SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Saya menyesalkan pola penanganan terhadap suporter yang turun ke stadion oleh polisi. Apalagi dengan menghajar dan menembaki gas air mata. Ini terimbas kepada penonton yang ada di tribun.
Akibat kepanikan massal dan dampak dari gas air mata, ratusan orang berdesakan yang ingin keluar dari tribun menjadi korban. Saat ini korban mencapai 130 orang.
Baca Juga: Lolos Senator DPD RI Nawardi Raih 3,28 Juta Suara di Pemilu 2024
Saya ingatkan ada larangan penggunaan gas air mata itu telah diatur FIFA dan tertuang pada Bab III tentang Stewards, pasal 19 soal Steward di pinggir lapangan. Jelas ditulis; Dilarang membawa atau menggunakan senjata api atau gas pengendali massa.
Menurut saya kejadian ini membuktikan lemahnya koordinasi. Padahal sebelum match, pasti ada rakor pengamanan antara Panpel dengan Kepolisian.
Saya tak tahu entah apa alasan yang membuat polisi menembakkan gas air mata ke tribun, sehingga membuat kepanikan massal.
Saya pikir strategi evakuasi yang utama mestinya mengamankan pemain, dan itu sudah dilakukan.
Baca Juga: PHRI Jatim Dorong Kolaborasi Lintas Sektor Pariwisata
Selanjutnya tinggal mencegah penonton melakukan perusakan atau saling serang antara dua kubu. Sambil semua pintu keluar dan jalur evakuasi dibuka untuk pengosongan stadion.
Mengacu pada aturan FIFA melakukan pengosongan tribun dengan menembakkan gas air mata, jelas menyalahi aturan FIFA.
Hal pasti, Dunia sepakbola tanah air berduka. Ini kerusuhan menjadi catatan kelam sepakbola nasional.
Baca Juga: Merdeka Itu Bila Negara Bisa Tekan Kemiskinan
Saya turut berdukacita atas peristiwa tersebut. Dan saya meminta semua stakeholder sepakbola nasional melakukan evaluasi agar kejadian serupa tidak terulang.
Kerusuhan sepakbola memang pernah terjadi. Tapi kejadian di Kanjuruhan kali ini sangat luar biasa, karena jumlah korban sangat besar. Sebuah catatan kelam bagi persepakbolaan nasional, bahkan dunia. Saya prihatin dan menyesalkan kenapa hal itu harus terjadi. rmc
Editor : Moch Ilham