoar ini juga ada yang punya mas, aku takut jualan di sini sebenarnya. Tapi untuk kebutuhan hidup ya mau gimana lagi," aku Nana

Tatakala penjualannya laris atau mendapatkan keuntungan yang banyak maka ia harus menyetor kepada orang yang menguasai trotoar tersebut. Biaya yang disetor sebagai jatah preman pun tak main-main. 

"Ya harus kasih Rp 250 ribu ke yang punya ini (trotoar, red). Namanya Cak Sunah," katanya 

Orang yang disebut Cak Sunah akan datang ke lokasi untuk menagih jatah kepada para penjual yang masih berjualan di area tersebut. Waktu awal berjualan kopi setahun yang lalu, ia sering dimintai jatah preman.

"Aku dulu awal-awal sering kena, bahkan tidak mau kasih, tas saya dibuka paksa dan uangnya diambil," katanya 

Soal siapa Cak Sunah dan dari mana asalnya tak ada satu orang pun yang tahu. Hanya saja ia paling ditakuti, setidaknya oleh penjual koling seperti Nana.

"Gak tahu aku mas, pokoknya orang manggilnya cak sunah aja. Kadang ke sini ya sama istrinya, dibilang sih itu istrinya," katanya

Baca Juga: Pemkot Surabaya Usulkan SERR ke Pusat

Belajar dari pengalaman, Nana kini hanya berjualan dari pukul 07.00 WIB hingga 16.00 WIB. Selanjutnya ia akan pulang ke rumahnya di wilayah Kalimas Baru. 

"Aku takut jualan malam mas. Karena pasti yang punya ini (trotoar, red) akan datang minta jatah. Jadi sekarang jam 4 sore sudah pulang," ucapnya 

IMG20210309115530IMG20210309115530

Ngumpet dari Petugas 

Selain dari preman, ancaman penjual koling lainnya adalah petugas sekuriti Pelindo III. Saban hari, mulai pagi hingga sore, mereka akan berkeliling menertibkan para pedagang yang berjualan keliling di sepanjang trotoar gerbang masuk terminal Jamrud. 

Nana acap kali bersembunyi dari petugas. Bahkan pernah sekali ia bersembunyi dalam truk muatan milik sopir yang kosong. 

"Kejadiannya saat aku pertama jualan, aku pikir satpol. Ada bunyi sirine, aku akhirnya sembunyi di situ," katanya menunjuk bak truk 

Lama berjualan, pengalaman mengajarkannya cara bersembunyi dari petugas. Ketika suara sirine terdengar, sejurus kemudian ia mengayuh sepeda ontel milik.

Berputar beberapa menit sembari mengamati situasi. Ketika petugas patroli kembali ke pos jaga, ia mengayuh sepedanya ke tempat awal ia menawarkan kopi kepada sopir truk. 

Meski begitu, ada beberapa sopir yang nakal. Saat ditinggal Nana, mereka justru ikut-ikutan berpindah tanpa membayar kopi yang telah diminum. 

Baca Juga: Tingkatkan Kepuasan Masyarakat, Satpas SIM Colombo Gaungkan Pelayanan Prima dan Transparansi

"Ada yang nakal. Pas aku kembali, mereka (sopir, red) sudah gak ada. Jadi sekarang sebelum aku buat kopinya, harus bayar dulu," katanya 

Jadi Tukang Sapu di PHC

Miliki tanggungan keluarga yang banyak, membuat Nana harus kerja keras. Selain menjadi penjual koling, ia juga menawarkan diri sebagai tukang sapu di rumah sakit PHC Surabaya. 

Ketika ada pekerjaan, ia akan ke PHC untuk bersih-bersih. Itu pun ia harus menunggu dihubungi rekannya. 

"Kalau kawan panggil untuk bantu, aku ikut mas. Lumayan buat nambah penghasilan," ujarnya 

Karena ia hanya membantu kawannya, bayaran yang ia dapatkan pun berdasar pemberian temannya. Adakalanya ia diberikan Rp100 ribu, di lain waktu ia dikasih Rp50 ribu. 

"Tergantung ngasihnya mas," jelasnya 

Meski begitu ia tetap bersyukur. Selama ini kebutuhan sehari-harinya selalu terpenuhi. Prinsip hidupnya adalah bersyukur walau sekecil apapun.

"Pokoknya bersyukur saja mas, yang penting bisa hidup untuk hari ini saja," tutupnya.sem

Editor : Mariana Setiawati

BERITA TERBARU