Soal Hilirisasi Mineral, Faisal Basri Sebut Kebijakan Pemerintah Ugal-ugalan dan Untungkan China

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 13 Agu 2023 20:28 WIB

Soal Hilirisasi Mineral, Faisal Basri Sebut Kebijakan Pemerintah Ugal-ugalan dan Untungkan China

i

Faisal Basri

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Faisal Basri mengaku sebetulnya dirinya mendukung sepenuhnya industrialisasi yang mau dilakukan pemerintah. Tetapi dirinya menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang. Dia mencap kebijakan hilirisasi sangat ugal-ugalan.

Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri ini malah membeberkan data bahwa 90 persen keuntungan dari kebijakan hilirisasi industri nikel di Indonesia mengalir ke China.

Baca Juga: Politisi Jalin Politik Silaturahmi

Faisal Basri menilai hilirisasi tidak banyak menguntungkan Indonesia, tapi China.

"Seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," terang Faisal Basri, dalam blog pribadinya faisalbasri.com, dikutip Jumat (11/8/2023). Faisal Basri, komentari penjelasan Jokowi, dalam blog pribadinya faisalbasri.com, dikutip Jumat (11/8/2023).

 

Kebijakan Sangat Ugal-ugalan

Dalam blog pribadi Faisal Basri, ia mengatakan bahwa kebijakan hilirisasi sangat ugal-ugalan dan hanya mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia.

"Seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," tambah Faisal Basri.

 

Tak Lebih 10 Persen

Faisal Basri menilai nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10%. Pasalnya, hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.

Belum lagi, hampir 100% modal berasal dari perbankan China, dengan begitu pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China. Dia juga mengatakan bahwa China tidak membayar royalti kepada Indonesia.

"Apakah perusahaan smelter China tidak membayar royalti? Tidak sama sekali. Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor," lanjut Faisal.

Dia memaparkan kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur nyatanya terus menurun. Data yang dia paparkan, peranan sektor manufaktur turun dari 21,1% di tahun 2014 menjadi hanya 18,3% pada tahun 2022. Bahkan, peranan sektor manufaktur berada di titik terendah sejak 33 tahun terakhir.

 

Menyoal Smelter Nikel

Keberadaan smelter nikel juga dinilainya tidak memperdalam struktur industri nasional. Produk smelter dalam bentuk besi dan baja tidak semuanya bisa langsung dipakai di dalam negeri. Misalnya untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun.

Produk besi dan baja yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis, menurutnya yang dikatakan oleh Jokowi adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.

Sementara itu, hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China.

Sejauh ini menurutnya tidak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China.

"Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products," beber Faisal Basri.

 

Mayoritas Smelter Milik China

Faisal Basri menilai nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10%. Pasalnya, hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.

Belum lagi, hampir 100% modal berasal dari perbankan China, dengan begitu pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China. Dia juga mengatakan bahwa China tidak membayar royalti kepada Indonesia.

"Apakah perusahaan smelter China tidak membayar royalti? Tidak sama sekali. Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor," lanjut Faisal.

Dia memaparkan kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur nyatanya terus menurun. Data yang dia paparkan, peranan sektor manufaktur turun dari 21,1% di tahun 2014 menjadi hanya 18,3% pada tahun 2022. Bahkan, peranan sektor manufaktur berada di titik terendah sejak 33 tahun terakhir.

 

Menyoal Smelter Nikel

Keberadaan smelter nikel juga dinilainya tidak memperdalam struktur industri nasional. Produk smelter dalam bentuk besi dan baja tidak semuanya bisa langsung dipakai di dalam negeri. Misalnya untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun.

Produk besi dan baja yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis, menurutnya yang dikatakan oleh Jokowi adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.

Sementara itu, hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China.

Sejauh ini menurutnya tidak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China.

"Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products," beber Faisal Basri.

Baca Juga: Jokowi vs Mega, Prabowo vs Mega = Kekuasaan

 

Pekerja China Bukan Tenaga Ahli

Faisal Basri menilai nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10%. Pasalnya, hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.

Belum lagi, hampir seratus persen modal berasal dari perbankan China, dengan begitu pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China.

Ditambah lagi bila bicara tenaga kerja, Faisal Basri mengungkapkan banyak di antara pekerja smelter nikel yang bukan tenaga ahli. Bahkan, di antaranya ada juru masak, satpam, tenaga statistik, hingga sopir. Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja.

 

Disparitas Pengajian

Salah satu perusahaan smelter China, kata Faisal Basri, membayar gaji antara Rp 17-54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Dengan memegang status visa kunjungan, bisa jadi pekerja-pekerja China itu tidak membayar pajak penghasilan. "Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar US$ 100 per pekerja per bulan," ujar Faisal Basri.

Nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena perusahaan smelter China membeli bijih nikel dengan harga super murah. Faisal Basri bilang sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional.

 

Hitungan Jokowi Kurang Tepat

Pernyataan Jokowi kembali dijawab oleh Faisal Basri. Pada blog pribadinya, Faisal Basri menjawab semua hitungan Jokowi. Poin pertama, Faisal Basri menyatakan hitungan Jokowi soal nilai ekspor kurang tepat dan tidak jelas hitung-hitungannya.

"Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," beber Faisal Basri.

"Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan," ujarnya lagi.

 

Sepaham dengan Jokowi

Faisal Basri juga membeberkan pada 2014 nilai ekspor bijih nikel dengan kode HS 2604 hanya Rp 1 triliun. Angka itu didapat dari ekspor senilai US$ 85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp 11,865 per dolar Amerika.

Baca Juga: Dinyatakan oleh Ketua Dewan Kehormatan PDIP, Sudah Bukan Kader PDIP Lagi, Jokowi tak Kaget

Dia juga membeberkannya pada 2022, nilai ekspor besi dan baja dengan kode HS 72 yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US $27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dolar Amerika maka nilai ekspor besi dan baja setara dengan Rp 413,9 triliun.

Dari paparan itu, Faisal Basri mengaku dia sepaham dengan Jokowi pada satu poin, hilirisasi memang memberikan lonjakan ekspor yang fantastis. Dari data di atas menurut Faisal Basri ada kenaikan nilai ekspor hingga 414 kali lipat.

"Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis," ungkap Faisal Basri.

 

Pertanyakan Uang Hasil Ekspor

Namun, yang menjadi masalah bagi Faisal Basri adalah apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Pasalnya, dia mengatakan hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel yang memiliki nilai tambah sampai 100% justru dimiliki oleh China.

"Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," papar Faisal Basri.

Hal itu menurut Faisal Basri jauh berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit. Sebaliknya, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.

"Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," tegas Faisal Basri.

 

Perusahaan China Karpet Merah

Faisal Basri memaparkan keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, sedangkan perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih.

Dia pun menyimpulkan penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel adalah nihil.

Malahan Faisal Basri, menilai perusahaan-perusahaan smelter China menikmati karpet merah dari pemerintah karena dianugerahi status proyek strategis nasional.

"Kementerian Keuangan lah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM," kata Faisal Basri.

Dia pun kembali mempertanyakan apakah perusahaan smelter China juga tidak membayar royalti? Pasalnya, menurut Faisal Basri hal itu sama sekali tidak terjadi, selama ini yang membayar royalti justru perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Beda cerita saat perusahaan masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor. n erk/cr2/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU