Wartawan Baca Quran Saat Ramadhan, DitambahiNya Akal

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 29 Mar 2023 21:24 WIB

Wartawan Baca Quran Saat Ramadhan, DitambahiNya Akal

i

H. Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Saat pulang bekerja habis merampungkan deadline koran, saya melewati beberapa masjid. Saya mendengar alunan suara pria-wanita membaca Al Quran. Saat itu hati saya gemetar. Mobil saya pinggirkan. Saya dengarkan. Dan saya diam. Saya berusaha menyimak dengan baik. Tapi belum bisa memahami maknanya. Setiba di rumah, saya wudhu dan mengambil  Al Qur'an.

Saat membuka pertama kali, Masya Allah, saya melihat dan membaca Surat Al-Mujadalah ayat 11:.

Baca Juga: Peran Shin Tae Yong Bangun Team Work

 “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Saya simak ayat ini dengan seksama, ternyata  menuntut ilmu dalam Al Quran juga dianjurkan.

Saya malam ini merenung sebagai ciptaanNya saya mesti menggali segala hal yang ada di dunia. Apalagi kehidupan saat ini yang terus berkembang.  Tidak lepas dari peran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Saya malam itu mebaca beberapa ayat lagi seperti Surat Thaha ayat 114 dan Surat Ali Imran ayat 7.

Saya merasa mendapat anugerah dari-Nya yaitu akal. Dengan tambahan akal berpikir ke depan, Quran mengajarkan pada saya tidak hanya belajar ilmu lama, tapi diperintah untuk berpikir dan mengembangkan kemajuan teknologi untuk masa depan dan pengetahuan lebih luas.

Semalaman, saya seperti didorong dorong mempelajari hubungan teknologi dan perilaku manusia. Ini bisikan pendekatan baru wartawan muda. Sepertinya saya diberi tambahan akal menggali keilmuan Teknologi dan Perilaku sebagai pendekatan baru dalam ilmu pengetahuan perilaku. Karena saya wartawan pikiran saya melayang ke teknik jurnalisme media mainstream era kemajuan teknologi.

Saya diingatkan sejak lahir telah diberikan beberapa potensi ilmu bisa menjalani kehidupan di masa depan dengan mudah. Apa itu? Akal, akal dan moralitas.

Malam itu, saya makin sadar dan yakin (maklum meski saat kecil sudah bisa baca Quran, saat tambah usia seperti terabaikan).

Jujur baru malam ini saya diyakinkan oleh bisikan" Hai, wartawan muda, Al Quran adalah petunjuk hidup manusia".

Quran juga telah memberikan informasi penting mengenai dasar dalam pengembangan ilmu. Saya yakin bisikan malam itu akan  membawa kemanfaatan dan kemudahan dalam kehidupan saya sekarang dan ke depan. Termasuk mendorong saya agar menggali ilmu yang mengarah pada ketaatan dan kepatuhan kepada-Nya.  Hal yang saya timba dari tiga ayat tadi bahwa

Seorang muslim  mesti melaksanakan konsekuensi-konsekuensi dari pengakuan telah

berIslam, dengan memadukan akal, moral dan ilmu.Masya Allah.

 

***

 

Sebagai orang yang berprofesi wartawan, yang tiap hari menulis dengan idealita saya dituntut mengembangkan profesi jurnalistik untuk mencerdaskan bangsa. Tentu dengan akal (Ilmu) dan moral (Kode etik Jurnalistik,).

Didalamnya ada moralitas. Ini merupakan keseluruhan norma-norma, nilai-nilai dan sikap seorang wartawan dalam bermasyarakat.

Bagi saya tugas wartawan dan media tidak sebatas berperan sebagai penyampai informasi kepada masayarakat semata, tetapi lebih dari itu, wartawan  dituntut  sesuai dengan moral (etika) jurnalistiknya. Terutama harus dapat melahirkan berita-berita yang mampu membuat masyarakat memahami dan mengambil pelajaran yang berguna atas berita yang dipublikasikan.

Disana ada  sikap dan perilaku ideal. Ada juga  pertimbangan akal yang dimiliki manusia dari Allah SWT.

Peran wartawan yang dianggap sebagai penyampai informasi lewat tulisan, harus mengedepankan moral kewartawanannya secara benar sesuai dengan yang diamanahkan oleh kode etik jurnalistik itu sendiri. Disamping itu, wartawan yang juga sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) berkewajiban melakukan perubahan perilaku sosial masyarakat menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Bagi saya, ilai-nilai profesional bagi wartawan sebagaimana tercantum dalam setiap kode etik pers adalah akurasi, objektivitas, dan keseimbangan.

Ini karena media cetak memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi sekaligus merubah pola pikir, sikap dan perilaku publik.

Maklum, media selain berfungsi menyiarkan informasi, media juga berfungsi mendidik, mengajak, dan menyajikan ruang ilmu pengetahuan bagi pembacanya. Bahkan, peranan media sebagai sarana komunikasi, sangat menentukan perubahan moral dan watak masyarakat.

Seorang tukang batu  jengkel gara-gara tanah yang dicangkulnya berbatu cadas, sehingga paculnya patah, ini peristiwa. Juga pejabat pajak punya harta fantastic dan anaknya tersandung masalah penganiayaan berat. Dua duanya peristiwa. Tetapi apakah semua itu cukup bernilai dan membuat pembaca tertarik?. Tidak.

Hadapi dua peristiwa seperti ini seorang wartawan berakal mesti ingat news value.

Ia mesti buka naluri yang kuat untuk memilih dan memastikan mana peristiwa yang layak diberitakan, mana pula yang tidak.

Nah, news value (nilai berita) yang menjadi indikatornya. Disertai background information manakala ia diperlukan. Kasus pejabat pajak punya harga fantastis mesti diungkap background information.

Ini agar pembaca dapat memahami duduk perkara peristiwa yang masih  isu sepihak. Maka itu, saya sering membuat catatan jurnalistik dengan pendekatan jurnalisme interpretatif.

Ini karena sudah 10 tahun lebih jurnalisme objektif mulai banyak ditinggalkan Media mainstream. Media sekarang mulai banyak yang menganut jurnalisme interpretatif.

 

***

 

Diberitakan, Marissa Mayer, wakil presiden di Google (saat itu), mencatat peningkatan yang luar biasa lalu lintas pada mesin pencari ke situs-situs berita dan berharap bahwa inovasi akan melestarikan jurnalisme dan memiliki fungsi penting dalam masyarakat.

Baca Juga: Hakim MK Berpikir Sempit atau Serap Rasa Keadilan

Artinya, kini sudah menjadi trend di masyarakat bahwa untuk mencari informasi tertentu, orang sering mendatangi google.com

Ini menunjukan wartawan tidak diberi kesempatan untuk bersaksi dan meliput dengar pendapat itu. Namun, David Simon, mantan wartawan Baltimore Sun, berbeda. "Di Amerika, jurnalisme tingkat tinggi sedang sekarat," katanya.

Bukan karena internet, tetapi lebih dikarenakan persoalan sikap. “Media meninggalkan ambisinya untuk menjelaskan dunia yang semakin kompleks."

Steve Coll, mantan editor untuk Washington Post, mencoba memberikan pendapatnya. Menurut dia, perubahan teknis dan pasar yang menyebabkan media tiba-tiba kehilangan begitu banyak laporan yang independen.

Sementara itu, James Moroney, CEO Dallas Morning News yang mewakili Newspaper Association of America, mengatakan surat kabar mengalami krisis bukan karena kehilangan pembaca tetapi karena media telah kehilangan semangat dan meningkatnya kompetisi akibat kemunculan internet dan media lainnya. Nah. Ini ilmu yang saya gali.

Pendiri dan editor situs berita online Huffington Post, Arianna Huffington, mengkritik jurnalisme sistem lama. Dia mengatakan bahwa media sistem lama telah gagal menjelaskan situasi menjelang perang di Irak dan krisis keuangan. Alih-alih menjelaskan soal itu, media mempublikasikan penerbitan gaya pemberitaan yang mendikte tentang apa yang penting. "Hari-hari itu kini telah lewat,” ingat Arianna Huffington, .

Setelah memberikan pernyataan resmi, Senator asal Texas, Kay Bailey Hutchinson -- anggota kelompok minoritas -- bertanya apakah organisasi online dapat menghasilkan laporan yang menjelaskan suatu peristiwa secara mendalam?

Moroney, CEO Dallas Morning News mengatakan bahwa setiap tahun Dallas Morning News edisi online menyisihkan sebagian kecil dari $ 30 juta penghasilannya untuk dihabiskan pada pengumpulan berita.

Missouri Senator Claire McCaskill, lalu bertanya apakah anggaran yang disediakan bagi pos tidak-untuk-keuntungan bisa mengisi kesenjangan? Presiden Knight Foundation, Alberto Ibargüen, mengatakan bahwa warga pedesaan, miskin, dan warga usia tua, masih kekurangan akses terhadap berita meskipun dalam beberapa kasus keberhasilan proyek online sering diperdengarkan.

Lalu Senator Kerry menutup dengar pendapat dengan menyerukan perlunya kebijakan yang memungkinkan lancarnya aliran berita bebas. Nah, inu fenomena baru.

Di sisi lain, dia khawatir bahwa, walaupun lebih banyak informasi yang tersedia, orang Amerika akan merasa kesulitan untuk memisahkan fakta dan opini.

Semua pihak sepakat pada kebutuhan untuk melestarikan model penulisan in-depht reporting guna menghasilkan berita yang berkualitas.

Dalam beberapa tahun terakhir, para ahli di AS mengeluhkan tentang gaya pemberitaan media yang dinilai memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan rekan-rekan mereka di Eropa.

Sebuah artikel yang dimuat di the Nation dengan judul “the Collapse of Journalism” berargumen bahwa negara-negara lain telah menghabiskan lebih banyak menginformasikan kepada masyarakat melalui media. Suatu investasi yang menghasilkan berita secara dramatis lebih rinci dan tajam.

Komentar lainnya merujuk pada pers Perancis sebagai suatu contoh yang medianya selalu memberikan analisis dan menyampaikan berita mendalam. Nah!

Wartawan dari Perancis menyarankan wartawan Amerika mengikutinya. Studi tentang pers Finlandia menemukan bahwa sejak 1990an, kecenderungan wartawan untuk memberi komentar tentang suatu peristiwa yang dimuat di halaman depan meningkat. Nah!

Tapi beberapa sosiolog melaporkan bahwa berita lokal telah"gagal menghasilkan penjelasan yang cukup jelas dan menjawab pertanyaan tentang mengapa.

Baca Juga: Gus Muhdlor, Mendadak Sakit, Jumat Kelabu Urung

Mereka memang sudah memberikan semacam kesimpulan tetapi mungkin mereka telah menariknya untuk audiens yang lebih besar, alias tidak berani bersikap.

Dalam perspektif sebagian pihak, berita didefinisikan sebagai wujud yang terpisah (independen) dari diri wartawan. Berita adalah fatka yang ada ‘di luar sana’ yang menunggu dicari dan ditulis, serta kemudian dipublikasikan oleh media (Erjavec, 2003).

Gagasan jurnalisme objektif ini banyak mendapat kritik. Salah satu diantaranya, seperti ditulis Edi Santoso - Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNSOED -- objektifitas seringkali dijadikan sebuah selubung atas kebohongan terhadap publik.

Misalnya wartawan seolah-olah terbebas dari dosa setelah mematuhi kaidah pemberitaan berimbang, meliput dua pihak yang bertikai tanpa mempedulikan kebenaran dari fakta yang disampaikan pihak-pihak tersebut. Wartawan seolah lari dari tanggung jawab atas kebenaran fakta peristiwa, dengan dalih biarkan khalayak sendiri yang memaknainya.

Stephen Ward menilai, gagasan objektif untuk memisahkan antara fakta dan nilai adalah hal yang tidak mungkin, karena semua pengetahuan, bahkan termasuk data-data sains tidak bisa menjadi bebas nilai. Bahkan gagasan ini sesungguhnya merupakan penipuan, karena seorang wartawan tak lain adalah ‘aktor-aktor’ politik yang pasti memiliki bias dalam laporannya. Tidak saja bias karena faktor personal (ideologi, pengalaman) tapi juga karena tekanan eksternal (Ward, 1998).

Sebagai alternatif gagasan jurnalisme objektif ini, kemudian muncul jurnalisme subjektif atau interpretatif. Nah!

Jurnalisme interpretative secara mudah sering diartikan jurnalisme dalam konteks. Artinya, wartawan tak semata-mata menyajikan fakta, tetapi juga menyuguhkan makna. Maka, seorang wartawan interpretative senantiasa memaknai tiap jalinan peristiwa, melihat keterkaitan antar fakta, kemudian berbagi pandangan dengan khalayak (Oetama, 2003).

Banyak orang yang menyarankan agar media sekarang lebih interpretatif. Di satu sisi, ini akan menghapus kekhawatiran tentang pengaruh komersial dan public relations, sekaligus tentang bias wartawan, namun di pihak lain ada usulan agar berita ditulis secara lebih lengkap dan memberikan lebih banyak konteks.

Mereka mengatakan, pers saat google meluas, harus melakukan pekerjaan yang lebih baik untuk menjelaskan tentang asal informasi dan membuang kekhawatiran bahwa internet dapat merusak usaha mereka. "Sama seperti televisi yang memiliki semuanya, tetapi seringkali membuang laporan yang bersifat pengamatan langsung, ancaman media internet adalah karena karakter media internet yang lebih interpretif dan mengalahkan pelaporan biasa," kata seorang wartawan sebuah media online.

Pada dasarnya, wartawan juga ingin menyediakan lebih banyak berita interpretasi yang lebih baik. Dalam beberapa dekade terakhir mereka telah mencela kecenderungan tumbuhnya laporan berita ilmu pengetahuan untuk memanipulasi fakta, dan menyerukan lebih banyak konteks sehingga membuat sesuatu menjadi koheren dan bermakna.

Dalam pandangan mereka, seorang watawan haruslah meningkatkan fungsi analisis dan penjelasan dalam pemberitaannya.

Pemenang hadiah Pulitzer Jack Fuller juga berpendapat, sebagai penerbit Chicago Tribune, audiensenya menemukan bahwa berita yang netral sempurna tidaklah menarik. Subhanallah. Dia mengharapkan wartawan untuk melakukan lebih banyak pekerjaan analitik dan selalu memberikan jawaban atas pertanyaan masyarakat yang ingin mendapatkan penjelasan secara memadai.

 

***

 

Ini sepertinya yang diajarkan Al Quran. DijelaskanNya, semua ilmu pengetahuan bersumber dari Maha Pencipta dan diajarkan kepada umat manusia melalui al Qur'an. Mulai dari kosmologi, astronomi, fisika, matematika dan termasuk jurnalistik  sampai pada ilmu kedokteran. Semua ilmu bersumber dari al Qur'an.

Al-Quran juga menyuruh manusia belajar dari sejarah dan mengambil perbandingan dari kejayaan dan kejatuhan umat-umat terdahulu dalam rangka menghadapi masa depan. Masya Allah. Jurnalisme intepretatif menurut akal sehat saya adalah pilihan menghadapi keluasan google. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU