SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Kursi Pendukung cagub (calon gubernur) DKI Ridwan Kamil atau RK-Suswono di DPRD Jakarta tercatat 12 Partai. Semua partai diborong untuk Dukung Ridwan Kamil-Suswono.
Komposisinya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 10 kursi, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 14 kursi, Partai Golongan Karya (Golkar) 10 kursi, Partai NasDem 11 kursi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 18 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) 10 kursi, Partai Demokrat 8 kursi, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) 8 kursi, Partai Perindo 1 kursi, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 1 kursi.
Baca Juga: Anies Baswedan, Akademisi yang tak Realistis
Sementara, PDIP meiliki 15 kursi, sebelum putusan MK, tidak bisa mengajukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di Pilkada Jakarta. Alasannya karena kursinya tidak mencukupi. Artinya, PDI-P ditinggal sendirian di Pilkada DKI Jakarta.
***
Fenomena memborong parpol bagi RK, kader Golkar, menunjukan 11 parpol pengikut tak berani memberikan opsi calon pemimpin dari kadernya sendiri ke masyarakat dalam kontestasi pilkada.
Akal sehat saya bilang diborongnya partai politik (parpol) untuk mendukung Ridwan Kamil-Suswono pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024, sadar atau tidak, langkah mundur dalam demokrasi di Indonesia. Ada show of force dengan brand KIM plus.
Padahal Kim atau Gim, di Korea adalah nama marga yang paling umum di Korea, baik di Korea Utara maupun Korea Selatan. Hanja marga ini ditulis yang bermakna "emas". Tapi di Indonesia, akronim Koalisi Indonesia Maju.
Pertanyaan saya, 11 partai diborong untuk dukung satu pasangan calon, itu kemajuan atau kemunduran demokrasi. Jelas situasi Pilkada Jakarta saat ini, yang memborong parpol untuk mendukung satu paslon bukan tidak mungkin akan diikuti oleh provinsi lain.
Maklum, Jakarta merupakan etalase politik nasional sehingga bisa menjadi cerminan daerah lainnya di Indonesia.
Akal sehat saya berbisik model borongan ala KIM plus, tak ubahnya bagian dari oligarki elite partai yang tak dengar aspirasi rakyat level grassrot.
***
Padahal ada Pasal 39 (a) UU No. 10 /2016 tentang Pilkada. Pasal ini menjelaskan bahwa peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, artinya partai politik mempunyai kewenangan yang besar dan strategis untuk mengajukan pasangan calon.
Artinya parpol menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai hak istimewa untuk melakukan proses rekrutmen. Tentu dimulai dari proses penjaringan, seleksi, pencalonan dan pendaftaran calon kepala daerah. Pertanyaannya, apakah internal 11 parpol di Jakarta cukup ‘sehat’ melahirkan pemimpin daerah sekelas Jakarta?
Maklum, undang-undang Pemilu juga tidak menguraikan dengan rinci dan jelas tentang makna demokratis dan terbuka dalam proses rekrutmen. Semuanya hanya menyerahkan pada mekanisme internal parpol.
Dengan tidak adanya aturan hukum yang jelas wajar parpol gurem tidak melakukan rekrutmen Balonkada. Ini yang menyebabkan parpol menafsirkan sesuai dengan kepentingannya. Asal dapat kekuasaan.
Bisa jadi pencalonan RK, terdistorsi oleh praktik politik elite, juga bisa terjadi manipulasi aspirasi atas nama politik uang.
Akal sehat saya berbisik, pencalonan RK, bukan lagi menjadi ajang kontestasi kapasitas dan kapabilitas, tetapi lebih pada ajang pertarungan modal atau kapital, elite KIM plus. Termasuk oligarki elite partai yang mengandalkan karisma ketua umumnya. RK apa kata Airlangga Hartarto, dengan tagline "otw ke Jakarta".
***
Baca Juga: Nyali KPK, Diuji Menantu Jokowi
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Oligarki berasal dari bahasa Yunani, "oligarkhes", yang berarti sedikit yang memerintah. Di dalam ilmu negara, banyak konsep tentang oligarki. Salah satu yang paling populer yakni gagasan filsuf Plato.
Teorinya menyebutkan bahwa oligarki merupakan bentuk pemerosotan dari pemerintahan aristokrasi, pemerintahan yang dipimpin cerdik pandai, menjadi dipimpin segolongan kecil yang memerintah demi kepentingan golongan itu sendiri.
Sementara, filsuf Polybios memandang, oligarki lahir akibat aristokrasi bertindak sewenang-wenang yang mendorong lahirnya pemerintahan yang dipimpin segelintir elite (oligarki) untuk memperbaiki kondisi kesewenangan aristokrasi.
Juga Jeffrey A Winters dalam bukunya Oligarki (2011), mendeteksi oligarki Indonesia membesar di masa Presiden Soeharto. Pada masa itu terjadi oligarki sultanistik, kondisi ketika ada monopoli sarana pemaksaan di tangan satu oligark, bukan di tangan negara yang terlembaga dan dibatasi hukum.
Sama halnya dengan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Ia menilai, oligarki tumbuh subur dalam sistem demokrasi Tanah Air, khususnya dalam gelaran Pemilu dan Pilkada. Hal ini setidaknya disebabkan oleh empat hal, mulai dari tata kelola partai politik yang belum demokratis, regulasi, penegakan hukum lemah, hingga kesadaran masyarakat yang rendah. Terkait tata kelola internal partai yang belum demokratis, Titi menilai, pengambilan keputusan di parpol ditentukan oleh segelintir orang saja. Rekrutmen calon kepala daerah masih didominasi pimpinan partai. Sedangkan pengurus dan anggota tidak punya akses memadai pada pengambilan keputusan yang dilakukan partai. "Sekarang apakah anggota partai tahu mengapa si A, B, C, D yang dicalonkan partai? Tidak ada akuntabilitas yang bisa diakses oleh pengurus dan anggota partai terkait proses nominasi di internal partai," kata Titi, Juli 2020.
Terkait regulasi, Titi menyinggung soal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, juga kepala daerah. Diketahui, untuk dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden, partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya. Kini, sejak Selasa 20 Agustus lalu, threshold ini dibuyarkan MK.
Kesan saya, oligarki elite politik digoyang oleh putusan MK. Sampai-sampai jaringan elite KIM di parlemen bisa rampungkan RUU Pilkada hanya dalam 7 jam. Cara kerja elite KIM di parlemen bikin gregeten sejumlah akademisi dan aktivis anti korupsi. Untuk siapa percepatan RUU Pilkada? Hal pasti bukan grassrott.
***
Dalam putusannya yang diketok tanggal 20 Agustus, MK memutuskan, ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.
MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.
Baca Juga: Menyorot Gaya Hidup Bobby, Kaesang dan Paus
Untuk Pilkada Jakarta, parpol atau gabungan parpol hanya membutuhkan 7,5 persen suara pada pileg sebelumnya untuk mengusung pasangan calon kepala daerah.
Sejak semalam, PDI-P, satu-satunya partai politik di Jakarta yang belum mendeklarasikan calon gubernur DKI, dengan memperoleh 850.174 atau 14,01 persen suara pada Pileg DPRD DKI Jakarta 2024, langsung menggelar rapat untuk menentukan calon yang akan diusung, usai munculnya putusan MK ini.
***
Kini, meski sudah borong partai politik, Ridwan Kamil, masih berpotensi berhadapan dengan Anies Baswedan dan atau Ahok. Litbang Kompas, pada survei yang dilakukan pada 15-20 Juni 2024, peringkat elektabilitas tertinggi pilgub DKI jatuh kepada Anies dengan raihan 39%. Sedangkan tempat kedua diduduki Ahok dengan persentase elektabilitas 34,5%. Nama Ridwan berada di posisi ketiga dengan mendapatkan persentase elektabilitas 24%.
Apalagi kini, MK telah menurunkan ambang batas menjadi 7,5 persen suara pileg DPRD itu, membuat PDI-P bisa mengusung pasangan calon sendiri.
Isyaratnya, calon gubernur-wakil gubernur usungan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Ridwan Kamil-Suswono bakal berhadapan dengan Anies atau Ahok.
Padahal, Ridwan Kamil-Suswono baru saja memborong dukungan seluruh parpol diluat PDIP. Kalkulasi politiknya calon KIM plus bisa menang mutlak.
Apalagi didukung dua parpol yang pernah jadi harapan Anies, yakni Nasdem, dan PKB.
Tampaknya, Ridwan Kamil yang digadang gadang KIM plus, akan tetap mendapat lawan kuat di Jakarta. Tidak merasa superman berbaju robot. Brand pendukung Persib masih melekat. Hitungan suara rakyat akan berhadapan dengan kalkulasi oligarki elite politik. Wait and see! ([email protected])
Editor : Moch Ilham