Singgung Kasus Human Trafficking, Kasek TK di Kediri Dipecat

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 28 Jul 2020 23:13 WIB

Singgung Kasus Human Trafficking, Kasek TK di Kediri Dipecat

i

Srie Mulyanti, Kasek TK Desa Jambean Kabupaten Kediri

Baca Juga: Human Trafficking, Polisi Amankan 5 Orang di Kawasan Prigen

SURABAYAPAGI.COM, Kediri - Nasib malang dialami Srie Mulyanti Hartini, Kepala Sekolah (Kasek) Taman Kanak-kanak (TK) di Desa Jambean Kabupaten Kediri, dipecat dari jabatannya. Pemecatan itu diduga akibat postingannya di Facebook yang menyinggung kasus TKI dan Human Trafficking di Kediri.
 
Srie mengaku sudah dipecat dari jabatannya sejak 29 Januari 2020 lalu. Dia diberhentikan oleh pengurus perkumpulan dari induk lembaga yang dipimpin. Pemberhentian secara sepihak tersebut terjadi, setelah dirinya terlibat dialog panjang dengan pengurus dan pemerintah Desa Jambean. 
 
"Pada Hari Rabu 29 Januari, musyawarah selesai 13.30 WIB. Kemudian jam 15.30 WIB saya dapat surat pemberhentian. Isinya di dalam surat pemberhentian itu tidak jelas. Di dalam Surat Pemberhentian itu hanya disebutkan mencari orang yang mampu dalam bekerjasama. Tidak disebutkan kekurangan saya. Berarti selama 28 tahun saya bekerja, kenapa baru sekarang dinyatakan tidak mampu," keluhnya saat dikonfirmasi, Selasa (28/7/2020).
 
Lanjut Srie, gelagat aneh dari pengurus Perkumpulan PAUD Dharma Wanita 1 Jambean terlihat sejak sebelum pemberhentian. Pagi hari sebelum ia diberhentikan menjabat kasek, dirinya didatangi empat orang pengurus. Terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Bendara. 
 
"Saya diberitahu agar tidak boleh memposting di FB. Kemudian saya tanya, kenapa postingan saya menganggu, padahal saya tidak menyebutkan seseorang. Mereka lalu hanya bilang sebagai penengah antara saya dengan kepala desa," beber Srie.
 
Srie kemudian teringat dengan isi postingan di media sosial tersebut. Dia mengunggah sebuah informasi tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan human traficking. Menurutnya, dalam postingan itu ada pihak yang merasa tersinggung. Mengingat, Kepala Desa Jambean memiliki usaha di bidang pemberangkatan TKI ke Luar Negeri. 
 
Selain itu, beber Srie, akar persoalan tersebut diawali dari dirinya dipanggil oleh Polres Kediri. Pada 23 Desember 2019, Srie dimintai keterangan penyidik persoalan kasus dugaan pemalsuan KTP yang dipergunakan dalam pemberangkatan TKI. Ada 28 identitas warga setempat yang diduga dipalsukan untuk keperluan pengiriman tenaga kerja tersebut. 
 
"Saya dimintai keterangan di kantor polisi masalah dugaan pemalsuan KTP, perkara human trafficking dengan modus memaslukan identitas 28 warga Jambean. Mereka diberangkatkan ke Luar Negeri. Dan itu yang digunakan identitasnya ada mantan peserta didik saya dan walimurid," jlentreh Srie.
 
Dalam pertemuan, 29 Januari 2020 itu, Srie sempat diajak berkompromi oleh pengurus perkumpulan dan kepala desa. Ada sembilan orang yang menemuinya.
 
"Istilahnya saya diajak kompromi, dengan harus bisa bekerjasama. Saya tanya dalam hal apa. Kalau ada kesalahan, kesalahan saya dimana. Dijawab oleh Ketua LPMD, bahwa mereka tidak mencari kesalahan. Tetapi ia (Srie) harus bisa bekerjasama baik dengan yayasan dan Kepala Desa. Inikan masalah pribadi. Bukan persoalan pekerjaan. Tetapi kepala desa saat itu marah-marah," bebernya.
 
Srie merasa terdzolimi dengan putusan pemberhentian sepihak tersebut. Sudah 28 tahun dirinya mengabdikan diri di TK yang saat ini dipimpinnya. Kariernya dimulai dari bawah. Hingga akhirnya pada 1999 diangkat sebagai Kepala Sekolah. Bahkan, Srie telah dinyatakan guru yang kompeten. Dirinya juga lulus sertifikasi. Sehingga berhak menerima tunjangan dari pemerintah. Dengan pemecatan yang dialami, haknya turut lenyap. 
 
Srie menolak pemecatan tersebut. Dia berjuang agar hak-haknya dikembalikan. Dirinya mengambil insiatif untuk menyurati Pemerintah Kecamatan Kras, dengan harapan membantu menyelesaikan persoalannya. Namun, karena upaya tersebut buntu, akhirnya Srie memilih untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya. Srie merasa dirugikan secara meteriil, sehingga ia menggugat Perkumpulan PAUD Dharma Wanita 1 Jambean, untuk membayar ganti rugi senilai Rp 60 juta.
 
"Kalau waktu itu saya terus terang tidak berfikir untuk lapor ke disnaker, saya hanya membuat penolakan pemberhentian bahwa saya diberhentikan sepihak tanpa alasan jelas. Prinsip saya tidak melanggar kode etik sebagai guru, saya berusaha semaksimal mungkin membesarkan lembaga. Walaupun murid saya paling sedikit, tetapi dari segi pembangunan tidak kalah dengan sekolah lain. Sudah ada UKS, WC bahkan dapur juga punya," kata Srie dengan kesal menerima perlakuan itu.
 
Persidangan berlangsung di PHI Surabaya. Srie merasa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) itu sepihak. Saat ini persidangan memasuki tahapan replik dari pihak penggugat yaitu Srie Mulyanti Hartini. Sedangkan agenda berikutnya adalah duplik dari tergugat. 
 
Sementara, Samsul Arifin, SH,.MH, selaku kuasa hukum Perkumpulan PAUD Dharma Wanita I Desa Jambean mengatakan, persoalan tersebut bukan berkaitan dengan PHK, karena sekolah bukan lembaga pemberi kerja. Menurut Samsul, karena yang bersangkutan sebagai guru, sehingga harus tunduk pada Undang-undang Dosen dan Guru, bukan Undang-undang Tenaga Kerja. Selain itu, proses pemberhentian terhadap yang bersangkutan diakui sudah sesuai dengan mekanisme.
 
"Yang bersangkutan diberhentikan oleh perkumpulan PAUD Dharma Wanita I Desa Jambean dengan alalsan satu tidak bisa menjadi contoh atau panutan. Dia sebagai pendidik atau guru tetapi bergaya LSM. Kedua, tidak mau memberikan laporan kegiatan yang berhubungan dengan TK yang dipimpin seperti laporan keuangan. Terakhir yang bersangkutan sulit diajak komunikasi," terang Syamsul.
 
Diakuinya, sebelum pemberhentikan, Srie dipanggil oleh pengurus perkumpulan di Kantor Desa. Pemanggilan tersebut dilakukan untuk memperbaiki kinerjanya.
 
"Agar yang bersangkutan tidak memberi suara sumbang di lingkungan. Saat diklarifikasi, yang bersangkutan malah mentang-mentang. Dia bilang, saya dipanggil kenapa, pak Lurah takut dengan saya?. Karena pak Lurah hadir berkaitan dengan perkumpulan agar kinerjangan lebih baik. Tetapi malah menyalahkan Lurah dan LPMD," terangnya.
 
Agenda klarifikasi itu tidak menemui titik temu. Srie dianggap merasa paling benar. Bahkan, berbicara diluar inti pembahasan. Akhirnya pihak perkumpulan memutuskan untuk melakukan pemberhentian terhadapnya. Namun, karena Srie tidak merasa puas, akhirnya mengadu ke Dinas Tenaga Kerja dan menempuh jalur gugatan ke PHI Surabaya. 
 
"Pada saat mediasi, ada mediatornya. Saya menjelaskan sebagai kuasa pengurus perkumpulan, bahwa dia mendapatkan gaji bukan dari perkumpulan tetapi dari Dinas Pendidikan. Karena perkumpulan ini sebuah lembaga sosial. Di dalam SK pengangkatannya juga dijelaskan, tidak memberikan gaji," beber Syamsul.
 
Perkumpulan PAUD Dharma Wanita I Desa Jambean ini terlegalitas sejak 17 Maret 2016. Menurut Samsul, sejak 2017 hingga 2020, Srie tiidak pernah memperpanjang SK pengangkatan. Bahkan, dana yang didapat dari pemerintah melalui Dinas Pendidikan tidak pernah dilaporkan ke pengurus perkumpulan. 
 
Pihak tergugat dalam hal ini Perkumpulan PAUD Dharma Wanita 1 Jambean, melalui pengacaranya, Syamsul Arifin juga melakukan gugatan balik dengan tuntutan lebih besar Rp 285 juta terhadap Srie. Can

Editor : Redaksi

BERITA TERBARU