Wali Kota Risma: Saya tak Pantas jadi Wali Kota Surabaya

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 29 Jun 2020 21:28 WIB

Wali Kota Risma:  Saya tak Pantas jadi Wali Kota Surabaya

i

Visual gambar by SP

 

Mengeluh ke Pengurus IDI Surabaya dan Jawa Timur Karena Bantuan ke RSUD dr Soetomo Ditolak. Sementara RS Milik Pemprov itu Mengaku tak Pernah Menolak Pemkot Surabaya, justru Selalu Menerima Bantuan karena 80 Persen Pasien Positif Covid-19 Berasal dari Surabaya 

Baca Juga: Usai Nyoblos, Risma, Ingatkan Perekonomian Rakyat Sulit

 

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Senin (28/6/2020) menggelar audiensi bersama pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya dan Jawa Timur. Audiensi ini untuk mengetahui penyebab tingginya angka kematian pasien Covid-19 di Surabaya dan Jawa Timur.

 Saat sedang mendengar pemaparan dr. Sudarsono, Sp.P (K) yang menyebut penyebab tingginya jumlah kematian pasien Covid-19 karena masih banyak pasien yang tidak dapat kamar di RSUD Dr Soetomo. Langsung Wali Kota Risma berdiri dari duduknya lalu berjalan mendatangi meja Sudarsono. Perempuan kelahiran Blitar ini mendadak bersujud, sambil terisak menangis.

 Melihat wali kota Risma menangis, dr. Sudarsono dan sejumlah staf Risma pun berusaha mengangkat Risma untuk berdiri meski kemudian Risma bersimpuh dan tetap menangis.

Saat bersimpuh itu, Risma sempat mengatakan dirinya goblok dan tak pantas memimpin Surabaya. "Maaf Pak Sudarsono saya ini memang goblok. Saya enggak pantas jadi wali kota Surabaya," kata Risma, masih terisak-isak, di halaman Balai Kota Surabaya.

 Melihat situasi mencekam dan mengharuhkan bak sebuah drama, Ketua IDI Surabaya, dr. Brahmana Askandar, SpOG, tampil menengahi sesi audiensi. Menurut hasil analisis dokter spesialis paru dan anastesi yang tergabung IDI Surabaya, ini ada beberapa penyebab mengapa jumlah pasien COVID-19 meninggal lebih tinggi di Surabaya.

 Penyebab pertama, jumlah ventilator di masing-masing rumah sakit tidak sebanding dengan pasien bergejala berat yang sedang dirawat. Kedua, banyak pasien tidak mendapat kamar di rumah sakit karena pasien yang sudah dinyatakan sembuh tidak segera dipulangkan karena menunggu 2 kali uji PCR yang rentang waktu uji PCR pertama dan kedua sekitar 2 minggu.

 

Risma Sanggup Bayar Klaim

"Proporsi pasien yang harus keluar dan masuk itu tidak sebanding. Karena banyak pasien yang sudah di PCR 1 kali dan hasilnya negatif, ternyata menurut aturan belum bisa pulang karena menunggu 2 kali PCR. Banyak RS khawatir kalau pasien dipulangkan sebelum 2 kali PCR, nanti enggak bisa klaim biaya ke pemerintah. Jadi kami harap bisa dapat solusi di audiensi ini," kata Ketua IDI Surabaya, dr. Brahmana Askandar SpOG.

 Mendengar penjelasan dr. Brahamana, walikota Risma, menyatakan akan membayar klaim pasien COVID-19 di Surabaya meski satu kali PCR. "Kalau pasien itu warga Surabaya, kami bayar klaimnya. Itu sudah saya sampaikan sejak awal penanganan. Dipulangkan saja, nanti kami yang bayar," kata Risma.

 

Gangguan di Paru-paru

Penyebab ketiga mengapa kematian karena COVID-19 jadi tinggi, menurut analisis dr. Christrijogo, spesialis anestesi dari RSUD Dr Soetomo karena adanya kondisi "happy hypoxia".

Happy hypoxia adalah kondisi saturasi oksigen di tubuh menurun drastis karena adanya gangguan di paru-paru. Kondisi happy hypoxia ini bisa dialami orang-orang yang tidak mengalami batuk kering dan demam.

Kondisi happy hypoxia ini menurut dr. Christrijogo, memicu kematian mendadak meski orang tersebut tidak memiliki gejala COVID-19 atau bahkan sudah dinyatakan sembuh. "Jadi untuk warga yang isolasi mandiri, harus selalu dicek saturasi oksigennya. Karena ada kondisi "happy hypoxia" yang membuat orang kehilangan kesadaran lalu meninggal mendadak," kata dr. Christrijogo Spesialis anestesi dari RSUD Dr Soetomo dalam sesi yang sama.

Baca Juga: Rayakan HUT ke-16, DPC Partai Gerindra Kian Intensif Perjuangkan Aspirasi Rakyat Dari Jalur Parlemen

Dikatakan oleh dr. Christrijogo, pada orang yang sehat biasanya memiliki saturasi oksigen sekitar 95 persen. Namun pada pasien COVID-19 saturasi oksigen ini bisa turun sampai 70 persen. "Karena itu untuk warga yang isolasi mandiri harus dicek berkala saturasi oksigennya. Kalau di bawah 70 persen, kerja jantung, paru-paru, dan otak sudah terganggu.

Meski dia OTG, tambahnya, kalau saturasinya turun drastis, mereka harus dirujuk ke RS untuk dapat perawatan ventilator," kata dr. Christrijogo. Mendengar saran tersebut, Wali Kota Risma berjanji akan menyediakan pulse oxymeter untuk mengukur saturasi oksigen dan menurunkan angka kematian mendadak karena COVID-19.

 

Tak Pernah Menolak Pemkot

Rumah Sakit Umum Daerah dr Soetomo Surabaya, melalui Kepala Humasnya, dr Pesta Marunung mengkonfirmasi mengenai pernyataan Walikota Tri Rismaharini yang menyebutkan bahwa pihak RSUD dr Soetomo menolak bantuan dari gugus tugas Pemkot Surabaya. "Kami tidak pernah menolak, kami sangat menghargai dan menghormati kinerja pemkot," ujar dr Pesta kepada Surabaya Pagi, Senin (29/6/2020).

dr Pesta mengakui bahwa pihaknya pernah menerima berbagai macam bantuan dari gugus tugas Pemkot Surabaya. Namun, pihak RSUD dr Soetomo selalu menerimanya dengan baik. "Dulu pernah dapat bantuan berupa chamber dan desinfektan, kami juga terima dengan baik. APD dulu juga pernah kami terima, kebetulan waktu itu kami masih cukup untuk stok APD, jadi kami sarankan untuk disalurkan ke puskesmas dan rumah sakit lain. Itu tidak menolak, kami menyampaikan agar pembagian APD merata," jelasnya.

Kepala Bagian Humas RSUD dr Soetomo tersebut juga mengatakan jika tidak mungkin pihaknya menolak bantuan dari gugus tugas Pemkot Surabaya. Hal itu dikarenakan sebagian besar pasien juga dari Surabaya. "Pasien kami kira-kira hampir 80 persen dari Surabaya, jadi tidak mungkin lah jika kami menolak bantuan dari gugus tugas Pemkot Surabaya. Ini demi kesembuhan masyarakat dari Surabaya juga kan," kata dr Pesta.

 Saat disinggung mengenai pernyataan Walikota Risma mengenai ketersediaan bed di Rumah Sakit Husada Utama Surabaya, dr Pesta kembali mengatakan jika pihaknya sudah mengkroscek langsung ke RSHU. "Untuk yang RS Husada Utama, waktu itu kami sudah kroscek kok mengenai ketersediaan bed. Memang saat itu penuh. Tapi sekarang jika ada pasien dengan gejala ringan ataupun sedang kita arahkan ke rumah sakit rujukan lain seperti RS Husada Utama," pungkasnya.

 

RS Darurat Lebih Diperhatikan

Baca Juga: Pemkot Surabaya Terima Program TJSL dari PT SIER Senilai Rp 715,2 Juta

Namun disatu sisi, Direktur Utama RSUD dr Soetomo dr Joni Wahyuhadi, mengaku kalau Pemkot tak pernah koordinasi dengan pihak manajemen terutama direksi RSDS. “Selama ini tidak pernah ada yang menghubungi saya,” jawab singkat dr Joni, saat ditemui usai rapat hearing di DPRD Jawa Timur, Senin (29/6/2020).

Menurutnya, bukannya rumah sakit yang dipimpinnya enggan menerima bantuan yang diberikan Pemkot Surabaya, hanya saja menurutnya masih banyak rumah sakit rujukan di Surabaya yang masih membutuhkan bantuan APD, seperti rumah sakit darurat yang ada di jalan Indrapura, Surabaya.

“Bukan, jadi begini Rumah Sakit Soetomo itu kan sudah mendapatkan bantuan banyak sekali dari provinsi dari donatur kita nah, kami memikirkan kawan-kawan di rumah sakit darurat. Kami punya WA grup kasihan Rumah Sakit darurat itu dia harus diperhatikan, maka alangkah baiknya pemkot kalau akan memberikan bantuan bisa di tujukan ke rumah sakit darurat dan 99 rumah sakit rujukan” ungkap Joni.

 

Dinkes Surabaya Sering Koordinasi dengan RS di Surabaya

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita memastikan bahwa Pemkot Surabaya melalui Dinas Kesehatan Surabaya setiap hari selalu rutin melakukan koordinasi kepada semua rumah sakit di Kota Surabaya. Rumah sakit yang dilakukan dengan keliling itu untuk memastikan ketersediaan tempat tidur dan jumlah pasien yang sedang dirawat.

“Kenapa kami melakukan itu setiap hari? Karena tidak semua rumah sakit entry data pasien, sehingga kami harus mendatangi rumah sakit itu setiap harinya, yang mana sering tidak entry data dan yang mana yang tidak tepat waktu melaporkan pasiennya,” Feny-sapaan Febria Rachmanita.

Feny mengakui, koordinasi itu memang terkadang tidak langsung dengan direksinya, tapi biasanya dengan rekam mediknya, dengan perawatnya atau dokter jaganya. Makanya, Feny memastikan bahwa tidak benar jika ada tuduhan miring tentang tidak adanya koordinasi antara Dinkes dengan pihak rumah sakit. “Kalau tidak koordinasi, pasti kami tidak punya data,” katanya.

Ia juga menjelaskan bahwa harus tahu tentang data pasien itu karena untuk kepentingan tracing yang dilakukannya setiap hari. Dengan masifnya tracing itu, maka penularan virus tersebut bisa segera dicegah. “Kami juga punya data bahwa saat ini ada sebanyak 429 tempat tidur kosong di 50 rumah sakit di Surabaya, kami tahu karena kami keliling ke rumah sakit itu,” pungkasnya. alq/adt/rko/cr1/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU