Situs Makam Kuno, Penyebar Agama Islam di Banyuwangi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 19 Mar 2023 17:16 WIB

Situs Makam Kuno, Penyebar Agama Islam di Banyuwangi

i

Makam Buyut Sayu Atikah di Bukit Giri

SURABAYAPAGI.COM, Banyuwangi - Sebagai sebuah pemukiman kuno Banyuwangi memiliki banyak jejak peninggalan sejarah, baik sejarah kerajaan maupun jejak-jejak sejarah tentang penyebaran dan masuknya Islam ke wilayah kabupaten yang dahulu dikenal dengan nama Blambangan. Dari sekian banyak situs sejarah yang ditemukan, terdapat beberapa situs makam kuno tokoh-tokoh penyebar Islam di wilayah ini, yakni Situs Makam ‘Buyut Sayu Atikah’ dan Situs Makam Kyai Saleh.

Baca Juga: Polisi Razia Pedagang Petasan di Banyuwangi

Salah satu makam kuno yang diperkirakan dibangun pada abad XV adalah Makam ‘Buyut Sayu Atikah’ yang terletak di sisi sebelah barat Kota Banyuwangi, tepatnya di wilayah Kelurahan Giri, Kecamatan Giri. Makam kuno yang berada di atas sebuah bukit kecil yang oleh warga sekitar disebut ‘Puthuk Giri’ atau Bukit Giri itu baru ditemukan sekitar tahun 1920-an. Lokasinya juga tidak jauh dari jalur jalan raya. Namun untuk mencapai makam kuno tersebut hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki melewati jalan setapak atau menggunakan sepeda motor. Meski demikian, tidak sedikit orang yang sengaja datang berkunjung ke makam tersebut, baik yang mengaku hanya ziarah atau untuk alasan lain seperti; tirakat, dan sebagainya. Mereka bahkan banyak yang menginap di lokasi makam.

Mengutip buku “Mengenal Sejarah dan Kebudayaan Banyuwangi” yang ditulis Drs Suhalik, seorang Raja Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu mempunyai seorang cucu bernama Putri Sekardadu. Cucu sang raja ini kemudian masuk Islam dan berganti nama menjadi ‘Sayu Atikah’ setelah dinikahkan dengan Maulana Ishak atau yang juga dikenal dengan nama Syekh Wali Lanang, setelah Maulana Ishak berhasil menyembuhkan cucu sang Raja itu dari penyakitnya. Maulana Ishak sendiri berasal dari Samudera Pasai. Dia datang ke Blambangan (cikal bakal Banyuwangi) pada abad 15 karena mendapat perintah dari Raja Pasai untuk meng-islamkan Blambangan yang kala itu masih Hindu. 

Menurut cerita sejarah, oleh Raja Blambangan kala itu Maulana Ishak diperbolehkan menyebarkan Islam tetapi terbatas hanya kepada masyarakat biasa di luar istana. Namun, Maulana Ishak kemudian dianggap melanggar karena juga menyebarkan ajaran Islam di kalangan pejabat istana. Karena itu, Maulana Ishak kemudian diusir dari Blambangan. Dan anak yang dikandung istrinya yakni Putri Sekardadu atau Sayu Aikah, harus dilarung ke laut. 

Alkisah, Bayi yang dilarung itu ditemukan oleh seorang nahkoda kapal bernama Abu Huroiroh yang kemudian diserahkan kepada seorang saudagar perempuan bernama; Nyai Ageng Pinatih dari Gresik. Bayi itu diberi nama; Raden Muhammad Ainul Yakin alias Raden Paku, yang ketika dewasa dikenal sebagai Sunan Giri, salah satu dari ‘Wali Songo’ penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.

Baca Juga: Pelabuhan di Banyuwangi Ramai Dipadati Pemudik

Tidak terlalu jauh dari lokasi makam Buyut Sayu Atikah, juga terdapat sebuah makam kuno tokoh penyebar Islam di Banyuwangi, yakni Makam Kyai Saleh yang berada di Jalan Riau, Kelurahan Lateng, Kecamatan Banyuwangi. Menurut catatan juru kunci, makam kuno Kyai Saleh ini pernah diziarahi oleh KH Ma’ruf Amin (Wakil Presiden saat ini) saat berkunjung ke Banyuwangi pada 31 Oktober 2018. Saat itu, muncul pertanyaan dari seorang wartawan tentang siapa sebenarnya Kyai Saleh ini. Kala itu KH Ma’ruf Amin menjawab singkat, “Kyai Saleh Lateng ini adalah salah satu Pendiri NU,” ungkapnya.

Dalam kiprahnya sebagai salah satu pendiri organisasi Islam terbesar ini, Kyai Saleh pernah ditunjuk oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah untuk menjadi anggota Muassis-Mukhtasar (formatur) pembentukan pengurus Nahdlatul Ulama yang pertama. Kyai yang ahli dalam Kitab Alfiyah’ ini juga tercatat sebagai salah satu tokoh dibalik berdirinya Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor).

Kyai Saleh adalah seorang ulama sakti keturunan raja-raja Palembang, Sumatera. Namanya memang tidak sepopuler nama ulama-ulama lain, mungkin karena Kyai Sholeh tidak memiliki pesantren yang eksis hingga saat ini. Meskipun hanya ‘Kyai Surau’, namun nama beliau cukup disegani oleh ulama-ulama yang memiliki pesantren-pesantren besar di Jawa dan Madura. 

Baca Juga: Kampung Nelayan Modern akan Dibangun di Banyuwangi

Kyai surau ini disegani ulama karena menjadi salah satu tokoh kunci pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang seorang kemerdekaan Indonesia. Kyai Saleh lahir di Kampung Mandar, Kota Banyuwangi pada hari Ahad, 6 Ramadhan 1278 H atau 7 Maret 1862 M dengan nama Kiagus Muhammad Saleh. Ayah beliau bernama Kiagus Abdul Hadi dan Ibunya bernama Aisyah berasal dari Kelurahan Panderejo Banyuwangi. 

Pada usia 15 tahun Kyai Saleh mulai mengembara ilmu di beberapa Ponpes diantaranya di Kyai Mas Ahmad, Kebon Dalem, Surabaya. Tak lama kemudian beliau meneruskan mondok ke Kyai Kholil di Bangkalan Madura. Bahkan untuk menambah khasanah keilmuannya, Kyai Saleh juga pernah belajar ke Bali, yakni kepada Tuan Guru Muhammad Said di Jembrana, Bali. Selepas menuntut ilmu di Bali, beliau kemudian meneruskan belajar ke Tanah Suci Mekkah dan tinggal selama enam tahun disana. 

Sekitar tahun 1900 M atau setelah berusia sekitar umur 38 tahun, Kyai Saleh kembali pulang ke kampung halamannya di Lateng, Banyuwangi. Di kampung inilah beliau mulai mengabdikan dirinya untuk menyebarkan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah hingga ke seluruh penjuru Banyuwangi. bud/adv

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU