Rasio Utang Indonesia, Diprediksi Naik 47 Persen di Tahun 2022

surabayapagi.com
Dr. Ir Jamhadi MBA

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Rasio utang pemerintah Indonesia dari laporan Kementrian Keuangan per akhir November 2021 mencapai Rp 6.713,24 triliun atau setara 39,84% PDB.

Bahkan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memprediksi rasio utang ini akan naik tahun 2022 ini, dengan kisaran 45%-47%. Salah satu pertimbangannya adalah upaya perbaikan ekonomi melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di tengah difisit APBN.

Baca juga: Pak Jokowi, Ngono Yo Ngono, Ning Ojo Ngono

Tahun 2021 misalnya, APBN Indonesia mengalami defisit hingga mencapai Rp783,7 triliun atau 4,65 persen dari PDB.  

Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan, ini jauh lebih tinggi dari rasio utang pada tahun 2021. Seperti mengutip dari dokumen APBN KiTa terbaru di laman kemenkeu.go.id, rasio utang pemerintah per akhir November 2021 mencapai Rp 6.713,24 triliun atau setara 39,84% PDB.

“Harusnya posisi utang tersebut sudah menjadi warning (peringatan). Kenaikan rasio utang ini juga disebabkan oleh tanggungan utang sebelumnya yang belum sejalan dengan optimalisasi kenaikan pendapatan negara,” ujar Bhima, kemarin.

Adanya prediksi rasio utang yang naik ini pun mendapat komentar dari Ketua Umum Dewan Penasehat Kadin Surabaya sekaligus Ketum Aliansi Pendidikan Vokasional Seluruh Indonesia (Apvokasi) Jatim, Dr.Ir Jamhadi MBA.

Menurut Djamhadi, adanya nilai rasio utang yang hampir menyentuh angka 40% di tahun 2021, harus menjadi rambu-rambu bagi pemerintah dalam mengelola keuangan negara.

Ia pun mengingatkan, selama pandemi covid-19 perlu adanya terobosan kebijakan keuangan yang out of the box atau tidak biasa. Mengingat, hampir di seluruh dunia mengalami lonjakan rasio utang yang cukup tinggi.

"Jangan kayak di Jepang, rasio utangnya terhadap PDB itu sampai 122%. Nah kita tidak mau Indonesia seperti itu," kata Djamhadi kepada Surabaya Pagi, Senin (10/01/2021).

Baca juga: Realisasi Pembiayaan Utang 3 Bulan ini, Turun 53,6%

Rasio utang terhadap PDB sendiri kata dia, telah diatur dalam batas Undang-Undang (UU) Keuangan Negara dengan besaran 60% dari PDB. Sementara untuk defisit APBN tahun 2021, diatur ambang batas sebesar 5,2% dari PDB.

"Memang untuk saat ini masih dalam tahap aman dan wajar. Tapi kalau kita baca data statistik internasional, selama 2 tahun negara kita memiliki perhatian pada kesehatan masyarakat dan ekonomi orang kecil. Tambah lagi belanja kesehatan, vaksin dikasih gratis. Sampai booster ini juga gratis. Itu high cost, biayanya tinggi," katanya.

"Jadi perlu diwaspadailah sehingga rasio utang kita tidak melambung terlalu tinggi," tambahnya.

Kendati begitu, ia menyebut, Indonesia masih memiliki harapan untuk keluar dari jebakan utang. Potensi berupa kekayaan alam baik di lautan maupun di daratan terbilang cukup membantu manakala dimanfaatkan dengan baik.

Baca juga: Jokowi Ikut Siapkan Program Makan Siang Gratis

Ditambah lagi, terpilihnya Indonesia sebagai Presiden G20 dinilai menjadi spirit baru dalam menggeliatkan ekonomi yang kini menurun akibat pandemi covid-19.

"Saham pemerintah yang di freeport, sekarang sudah 51%. Itu suatu potensi yang bagus. Indonesia juga Sudah memperbaiki sektor oil and gas. Jadi jangan khawatir. Apalagi tranportasi laut hampir 90% ekspor, impor melalui laut. Kalau itu dimanfaatkan, hakul yakin kita akan keluar dari rasio utang yang tinggi ini," ucapnya.

Saat dikonfirmasi terkait prediksi kapan Indonesia mampu melunasi seluruh utangnya, Djamhadi menjawabnya dengan nada satire.

"Kita kan gak boleh mendahului Allah. Tapi modal dan potensi untuk nanti manfaatkan dalam melunasi utang-utang kita itu ada. Ya, namanya negara siapapun presidennya, pasti ada kekurangan. Pasti akan berutang," pungkasnya. sem

Editor : Moch Ilham

Ekonomi dan Bisnis
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru