Presidential Threshold 20% Dibatalkan, Pilihan Milenial dan Gen-Z

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 05 Jan 2025 21:40 WIB

Presidential Threshold 20% Dibatalkan, Pilihan Milenial dan Gen-Z

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20% kursi DPR.

Semua parpol bersorak menyambutnya hingga partai Buruh siap mencalonkan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2029. Masya Allah.

Baca Juga: Menkes Bikin Detak Jantung Peserta BPJS Berdebar

MK, telah membacakan putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1).

MK mengabulkan permohonan gugatan 4 mahasiswa Jogja yang pada intinya menghapus ambang batas pencalonan presiden.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo.

Keputusan ini untuk mencegah potensi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak.

Sebagai wartawan milenial, saya berucap alhamdulillah. Akan muncul capres-cawapres berkualitas. Tentu memperhitungkan aspirasi pemilih milenial. Bila tidak , pemilih milenial bisa melengos  (memalingkan muka atau membuang muka).

 

***

 

Gugatan ini diajukan empat mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jogja yakni Enika Maya Octavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Gen-Z ini tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi. Draft kajian itu sebelum didaftarkan ke MK telah didiskusikan dengan sesama rekan di komunitas.

Enika Maya Oktavia dan tiga temannya, awalnya tidak percaya gugatan mereka bakal dikabulkan.

"Saya jawab. Untuk jawaban optimistis atau tidak, jawab jujur, tidak optimistis," kata Enika saat konferensi pers di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Jogja, Sleman, DIY, Jumat (3/1/2025).

Meski gugatanya dikabulkan MK, empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogja itu juga menyatakan tidak ingin terjun ke dunia politik.

 

***

 

Akal sehat saya bertutur, putusan MK ini kemenangan bagi kalangan pemilih milenial. Sebagai pemilih mula dengan krakteristik generasi yang khas, saya sebagai wartawan milenial mengakui ada keterbatasan pilihan capres-cawapres.

Ini yang  membuat saya pun cenderung enggan berpartisipasi dalam memilih calon Presiden. Apakah pikiran saya ini juga diikuti pemilih milenial yang saat ini Indonesia mendominasi? Saya catat kalangan milenial adalah generasi pelanjut kehidupan berbangsa dan bernegara.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang lalu telah menetapkan DPT Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 pemilih.

Dari jumlah tersebut, terdapat sebanyak 66,8 juta pemilih dari generasi milenial, Selain itu, pemilih dari gen Z juga mendominasi nih yaitu sebanyak 46,8 juta pemilih.

Praktis, gabungan Gen Z dan Milenial punya peranan yang penting dalam pelaksanaan atau hasil Pemilu 2024.

Ya, saya pun merasa generasi  melek teknologi informasi dibandingkan Gen X dan Baby Boomer, generasi ayah saya.

Berdasarkan rekapitulasi suara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Presiden 2024 mencapai 81,78 persen. Persentase ini didapat dari 164,3 juta suara sah dari total 204,4 juta pemilih terdaftar.

Pada Pemilihan Legislatif 2024, KPU mencatat 151,8 juta suara sah dengan tingkat partisipasi pemilih sebesar 81,42 persen.

Baca Juga: Pemerintah Mulai Soroti Shopaholic, Salahkah Mereka

Ketua KPU Hasyim Asy'ari (saat itu) mengakui bahwa partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 menurun dibandingkan dengan 2019.

Juga angka golput di Pilkada Jakarta 2024 mencapai 3.489.614 orang atau dengan 42,48 persen dari daftar pemilih tetap (DPT). Sementara pada Pilkada Jakarta 2017, angka golput hanya 1.654.854 atau sekitar 22,9 persen dari total pemilih sebanyak 7.218.272.

Konon, atas tingginya angka golput bisa membuat legitimasi pemimpin terpilih minim di hadapan rakyatnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai angka golongan putih (golput) atau yang tak menggunakan hak pilihnya yang tembus hingga 40 juta dalam Pilpres 2024 lebih disebabkan kekecewaan masyarakat terhadap kondisipolitik saat ini. Baik itu terhadap figur politikus maupun kebijakan-kebijakan yang dihasilkan

Mengutip dari akun Republika.co.id, Kamis (21/3/2024), Ujang Komarudin, peta golput ini penting bagi pemerintahan ke depan untuk memperbaiki kondisi politik bangsa.

“Fenomena golput tembus 40 juta itu tentu menjadi sesuatu yang merugikan bagi masyarakat. Kenapa? Ya mungkin karena masyarakat Indonesia kecewa dengan politisi,” ingat Ujang.

Pertanyaannya, dengan rendahnya partisipasi aktif dua generasi ini dalam proses penyelenggaraan hasil pemungutan suara, bisa dianggap kurang  mendukung pelaksanaan Pemilu 2024.

Apakah ini isyarat gen Z dan milenial memiliki kecenderungan untuk enggan terlibat atau bahkan apatis.

Bisa jadi MK menyerap aspirasi itu sehingga membuyarkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20% kursi DPR.

 

***

 

Baca Juga: "Berburu Harta Karun Jagat", Mirip Permainan Judi

Catatan jurnalistik saya yang mengikuti sliwerannya suara suara di medsos, akui adanya akses kemudahan dalam ruang digital .

Trennya politik berhasil masuk dan memengaruhi opini publik kedua generasi lewat ruang digital.

Akibat dari kemudahan tersebut, terdapat berbagai reaksi baik positif maupun negatif dari gen Z dan milenial. Wajar bila sebagian dari mereka memilih untuk tidak ikut serta dalam pemilu, sehingga dicatat KPU berjumlah 40 juta. Ini saya catat bisa sebagai bentuk protes atau ketidakpercayaan dua generasi tersebut terhadap sistem politik. Mereka mungkin merasa bahwa suara mereka tidak akan membuat perubahan yang signifikan atau bahwa kandidat yang tersedia tidak memenuhi harapan mereka.

Saya amati pada tahun 2024, gen Z dan milenial menggunakan media sosial sebagai platform untuk menyuarakan pandangan politik mereka.

Platform media sosial Ini saya ikuti digunakan untuk menyampaikan kritik terhadap kandidat, partai politik, hingga sistem politik di Indonesia.

Contohnya yang banyak saya jumpai di media sosial, terdapat gen Z dan milenial yang menggunakan humor, meme, dan satire politik. Itu kira kira cara mereka untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap politik.

Dengan keputusan MK kali ini, Capres dan cawapres mana pun di tahun 2029, saat kampanye bisa  menggunakan cara yang lebih modern dan mengikuti tren untuk dapat menggaet atensi mereka. Tentu di medsos, tak hanya di dunia nyata seperti baliho paslon bergambar AI, dan jargon kekinian.

Buyarnya ambang batas ini, diharapkan Pemilu 2029 nanti dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat luas termasuk gen Z dan milenial untuk menentukan nasib Indonesia di masa mendatang. Saatnya politisi "veteran" tahu diri.

Keputusan MK ini bisa bias, berpeluang membuka calon presiden berjejer dan bisa juga minimal. Antara lain melanggengkan capres-cawapres koalisi parpol yang sekarang. Ini terkait efisiensi anggaran negara. Termasuk

persyaratan capres-cawapres yang punya duit banyak agar tidak nyolong uang rakyat.

Seperti survei yang dilakukan Lembaga Pemilih Indonesia (LPI). Direktur LPI Boni Hargens dalam rilis  yang dikutip Kamis, menggambar harapan para responden yang berumur dari 27 tahun sampai 42 tahun.

Responden generasi milenial dan Gen-Z merujuk sejumlah indikator seperti rekam jejak, integritas, kompetensi, skill, leadership, dan nasionalisme seorang capres-cawapres. Apakah Anda memenuhi kriteria itu? Silakan ancang ancang kumpulkan uang mendaftar di salah satu parpol peserta pemilu mendatang. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU