UU Kejaksaan Digugat ke MK

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 12 Mar 2023 21:11 WIB

UU Kejaksaan Digugat ke MK

Penggugat Mengaku Menjadi Korban Kesewenangan-wenangan Kejaksaan Tinggi Papua 

 

Baca Juga: Amicus Curiae, Terobosan Hukum

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - UU Kejaksaan digugat seorang advokat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yasin Djamaludin, advokat dari Papua meminta kewenangan Kejaksaan untuk menyelidiki dan menyidik kasus korupsi dihapus.

"Menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d Kejaksaan RI bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian permohonan Nurhidayat sebagaimana dikutip dari website MK, Minggu (12/3/2023).

"Menyatakan Pasal 44 ayat (4) dan Ayat (5) Khusus frasa 'atau Kejaksaan", Pasal 50 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) Khusus frasa 'atau Kejaksaan" dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa 'dan/atau kejaksaan' Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," pinta Yasin.

M. Yasin Djamaluddin, SH, MH, mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 82 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Gugatan dilayangkan karena Djamaluddin yang merupakan kuasa hukum Tersangka Johannes Rettob, S.Sos., M.M., dan Silvi Herawaty telah menjadi korban kesewenangan-wenangan Kejaksaan Tinggi Papua dengan keberadaan pasal tersebut.

Kepada wartawan di Jakarta, Djamaluddin mengemukakan, perkara bermula Johannes Rettob, S.Sos, MM, dan Silvi Herawaty ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 25 Januari 2023 atas dugaan tindak pidana korupsi pengadaan pesawat dan helikopter.

 

Tak ada Bukti Permulaan

Penetapan tersangka tersebut tidak didasarkan bukti permulaan yang cukup, sehingga M. Yasin Djamaluddin, S.H., M.H., yang merupakan kuasa hukum Tersangka Johannes Rettob, S.Sos., M.M., dan Silvi Herawaty mengajukan praperadilan untuk menguji prosedur penetapan tersangka telah sesuai atau tidak.

Setelah mengetahui adanya Praperadilan tersebut, walaupun proses penyidikan belum selesai yaitu belum ada pemeriksaan saksi dan ahli meringankan, penyidik Kejaksaan Tinggi Papua langsung melimpahkan berkas perkara ke Penuntut Umum dan selanjutnya langsung dilimpahkan ke Pengadilan agar permohonan Praperadilan tersebut digugurkan sehingga Kejaksaan Tinggi Papua selamat dari proses penetapan tersangka meski tanpa bukti permulaan yang cukup.

 

Hilangkan Hak Tersangka

Hal tersebut diakui Djamaluddin selaku kuasa hukum pemohon praperadilan sangat dirugikan karena telah menghilangkan hak Tersangka untuk menguji proses penetapan tersangka yang benar sesuai dengan asas due process of law. Sehingga Pasal 82 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), harus ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila Permohonan Praperadilan sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri, maka Pokok Perkara haruslah ditanggungkan sampai adanya putusan Praperadilan, agar prosedur, keadilan dan transparansi penegakan hukum berjalan dengan baik.

 

Kewenangan Penyidik dan Penuntut

“Bahwa kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disisi lain juga sebagai penuntut mengakibatkan tidak adanya checks and balances dalam proses penyidikan, sehingga sangat mudah untuk menyatakan berkas perkara lengkap dan dapat segera dilimpahkan,” ujarnya.

Kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut telah membuat kejaksaan menjadi lembaga yang sewenangan-wenang dalam proses penyidikan karena yang melakukan penelitian kelengkapan berkas perkara adalah kejaksaan juga yang notabene adalah teman sendiri.

Baca Juga: Ajuan Amicus Curiae Megawati, Didalami Hakim MK

Dikatakan, dalam perkara Johannes Rettob, S.Sos., M.M., dan Silvi Herawaty hak tersangkapun diabaikan demi menggugurkan praperadilan. Hal tersebut telah membuktikan Kejaksaan Tinggi Papua tidak siap dengan materi proses penetapan Tersangka, hanya siap dengan strategi menggugurkan praperadilan dengan cara melimpahkan berkas perkara.

 

Kewenangan Penyidikan Kejaksaan Ditiadakan

“Supaya ada checks and balances dalam proses penyidikan dan menghilangkan kesewenangan-wenangan Kejaksaan dalam proses penyidikan, maka kewenangan penyidikan tindakpidana tertentu sebagaimana Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia haruslah ditiadakan oleh Mahkamah Konstitusi karena sudah ada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang notabene adalah Penyidik,” ujarnya.

Selain itu juga, untuk menghindari Dwi fungsi kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut umum yang menjadikan jaksa bertindak sewenang-wenang dalam proses penyidikan dan untuk menghindari tumpang tindih penyidikan, maka Kejaksaan harus dikembalikan ke kewenangan yang hakikinya yaitu Penuntutan bukan penyidikan.

 

Strategi Gugurkan Hak Pencari

Pasal 82 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menurut Djamaluddin sering digunakan sebagai strategi untuk menggugurkan hak pencari keadilan terhadap kesewenangan-wenangan jaksa bukan hanya terjadi pada M. Yasin Djamaluddin, S.H., M.H., tapi kepada orang banyak.

Apa alasan Yasin meminta kejaksaan tidak berwenang mengusut kasus korupsi? Pertama, kewenangan jaksa masuk ke ranah penyelidikan dan penyidikan dinilai melanggar KUHAP. Sebab, pengaturan pembagian tugas penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Prapenuntutan maupun penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum telah menciptakan kepastian hukum terkait dengan pembagian kewenangan, sehingga tercipta check and balance dalam proses penyidikan/Prapenuntutan.

Baca Juga: Kesimpulan Paslon 01 dan 03: Sumber Masalahnya, Gibran dan Cawe-cawenya Jokowi

 

Kejaksaan jadi Super Power

"Dalam hukum acara pidana dalam tahapan Pra Ajudikasi atau pra penuntutan jaksa melakukan the screening prosecutor atau memeriksa hasil penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian berupa BAP, apabila menurut Jaksa/penuntut umum dirasa penyidikan yang dilakukan kurang lengkap maka Kejaksaan kepolisian untuk menyempurnakan penyidikannya," bebernya.

Alasan kedua, dengan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower mengingat bahwa Kejaksaan memiliki kewengan lebih selain melakuan Penuntutan jaksa juga bisa sekaligus melakukan Penyidikan. Pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik telah membuat Jaksa dapat sewenangan-wenang dalam melakukan proses penyidikan. Karena Prapenuntutan/control penyidikan atas penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa dilakukan oleh Jaksa juga, sehingga tidak ada control penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa dari lembaga lain.

"Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, Jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan tersangka untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara," urai Yasin.

 

Sejarah Pembentukan KUHAP

Alasan ketiga, sejarah pembentukan KUHAP menyatakan: "Adanya dua instansi tersebut yaitu kepolisian dan Kejaksaan yang sama-sama mempunyai wewenang melakukan penyidikan tindak pidana dalam peraktek menimbulkan kesimpang-siuran karena tidak ada pembidangan yang jelas dan tegas antara fungsi penyidik dan jaksa/penuntu umum.. karena itu di dalam rancangan undang-undang tentang hukum acara pidana ini diadakanlah suatu pembidangan yang jelas antara fungsi penyidik dan jaksa/penuntut umum. Dalam rancangan undang-undang ini ditentukan bahwa penyidikan sepenuhnya dilaksanakan polisi. Selain itu ditentukan pula sebagai penyidik ialah pegawai negeri sipil tertentu... dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah kordinasi dan pengawaan polisi... bilamana jaksa berpendapat bahwasanya belum cukup unsur-unsur atau kurang lengkap hasil penyidikan yang diajukan oleh pihak polisi, maka jaksa membuat catatan yang kemudian diserahkan kembali kepada polisi untuk dilengkapi... perbuatan jaksa atau penuntut umum dalam hal ini dinamakan penyelidikan lanjutan. Untuk jelasnya maka penyidikan lanjutan "deiure" ada pada Jaksa (agung) tetapi "de fakto" ada pada polisi dan wajib dilaksanakn oleh polisisesuai dengan catatan jaksa/penuntut umum."

"Pemberian kewenangan jaksa sebagai penyidik telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghilangkan jaminan keadilan mengakibatkan jaksa telah bertindak sewenang-wenang dan merugikan Pemohon," kata Yasin tegas. Kasus ini telah didaftarkan di MK dan segera disidangkan. n erc/jk/cr2/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU