Home / Peristiwa : Patologis Surabaya Ikut Ngeri

Temuan Vaksinasi Gak Ngefek Lagi Hadapi Varian Omicron

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 03 Jan 2022 20:52 WIB

Temuan Vaksinasi Gak Ngefek Lagi Hadapi Varian Omicron

i

Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin Saat Keterangan Pers Hasil Rapat Terbatas Evaluasi PPKM, Kantor Presiden (3/1/2022).

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Memasuki awal tahun 2022, kementrian kesehatan mengumumkan tambahan kasus positif virus covid-19 varian omicron.

Kementerian Kesehatan mencatat penambahan kasus transmisi lokal Omicron pada Senin (3/1) petang. Dengan penambahan tersebut, total kasus konfirmasi omicron di Indonesia tercatat 152 kasus, dimana 146 merupakan kasus impor dan 6 kasus transmisi lokal.

Baca Juga: Covid-19 di Indonesia Naik, Ayo Masker Lagi

"Dari 152 kasus yang masuk ke Indonesia, setengahnya tanpa gejala setengahnya lagi sakit ringan, mereka tidak butuh oksigen dan saturasinya masih di atas 95%. Sekitar 23% atau 34 orang sudah kembali ke rumah. Sampai sekarang tidak ada yang membutuhkan perawatan serius di RS, cukup diberi obat dan vitamin," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam keterangan pers di Jakarta pada Senin (3/1).

 Kasus transmisi lokal ini, kata Budi, terjadi di Jakarta, Medan, Surabaya dan Bali.

Khusus di Surabaya, hingga saat ini telah tercatat 2 orang yang terkonfirmasi varian omicron.

Menariknya dari 152 kasus tersebut, rerata pasien yang terkonfirmasi adalah pasien yang telah mendapatkan vaksinasi lengkap atau 2 kali injeksi.

Bahkan, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi pada 31 Desember 2021 lalu menyebutkan, 74 persen dari 68 kasus omicron di Indonesia dialami pasien yang telah menerima vaksin dosis lengkap dengan kondisi tanpa gejala dan ringan.

Adanya eviden pasien dengan vaksinasi lengkap masih terkonfimasi varian omicron, Ahli Patologis Klinik sekaligus dokter penanggungjawab pasien (DPJP) Rumah Sakit Lapangan Indrapura, dr. Fauqa Arinil Aulia, Sp.PK pun angkat bicara.

Menurutnya, tujuan dari vaksinasi sendiri bukanlah untuk membuat seseorang tidak terkena virus, melainkan untuk meningkatkan imunitas atau antibodi dalam tubuh.

"Tujuannya adalah untuk pembentukan antibodi. Sesuai dengan antigen yang dimasukan. Antigen itu didapat dari RnA. Harapannya kalau sudah dilatih imunitasnya itu, ketika dia terpapar agen infeksi yang sebetulnya dia sudah memiliki ketahanan. Jadi manifestasinya tidak sampe berat. Karena sudah diperkenalkan dengan antigen tadi, jadi antibodinya sudah terlatih," kata dr. Fauqa kepada Surabaya Pagi, Senin (03/01/2022).

Prinsip dasar dari virus kata dr. Fauqa, adalah selalu bermutasi untuk bertahan hidup. Ini terjadi karena virus tidak memiliki inang. Agar bertahan hidup, virus akan selalu berpindah inang dari satu inang ke inang yang lain. Saat perpindahan terjadi, saat itulah mutasi varian dilakukan.

"Makanya kenapa selalu ada varian baru. Tapi sebetulnya gejalanya mungkin mirip. Antara satu strain dengan strain yang lain. Yang lebih berbahaya itu ketika vaksinasi itu sudah gak ngefek lagi dengan varian itu," katanya.

 

 

Vaksin lagi

Varian omicron sendiri merupakan salah satu bukti tidak bekerjanya vaksinasi dalam melawan mutasi varian baru. Oleh karenanya diperlukan vaksin baru atau modifikasi vaksin yang mampu menangkal mutasi varian yang tak ada juntrungnya.

Salah satu pengembang vaksin covid-19 yakni Pfizer/BioNTech pada awal 2021 lalu sempat mengklaim tengah memodifikasi vaksin mereka agar dapat melawan mutasi virus. Mengingat, virus yang terus bermutasi  sedemikan rupa berdampak pada kebalnya virus terhadap vaksin.

Kendati telah ada modifikasi vaksin, Dr Julian Tang, ahli virologi di Universitas Leicester Inggris dalam wawancaranya bersama BBC menjelaskan, perlu adanya pertimbangan bahwa meskipun vaksin yang disetujui sangat efektif, vaksin tersebut tidak 100% efektif melawan varian virus apa pun, bahkan yang jenis pertama.

"Perlindungan vaksin akan bergantung pada seberapa berbedanya varian baru dari yang lama," kata dr. Tang.

Oleh karenya pemerintah perlu memantau dan mengidentifikasi varian yang muncul. Tujuannya adalah untuk menilai apakah penangan yang tersedia akan efektif melawan varian baru tersebut atau tidak.

 

Baca Juga: CEPI dan Bio Farma Berkolaborasi untuk Dorong Percepatan Produksi Vaksin

 

Vaksin Nusantara

Hal ini sebetulnya sejalan dengan pemikiran mantan Menteri Kesehatan dr. Siti Fadilah dalam wawancara ekslusifnya di salah satu TV Swasta Indonesia pada Juni 2021 lalu.

Menurut Siti, penanganan pandemi covid-19 di Indonesia harus dilakukan secara mandiri dan atau tidak bergantung pada negara lain. Hal inilah yang membuatnya mendukung Vaksin Nusantara buatan anak bangsa, dibandingkan mengimpor vaksin dari luar negeri seperti dari Cina, Amerika ataupun Inggris.

Bahkan secara tegas ia menyampaikan, vaksinasi masal bukanlah solusi untuk menangani pandemi covid-19.

"Sebetulnya pada waktu pandemi berlangsung belum ada ceritanya atau sejarahnya vaksinasi itu menghentikan pandemi. Tetapi herd imunity menghentikan pandemi, iya. Ini terbukti dari flu spanyol. Dimana 70% populasi di Spanyol waktu itu sudah punya kekebalan itu," kata Siti Fadilah.

Sebagai informasi, program vaksinasi masal yang dilakukan oleh pemerintah saat ini bertujuan untuk meningkatkan herd imunity. Kendati begitu, herd imunity yang dimaksudkan oleh dr. Siti Fadilah bukanlah herd imunity ala vaksinasi.

Di Spanyol kata dr. Siti, herd imunity terjadi secara alami dan bukan buatan melalui vaksin. Karena bila dilakukan melalui vaksin, potensi bisnis akan lebih besar ketimbang tujuan kesehatan.

Dari penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Yale, Kementerian Kesehatan Republik Dominika, untuk melawan virus Omicron, setidaknya diperlukan suntikan vaksin booster dengan kombinasi vaksin Sinovac dan jenis vaksin mRNA seperti pfizer ataupun Moderna.

Celakanya, Dari penelusuran Surabaya Pagi, harga vaksin di berbagai negara berbeda-beda. Rerata berada dikisaran US$ 10 hingga USD 37 per dosis. Di Amerika sendiri, harga vaksin moderna sekitar US$ 15 atau sekitar Rp 213.000 per dosis. Sementara di Botswana, salah satu negara Afrika, harga vaksin moderna mencapai US$ 28,88 atau Rp 409.000 per dosis.

Baca Juga: WHO Selidiki COVID Varian 'Eris', Picu Kematian Secara Tiba-Tiba?

Lalu bagaimana dengan vaksin pfizer. Laporan UNICEF menyebut, harga vaksin Pfizer yang digunakan di Amerika hingga Afrika Selatan berada diangka US$ 10 sampai US$ 23,15 per dosis.

Harga termurah vaksin Pfizer di Afrika Selatan yaitu US$ 10 atau Rp 142.000 per dosis. Sementara harga Pfizer termahal di Uni Eropa US$ 23,15 atau sekitar Rp 328.000 per dosis. Untuk Amerika harga vaksin pfizer dibandrol dengan US$ 19,5 atau Rp 277.000 per dosis.

Berikutnya adalah vaksin sinovac yang mayoritas digunakan oleh masyarakat Indonesia. Harga vaksin jenis ini pun beragam. Mulai dari harga US$ 10 sampai US$ 32,52 per dosis. Di Indonesia, menurut data UNICEF, harga vaksin sinovac dibandrol dengan US$ 13,6 atau setara dengan Rp 193.000 per dosis (kurs dolar Rp 14.200).

Di Indonesia sendiri, pemberian vaksin booster rencananya akan dilakukan tahun ini. Masalahnya, pemberian vaksin booster hanya gratis bagi dua kelompok masyarakat.

Pertama adalah kelompok lansia dan berikutnya adalah kelompom penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan. Dua kelompok ini yang digadang-gadang akan menerima vaksin booster secara gratis. Di luar dari ini, maka masyarakat harus merogok kocek lebih untuk mendapatkan vaksin booster.

Terkait harga sendiri, hingga saat ini pemerintah belum menetapkan harga vaksin booster bagi masyarakat. Namun merujuk pada pernyataan Kepala Bagian Operasional Pelayanan PT Bio Farma Erwin Setiawan bersama Kompas beberapa waktu lalu, menyebutkan, harga vaksin booster atau vaksinasi covid-19 dosisi ketiga, dapat menjadikan tarif pada vaksinasi Gotong Royong sebagai referensi.

Untuk vaksinasi Gotong Royong sendiri saat ini harganya sekitar Rp 188.000 dan jasa layanannya Rp 117.000. Artinya untuk mendapatkan vaksin booster masyarakat harus membayar kurang lebih Rp 365.000.

Adanya potensi bisnis inilah yang membuat Siti menghimbau agar pemerintah berfokus pada terapi atau pengobatan case vatality rate.

"Menurut teori yang ada, kalau pada pandemi harus difokuskan pada terapi atau pengobatan menurunkan case vatality rate. Misalkan case vatality rate-nya bisa nol, walaupun menular tapi kematiannya nol sangat berbeda tidak akan menakutkan. Sekarang karena (vaksinasi) itu program nasional harus dilanjutkan. Tetapi fokus ke terapi harus diterapkan," ucapnya

"Harus menghitung pengaruh vaksinasi terhadap banyaknya yang sakit atau mortality dibandingkan sebelum vaksinasi. Itu para ahli statistik yang bisa melihat dan dicari faktor-faktornya. Jangan sampai bukan karena tidak divaksin tetapi karena abai akan protokol kesehatan," tambahnya. sem/ana

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU