Soal Perizinan, Dibuat Sentralisasi dengan Implikasi Otonomi Daerah

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 11 Nov 2020 21:51 WIB

Soal Perizinan, Dibuat Sentralisasi dengan Implikasi Otonomi Daerah

i

RUU Cipta Kerja menghapus persyaratan administratif yang meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan.SP/SP

Catatan Kritis RUU Cipta Kerja (5)

 Mulai edisi hari ini, Harian kita mulai membedah satu-persatu bidang yang dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law, oleh 10 akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Baca Juga: Tolak Gugatan Ciptaker, Partai Buruh Akan Laporkan 5 Hakim Ke MKMK

Yang pertama yakni, soal bidang penyederhanaan perizinan. Dimana, dari catatan para akademis FH UGM Yogyakarta, ada beberapa permasalahan dalam pengaturan penyederhanaan perizinan, yakni terjadinya sentralisasi perizinan yang berimplikasi pada otonomi daerah.

RUU Cipta Kerja mencabut dan menyatakan tidak berlaku pasal terkait kewenangan daerah di UU induknya. Kewenangan yang tercantum dalam pasal tersebut dikembalikan kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden. Pengaturan kembali kewenangan tersebut di tingkat pusat dapat melalui berbagai macam cara, salah satunya melalui peraturan pemerintah. Padahal kemampuan pemerintah pusat dari segi kuantitas dan akses ke daerah di seluruh Indonesia sangat terbatas. Dengan demikian, perubahan kewenangan pemerintah dapat dilakukan  secara sepihak oleh pemerintah pusat yang berdampak pula terhadap pelemahan kewenangan pemerintah daerah.

 Sebagai contoh adalah perubahan terhadap proses AMDAL yang terbagi menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/ kota menjadi semata-mata kewenangan pemerintah pusat dalam Pasal 23 angka 4 RUU a quo, mengenai perubahan Pasal 63 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kemudian, soal permasalahan izin, dimana dalam RUU Cipta Kerja menyederhanakan perizinan dengan proses pengurusan yang relatif singkat, prosedur yang tidak rumit, dan biaya yang murah. Penyederhanaan ini terkait dalam beberapa hal, diantaranya Pendirian bangunan.

Baca Juga: Serikat Buruh Lakukan Aksi Demo Untuk Mendukung Pembatalan UU Cipta Kerja

Dalam izin pendirian bangunan, di dalam RUU Cipta Kerja menghapus persyaratan administratif yang meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan. Persyaratan tersebut diganti dengan kewajiban bagi setiap bangunan gedung untuk memenuhi standar teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan klasifikasi bangunan.

 Kemudian, soal perizinan untuk kegiatan investasi dan berusaha. Dalam RUU Cipta Kerja juga diatur perizinan Berbasis Risiko/Risk-based Licencing (Pasal 8-13). Model perizinan seperti ini membutuhkan klasifikasi usaha yang syarat perizinannya akan menyesuaikan dengan risiko (tingkat bahaya) dari usaha tersebut. Penilaian risiko ditinjau dari aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan/atau pemanfaatan sumber daya dilakukan dengan memperhitungkan jenis kegiatan usaha, kriteria kegiatan usaha, lokasi kegiatan usaha, dan/atau keterbatasan sumber daya.

Berdasarkan Pasal 8 ayat (7) RUU Cipta Kerja, kegiatan usaha berisiko tinggi yang memerlukan NIB dan izin. Izin tersebut merupakan persetujuan Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.

Baca Juga: Lindungi IHT, Kadin Jatim Minta Pasal di RUU Kesehatan Omnibus Law Ini Dihapus

Implikasi dari ketentuan Perizinan Berusaha berbasis risiko adalah pemerintah harus menyusun klasifikasi yang jelas mengenai jenis usaha dan jenis izin yang akan digunakan. Lebih lanjut, harus tersedia indikator yang jelas untuk mengkategorisasi bentuk usaha. RUU meletakkan kategorisasi tersebut dalam Peraturan Pemerintah. (bersambung)

 

Harian Surabaya Pagi menerima kertas kebijakan “Catatan kritis dan rekomendasi terhadap RUU Cipta Kerja” yang ditulis lima profesor, tiga doktor dan dua ahli yaitu Prof. Dr. Sigit Riyanto, SH, LLM, Prof Dr. Maria S.W.Sumardjono SH., MCL. MPA, Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej SH., MHum, Prof. Dr. Sulistiowati SH, MHum, Prof. Dr. Ari Hernawan, SH., MHum, Dr. Zainal Arifin Mochtar, Dr Totok Dwi Diantoro, Dr Mailinda Eka Yuniza, I Gusti Agung Made Wardana, SH, LLM, PhD, dan Nabiyla Risfa Izzati SH, LLM, dengan editor Sri Wiyanti Eddyono SH, LLM (HR) Ph.D. Tulisan ilmiah ini akan ditulis secara berseri untuk pencerahan pembaca dari kalangan akademisi dari Universitas Gadjah Mada Yogjakarta. 

Editor : Mariana Setiawati

BERITA TERBARU