SURABAYAPAGI,Surabaya – Pascakejadian ditahannya surat keterangan lahir (SKL) warga Maospati oleh pihak RSUD Soewandhie karena tidak mampu bayar persalinan. Pimpinan DPRD Kota Surabaya meminta manajemen RSUD Soewandhie untuk mengevaluasi pelayanan kesehatannya.
"Kasus ini harusnya menjadi koreksi dan evaluasi bagi fasilitas kesehatan yang menjadi kewenangan pemerintah kota," kata Wakil Ketua DPRD Surabaya Reni Astuti, Kamis (21/10).
Diketahui pasangan suami istri Agung Cahyono dan Silvia Damayanti warga Maospati sempat mengadukan persoalan yang dialaminya ke Fraksi PDIP DPRD Kota Surabaya beberapa hari lalu.
Pasutri ini mengaku tidak mampu membayar biaya persalinan sebesar Rp15 juta, sehingga SKL tertahan di salah satu rumah sakit swasta di Surabaya. Akibatnya, pasutri itu tidak bisa mengurus akta kelahiran. "Akta kelahiran itu hak anak," kata Reni.
Menurut Reni, Direktur RSUD Soewandhie mesti koreksi diri kenapa warga memilih berobat ke rumah sakit swasta swasta. Apa pelayanan di RSUD Soewandhie dirasa kurang baik sehingga warga harus memilih pelayanan di rumah sakit swasta?.
"Sekarang dinas kesehatan perlu turun untuk membantu SKL bisa diserahkan ke warga yang bersangkutan dan Dispendukcapil bantu harus menguruskan akta kelahiran itu," ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya Febria Rachmanita sebelumnya mengatakan, pasutri Agung Cahyono dan Silvia Damayanti warga Maospati selama ini melakukan pemeriksaan ke Puskesmas Gundih.
Hanya saja, lanjut dia, hasil pemeriksaan kehamilan di puskesmas, didapatkan pasien memiliki tekanan darah 140/80 MMHg, dengan diagnosa Pre Eklamsia, sehingga puskesmas memberikan rujukan ke RSUD dr Soewandhie. Apalagi pasien juga terdaftar sebagai peserta BPJS PBI.
Namun, lanjut dia, ketika jadwal persalinan 30 September 2020 tiba, pasutri itu memilih untuk mendapatkan layanan ke rumah sakit swasta atas kemauannya sendiri. Pasien pun akhirnya melahirkan dengan Sectio Caesar.
Ketika akan keluar rumah sakit dengan total biaya persalinan Rp15,8 juta yang sudah dipotong deposit, rupanya pasien tidak mampu membayar. Pihak rumah sakit swasta pun tetap memberikan keringanan kepada pasien dengan cara mencicil Rp300 ribu selama 12 bulan.
Namun, pasutri ini hanya membayar hingga cicilan kedua saja, sedangkan cicilan seterusnya belum pernah dibayarkan. Terlebih pula, sejak Januari hingga 12 Oktober 2021, pihak rumah sakit tidak bisa menghubungi pasutri itu karena ponsel tidak aktif. Sehingga, komunikasi kemudian dilakukan melalui penghubung pasien.sb1/na
Editor : Mariana Setiawati