Utang Indonesia Sudah Beresiko

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 17 Agu 2021 21:16 WIB

Utang Indonesia Sudah Beresiko

i

Jokowi memakai pakaian adat Badui saat menyampaikan pidato kenegeraan, Senin (16/8/202).

Pendapatan Negara 1.8470 T, Utang Rp 6.554 T

 

Baca Juga: Jokowi vs Mega, Prabowo vs Mega = Kekuasaan

 

 

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta- Pepatah 'besar pasak daripada tiang', pas untuk menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Di mana, utang Indonesia jauh melampaui pendapatan negara.

Dalam pidato kenegaraanya, Presiden Jokowi menargetkan pendapatan negara sepanjang 2022 mencapai Rp 1.840,7 triliun. Target ini telah ditetapkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022.

Jokowi mengatakan, pendapatan negara tersebut berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.506,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 333,2 triliun.

"Mobilisasi pendapatan negara dilakukan dalam bentuk optimalisasi penerimaan pajak maupun reformasi pengelolaan PNBP," ujar Jokowi dalam Pidato Kepresidenan Penyampaian RUU APBN 2002 beserta Nota Keuangan, Senin (16/8/2021).

Jumlah target pendapatan negara itu jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan utang yang harus dibayar Indonesia.

Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai akhir Juni 2021 sebesar Rp 6.554,56 triliun. Angka tersebut 41,35 persen dari rasio utang pemerintah terhadap PDB .

"Posisi utang pemerintah per akhir Juni 2021 berada di angka Rp6.554,56 triliun," dikutip dari Buku APBN KiTa Juli 2021, Jakarta, Sabtu (24/7).

Adapun komposisi utang tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp 842,76 triliun (12,86 persen) dan SBN sebesar Rp 5.711,79 triliun (87,14 persen).

Lebih rinci, utang melalui pinjaman tersebut berasal dari pinjaman dalam negeri Rp 12,52 triliun. Sedangkan pinjaman luar negeri sebesar Rp 830,24 triliun.

Sementara itu, rincian utang dari SBN berasal dari pasar domestik sebesar Rp 4.430,87 triliun dan valas sebesar Rp 1.280,92 triliun.

Secara nominal, posisi utang Pemerintah Pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan akibat perlambatan ekonomi yang terjadi di masa pandemi Covid-19.

 

Baca Juga: Dinyatakan oleh Ketua Dewan Kehormatan PDIP, Sudah Bukan Kader PDIP Lagi, Jokowi tak Kaget

Harus Waspada
Utang Indonesia yang jumlahnya luar biasa ini, mendapat perhatian khusus dari pakar ekonom dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr. Imron Mawardi, SP., M.Si.

Menurut Imron, persoalan utang negara sebetulnya diukur dari kemampuan negara membayar utang. Dan anggaran negara dalam membayar utang selalu diambil dari APBN.

Sehingga dengan adanya utang yang tinggi maka anggaran APBN yang sebelumnya dimanfaatkan untuk pembangunan ataupun bantuan kepada masyarakat akhirnya terpotong akibat harus membayar utang.

"Misalnya APBN kita 2.100 triliun. Kalau 500 triliun harus dipakai bayar hutang, jadi kan tinggal 1.600 triliun. Belum digunakan untuk kebutuhan rutin, gaji PNS, TNI, Polri. Nanti anggaran pembangunan akan tinggal sedikit maka hasilnya juga akan menghambat pembangunan," kata Imron kepada Surabaya Pagi

Tak hanya itu, selain membenani APBN kata Imron, utang yang cukup tinggi juga akan membebani generasi berikutnya, karena harus ikut menanggung dan atau membayar utang negara melalui beban pajak.

"Memang hutang yang tadi itu digunakan untuk membangun, itu kan membebani generasi berikutnya karena ikut membayar. Jadi sekali lagi pemerintah harus bijak dalam kebijakan hutang ini sehingga tidak membebani generasi berikutnya nanti," ucapnya

Dari angka 1 hingga 5, resiko utang Indonesia menurut Imron berada di angka 3. Dengan catatan, angka 1 masih dalam kondisi aman, angka 2 sedikit beresiko, angka 3 beresiko, angka 4 sangat beresiko dan 5 gagal bayar.

"Saya kasih angka 3. Jadi pemerintah sudah harus waspada. Kenapa? Karena kalau butuh 3 tahun pendapatan pajak, itu berarti bisa diasumsikan negara gak berjalan. Artinya itu sudah beresiko karena hutang itu sudah setara dengan pendapatan pajak selama 3 tahun tadi," tegasnya

Baca Juga: Tudingan Politisasi Bansos tak Terbukti, Jokowi Senang

Terkait pernyataan Sri Mulyani bahwa utang Indonesia masih dalam tahapan aman, Imron menepis akan hal tersebut.

Menurutnya, ukuran perhitungan utang yang harus digunakan oleh pemerintah dalam hal ini menteri keuangan adalah kemampuan negara membayar utang tersebut. Untuk mengukur kemampuan negara membayar utang, indikatornya adalah rasio pendapatan pajak atau tax ratio selama 1 tahun.

Celakanya, penerimaan pajak Indonesia di tahun 2020 hanya sebesar Rp 1.070 triliun, dari target APBN 2020 sebesar Rp 1.642 triliun. Angka ini juga lebih kecil dari tahun 2019, yang penerimaan pajaknya sebesar Rp 1.322,7 triliun dari target APBN 2019 sebanyak Rp 1.960,6 triliun.

"Di Indonesia, tax ratio tidak pernah tembus target. Nanti bisa dicek, tax ratio kita itu hanya 10%, bahkan di bawah 10 persen. Yang artinya apa, ketika ratio hutang kita terhadap PDB 30%, itu sudah setara dengan 3 tahun pendapatan pajak," katanya

Bila membandingkan dengan negara-negara di Eropa, memang rasio hutang terhadap PDB mereka cukup tinggi diangka 40%. Namun kata Imron, rasio pajak atau pendapatan negara mereka dalam setahun mencapai 40% pula.

"Artinya hutang negara-negara di Eropa itu setara dengan 1 tahun saja. Meskipun hutangnya lebih tinggi dari pada Indonesia," katanya

Oleh karenanya, Imron menghimbau agar pemerintah jangan menggunakan ukuran rasio hutang dibanding PDB, melainkan menggunakan perhitungan rasio pajak.

"Karena itu pemerintah, menteri keuangan jangan hanya melihat ratio hutang terhadap PDB tetapi lihatlah pada kemampuan bayar pemerintah yaitu dari tax ratio. Jadi kalau menurut saya, utang Indonesia saat ini sudah cukup besar. Harus hati-hati, sudah waspada dari sekarang jangan berkeinginan lagi nambah utang" pungkasnya. sem/jk/bs/rl

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU