SURABAYAPAGI.com, Jakarta - Urusan dugaan gratifikasi privat jet Kaesang dan Bobby Nasution, kian gaduh.
Kini ada dua pengamat hukum menyikapi. Mereka Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha dan peneliti dari Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Saksi FH Unmul) Herdiansyah Hamzah.
Baca Juga: Ketua KPK Jawab Kasus Kaesang, dengan Pantun tak Bijak
M. Praswad Nugraha, menyatakan KPK harus berani dalam menangani kasus ini.
"Saya pikir itu bukan suatu hal yang sulit karena KPK sudah melakukan ini ribuan kali. Semua kasus suap, gratifikasi yang ada di KPK sejak berdiri sampai hari ini, selalu melalui orang dekatnya," kata Praswad, Kamis (12/9/2024).
KPK Seakan Bertele-tele
Praswad menduga sikap KPK yang seakan bertele-tele menangani kasus ini karena ada intervensi dari pihak luar.
Padahal, menurutnya dalam kasus ini KPK telah mengantongi alat bukti yang cukup lengkap.
"Enggak perlu seorang penyidik dan penyelidik KPK. Netizen saja itu bisa menyusun alat bukti yang lengkap, tinggal buka Twitter, enggak perlu lembaga negara," ucap dia.
Praswad pun turut mengkritisi pihak yang menyebut bahwa Kaesang bukan penyelenggara negara.
Ia mencontohkan kasus gratifikasi yang menjerat Rafael Alun beberapa waktu lalu. Saat itu, kasus itu justru terbuka karena kasus pemukulan oleh anak Rafael, Mario Dandy terhadap David Ozora.
"Mario kan juga bukan penyelenggara negara, pada saat itu ditanyakan kenapa dia bisa punya mobil, pola hidupnya yang tidak normal, itu kan bergulirnya juga sebenarnya logikanya Mario Dandy bukan penyelenggara negara. Tapi yang penyelenggara negara adalah bapaknya," ujarnya.
Contohkan Kasus Rafael Alun
Baca Juga: KPK Dituding Gamang Tangani Kasus Kaesang
Dalam konstruksi hukum, kata Praswad, penerima gratifikasi tidaklah harus berstatus penyelenggara negara. Alasannya, orang dekat seorang penyelenggara negara bisa menjadi sarana untuk menerima gratifikasi dari seorang penyelenggara negara.
"Jadi logikanya kan akan jadi gagal pikir atau logikanya jadi sesat pikir, kalau kita berpendapat atau lembaga penegak hukum berpendapat gratifikasi itu hanya dianggap sebagai gratifikasi, kalau kita memberikan kepada orang yang jadi penyelenggara negara," ucap dia.
Ia pun mewanti-wanti agar pola pikir itu tak menjadi pegangan bagi aparat penegak hukum.
Praswad berkeyakinan bahwa seluruh kasus yang bergulir di KPK, pemberiannya pasti takkan pernah melalui penyelenggara negara secara langsung. Melainkan pasti lewat orang terdekatnya.
"Kalau misalnya pendapat itu didukung oleh APH sekarang atau KPK berpendapat seperti itu, maka seluruh kasus di KPK harus batal demi hukum," tegasnya.
KPK Seakan Lamban
Baca Juga: Kaesang, Semoga Tak Jadi Batu Sandungan Jokowi
Sementara peneliti dari Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Saksi FH Unmul) Herdiansyah Hamzah berpendapat KPK seakan lamban dan bertele-tele mengusut kasus yang melibatkan dua keluarga presiden ini.
"Lamban dan bertele-telenya KPK mengusut dugaan gratifikasi Kaesang dan Bobby ini, mengesankan dirinya (KPK) takut di hadapan kekuasaan," kata Castro.
Secara hukum, Castro mengatakan ini merupakan dampak dari revisi UU KPK pada 2019 lalu. Ia menyebut lewat revisi UU, KPK menjadi lembaga yang berada di bawah presiden.
"Jadi tidak heran kalau KPK juga enggan memanggil dan memeriksa Kaesang ataupun Bobby. KPK tidak lebih dari bawahan presiden, jangan berharap perkara ini ditangani secara serius," ucapnya.
Di sisi lain, KPK menegaskan tidak ada intervensi terhadap KPK dalam menangani laporan tersebut.
"Sama sekali tidak ada tekanan. Bahwa KPK berharap saudara K (Kaesang) ini melakukan klarifikasi sendiri itu dari awal sudah disampaikan oleh pimpinan atau Pak AM (Alexander Marwata), sebenarnya juga agar isu ini tidak melebar ke mana-mana," kata Jubir KPK Tessa Mahardhika Sugiarto beberapa waktu lalu.
Penanganan laporan yang melibatkan Kaesang dan Bobby telah dilimpahkan KPK dari Direktorat Gratifikasi ke Direktorat PLPM. Alasannya, sudah ada pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat yang diterima oleh KPK. n jk/erc/cr2/rmc
Editor : Raditya Mohammer Khadaffi