Yayasan Suku Xian Yu, Gugat Oknum Pengurus

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 25 Sep 2022 20:52 WIB

Yayasan Suku Xian Yu, Gugat Oknum Pengurus

i

H. Raditya M Khadaffi

Menguak Perbuatan Melawan Hukum Pengurus Yayasan Sosial Budi Mulia Abadi Surabaya (1)

 

Baca Juga: Panglima TNI Bicara Bahan Pokok dan Politisasinya

 

 

 

Saat bertemu beberapa pengacara di Pengadilan Negeri Surabaya, saya mendapat informasi bahwa ada perkara perdata soal pencemaran nama baik pengurus yayasan. Penggugat dan Tergugat sama-sama pengurus Yayasan. Perkara gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ini menggunakan pasal 1365 KUHperdata. Sengketa ini terjadi antara pengurus Yayasan Sosial Budi Mulia Abadi yang dulu dikenal sebagai perkumpulan Xian Yu. Sengketa ini punya makna religi, histori kultural, sosial dan keberadaban. Ada empat aspek yang menggugah saya sebagai jurnalis, untuk menguak sengketa dari suku Tionghoa. Paling tidak untuk cermin bangsa ini, terutama warga Indonesia keturunan Tionghoa. Dan konon bukan semata urusan aset Yayasan, tapi keberadaban. Ada pengurus yang berkorban moril dan material dicemarkan nama baiknya. Berikut catatan pertama saya:

 

 

 

Menggunakan peradaban global, bangsa China dicatat memiliki peran besar dalam peradaban dunia. Terutama daya jelajah masyarakatnya ke pelosok dunia, termasuk di Indonesia.

Catatan sejarah di Indonesia, ditemukan aspek historiografi atau penulisan sejarah Indonesia yang tidak lepas dari peran bangsa China.

Termasuk aktivitas kerajaan di Nusantara misalnya, catatan penjelajah China mulai abad ke-4 hingga abad ke-7.

Fakta sejarah mencatat aktivitas masyarakat Tionghoa di Nusantara juga berkembang.

Termasuk berkontribusi besar dalam perjalanan sejarah kemerdakaan Indonesia. Sejarah ini terungkap berkat penemuan benda arkeologi.

Dilansir dari buku Tionghoa dalam Pusaran Politik yang ditulis sejarawan Benny G Setiono, penemuan benda kuno ini memperlihatkan awal masuknya bangsa China antara lain tembikar di Jawa Barat, Lampung, dan Kalimantan Barat; juga kapak batu dari zaman Neolitikum.

Sejarah Indonesia juga mencatat berbagai kronik dan cerita dari Dinasti Han, terutama pada masa pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (6 SM - 1 SM).

Pada masa itu, bangsa China mengenal Nusantara dengan sebutan Huang Tse.

Adanya penemuan koloni masyarakat Tionghoa di Tuban, Gresik, Jepara, dan Lasem pada pemerintahan Kerajaan Airlangga, membuat masyarakat Tionghoa di nusantara mampu beradaptasi dan diterima dengan masyarakat setempat. Koloni itu kemudian terus berkembang hingga terjadi pembauran.

Para leluhur suku Tionghoa melakukan imigrasi sejak abad ke-16 sampai 19. Tujuan mereka imigrasi adalah untuk berdagang. Salah satu tujuan negara untuk mereka berdagang adalah negara Indonesia. Setelah imigrasi dan berdagang, mereka memilih untuk menetap dan menikah dengan wanita setempat. Hal tersebut yang membuat suku Tionghoa tersebar di Indonesia.

Karena semua suku Tionghoa masuk ke Indonesia dan menetap di Indonesia maka hal ini menyebabkan adanya akulturasi dan asimilasi budaya. Budaya Tionghoa dan Indonesia bersatu karena percampuran penduduk ini, bahkan dapat terjadi campur kode ketika sedang berbicara satu sama lain.

Sejak Indonesia merdeka, suku Tionghoa yang tinggal di Indonesia sudah dianggap sebagai bagian dari lingkup nasional Indonesia sesuai dengan Undang-Undang yang telah ditetapkan. Suku Tionghoa yang ada di Indonesia jika dihitung kurang lebih hanya 4-5% saja.

Diantaranya ada suku-suku besar antara lain suku Hokkian, suku Haninan, Suku Hakka, Suku Tiochiu dan Suku Kanton.

Dalam kenyataan di Indonesia, bahasa Kanton sering disebut sebagai bahasa Konghu. Bahasa ini diakui menjadi salah satu dialek Tionghoa yang dituturkan di daerah barat Tiongkok seperti Guangdong, Hong Kong, Makau, dan Tionghoa dari Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.

Bahasa Kanton ini adalah bahasa yang paling banyak digunakan diseluruh dunia, jumlahnya hampir 70 juta orang yang menggunakannya. Peneliti ahli bahasa Han di Tiongkok mengatakan bahwa bahasa Kanton ini adalah salah satu dialek Han tertua yang ada sampai sekarang. Dialek ini juga digunakan pada masa Dinasti Tang.

Sehingga bangsa China memiliki peran besar dalam historiografi Indonesia. Salah satu tokoh yang mencatat mengenai eksistensi Nusantara atau Indonesia sejak awal adalah Fa Hian, yang dikenal juga sebagai Fa Hsien, Fa Hien, atau Faxian.

Benny G Setiono menulis bahwa Fa Hian yang merupakan seorang pendeta atau biksu itu mengunjungi Pulau Jawa pada 399-414. Saat itu dia dalam perjalanan menuju India.

Perjalanan Fa Hian itu ditulis dalam buku berjudul Fahueki. Jejak penjelajahan Fa Hian itu kemudian diikuti oleh Sun Yun dan Hwui Ning dalam perjalanan ziarah menuju India.

Catatan perjalanan lain yang memperlihatkan eksistensi Nusantara dalam ekspedisi bangsa China adalah yang ditulis oleh I Tsing.

 

Baca Juga: Rumah Biliar Berkedok Latihan Olahraga, Diduga Permainan Pejabat

***

 

Ada juga keluarga Xian. Mereka dicatat memiliki keturunan Kaisar Di Ku. Selama Dinasti Shang, Astronom Wu Xian mendapatkan nama keluarga Xian. Dicatat selama masa Kaisar Yao, keluarga Si mendapatkan nama keluarga Xian. Di wilayah Negara Chu, keluarga Mi, juga mendapatkan nama keluarga Xian.

Juga selama Dinasti Zhou, pada negara Jin, keluarga Ji, mendapatkan nama keluarga Xian. Bahkan Dinasti Han, orang Hui juga mendapatkan nama keluarga Xian.

Malahan selama Dinasti Qing, berkuasa, Khitan, juga mendapatkan nama keluarga Xian.

Dalam sejarah, berbagai suku minoritas menggunakan nama keluarga Xian.

Diperkirakan kini ada sekitar 300-an marga Tionghoa di Indonesia. Dari data di PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) tercatat ada sekitar 160 marga Tionghoa di Jakarta.

Marga atau suku Tionghoa ada yang membuat penyedia jasa di bidang bisnis kematian etnis Tionghoa di Surabaya mulai 1967-1998. Bisnis kematian merupakan bisnis yang lahir karena adanya kepentingan dari etnis Tionghoa untuk melaksanakan upacara kematian.

Bisnis kematian etnis Tionghoa di Surabaya semakin berkembang pada masa Orde Baru. Selain dilatarbelakangi oleh dikeluarkannya Instruksi Presiden 14/ 1967, berkembangnya bisnis ini juga terjadi karena perubahan dalam pemaknaan upacara kematian etnis Tionghoa. Kehadiran bisnis kematian pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan dalam memaknai dan melaksanakan upacara kematian etnis Tionghoa.

Pelaksanaan upacara kematian yang sebelumnnya dilaksanakan secara sukarela kemudian berubah menjadi komerisal. Upacara kematian dengan bisnis kematian sebagai pendukungnya, mulai digunakan sebagai media untuk menunjukkan status sosial dan ekonomi yang dimiliki oleh sebuah keluarga. Di Surabaya ada Yayasan Sosial Budi Mulya Abadi. Yayasan ini memiliki tanah dan pengelolaan makam di Gunung Gangsir.

Makam ini terletak di desa Gunung Gangsir,, Kuburan, Kemiri Sewu, Beji, Pandaan, Pasuruan. Disana, ada pemakaman “manggungrejo” di Desa Gununggansir. Wujudnya tampak seperti makam pada umumnya. Namun setelah masuk ke dalam areal pemakaman , tampak ada salah satu areal pemakaman keluarga yang dikelilingi pagar teralis besi dan bertuliskan makam keluarga R.A Prawiro Atmojo.

Ditemukan bahwa makam Gunung Gangsir era kepengurusan Yamin Naharto (periode kepengurusan Yayasan ke 14), area makam ini seperti tak terurus. Denahnya semrawut yang hanya bisa dipahami A.Tjhay, pengurus Yayasan era Yamin.

Baru era kepemimpinan Yayasan periode ke 15 yaitu diketuai Bapak Tjokro Saputrajaya, area makam Gunung Gangsir dibenahi dengan mengundang konsultan properti makam. Peran konsultan makam ini untuk pendataan kavling secara tertib, sehingga timbul master denah kavling makam yang rapi.

 

Baca Juga: Hak Angket, Adu Okol

***

 

Menurut histori kultural, Yayasan Sosial Budi Mulia Abadi ini awalnya didirikan oleh perkumpulan warga suku Xian Yu atau Sien Jie Kung Wei. Perkumpulan ini berdiri sejak penjajahan Belanda tahun 1922.

Pada tahun 1965, saat ada peraturan pemerintah yang mengharuskan perkumpulan menghentikan operasionalnya. Maka perkumpulan marga Xian Yu, menghentikan aktivitasnya.

Baru pada tahun 1979, pengurus perkumpulan marga Xian Yu, mendirikan Yayasan Sosial Sinoman “Budi Mulia” dengan Akte No 233 tanggal 29 September 1979 di notaris Soetjipto SH. Susunan pengurus diketuai Poedji Hartono. Era kepengurusan Bapak Tjokro Saputrajaya, Poedji menjadi Pembina. Poedji, meninggal pada tanggal 21 Juli 2022, usia 90 tahun.

Secara hukum, Yayasan ini tercatat mengalami beberapa kali perubahan yang tertuang di sejumlaj Akte Notaris. Juga ada sejumlah berita acara pergantian pengurus, terutama susunan Dewan Pembina dan anggotanya.

Berdasarkan data yang saya peroleh, yayasan yang memiliki tujuan mulia sebagai kegiatan sosial etnis Tionghoa Surabaya, terutama warga suku Xian Yu, terungkap ada gesekan kepentingan sejumlah oknum.

Maklum, Yayasan yang didirikan Encik-Eng Kong (kakek yang kini usianya diatas 70 tahun) ini periode kepengurusan ke14 pernah tidak dikelola dengan pembukuan yang tertib. Eksesnya menimbulkan kecurigaan atas pengelolaan aset, tujuan yayasan dan penanganan uang arisan.

Berbagai faktor ini menimbulkan peristiwa pencemaran nama baik.

Bapak Tjokro Saputrajaya, pengurus yang dikenal suka berkorban moril dan material, (karena Tjokro di kalangan orang Tionghoa, diakui pengusaha sukses yang dermawan) satu sisi diberi penghargaan tapi juga diberhentikan dari kepengurusan.

Atribut yang ambigu ini menjadi pembicaraan di kalangan pengurus dan anggota Yayasan.

Merasa nama baiknya dicemarkan, Tjokro Saputrajaya dan Hartanto Saputrajaya Nyoto, pengurus Yayasan periode ke 15 (tahun 2018-2023, berdasarkan Akte Berita Acara No 2 tanggal 10 Oktober 2018 dibuat di notaris Machfud Fauzi, SH,. Notaris di Surabaya), menggugat pembina Yayasan Sosial Budi Mulia Abadi periode ke 14.

Perkara ini berawal dari penggugat yang berlatar belakang pengusaha properti diberhentikan dari pengurus yayasan itu.

Tjokro kaget, lalu menggugat Paul Tanudjaja, Yuli Puspa, Soesanto, Tjipto Chandra dan Hadi Soehalim yang merupakan pembina yayasan, diduga ada pencemasan nama baik. ([email protected], bersambung)

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU