WHO mensyaratkan pembuatan vaksin COVID-19 harus melalui berbagai penelitian dan tahap uji klinis. Ini membutuhkan waktu lama, bahkan hingga bertahun-tahun. Penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan efek vaksin COVID-19 dengan placebo (pengobatan yang tidak berdampak). Hal ini dilakukan untuk memastikan kualitas, efektivitas, dan keamanan vaksin COVID-19 terhadap manusia. Pembuatannya diawali proses uji klinis yang diawali studi praklinis.
Lalu uji klinis fase I. Pada fase ini, vaksin disuntikkan ke beberapa sukarelawan yang umumnya adalah orang dewasa dengan kondisi sehat. Hal ini dilakukan untuk menguji keamanan vaksin COVID-19 dalam tubuh manusia. Jika dinyatakan aman dan efektif, vaksin tersebut dapat memasuki uji klinis fase II.
Baca Juga: CEPI dan Bio Farma Berkolaborasi untuk Dorong Percepatan Produksi Vaksin
Pada uji klinis fase II, pengujian vaksin COVID-19 dilakukan ke lebih banyak sukarelawan, sehingga sampel yang diperoleh pun lebih beragam. Sampel ini akan diteliti dan dikaji ulang oleh para peneliti terkait efektivitas, keamanan, dosis vaksin yang tepat, serta respons sistem imun tubuh terhadap vaksin yang diberikan.
Pertanyaannya ada apa BPOM mulai mempersulit uji klinis II. Padahal masih ada dua tahap? Makanya Komisi IX DPR-RI menilai BPOM tidak independen dalam menilai vaksin Indonesia dan impor.
Padahal pembuatan vaksin COVID-19 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menekan angka kasus infeksi virus Corona yang masih terus meningkat. Artinya vaksin diharapkan bisa melindungi masyarakat Indonesia dari infeksi virus yang tengah mewabah ini. Tudingan DPR-RI ini bisa bermakna BPOM melindungi kepentingan produsen dan exportir vaksin. Atau menggembosi semangat anak bangsa yang berkarya untuk rakyat Indonesia.
Atau pejabat BPOM tutup mata terhadap proses sebuah penelitian, dimana suatu penelitian apapun termasuk kedokteran dilaksanakan secara sistematis, objektif dan logis dengan mengendalikan berbagai varibel yang terdapat dalam fenomena, kejadian, maupun fakta yang diteliti. Terutama untuk dapat menjawab pertanyaan atau masalah yang diselidiki berdasarkan pengertian penelitian tersebut. Berikut tulisan saya yang pertama dari dua tulisan seorang jurnalis, bukan dokter atau farmasi.
===
SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Akhirnya, Presiden Joko Widodo menyetujui uji klinis tahap dua vaksin nusantara dilanjutkan. Persetujuan ini memberi sinyal pemerintah terus memantau perkembangan penelitian vaksin Covid-19 yang diproduksi di tanah air yakni Vaksin Merah Putih dan Vaksin Nusantara.
"Untuk menghasilkan produk obat dan vaksin yang aman, berkhasiat dan bermutu, mereka juga harus mengikuti kaidah-kaidah saintifik, kaidah-kaidah keilmuan, dan uji klinis harus dilakukan sesuai prosedur yang berlaku, terbuka, transparan, serta melibatkan banyak ahli," kata Jokowi dalam keterangannya, Jumat, (12/3/2021) kemarin.
Jokowi mengatakan persyaratan dan tahapan ini penting dilakukan untuk membuktikan bahwa proses pembuatan vaksin Covid-19 mengedepankan unsur kehati-hatian. Selain itu, vaksin yang dihasilkan juga harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dan jika semua tahapan sudah dilalui, Jokowi berjanji pemerintah akan percepat produksi untuk memenuhi kebutuhan vaksin di dalam negeri. Ia mengatakan dalam situasi pandemi saat ini, upaya penelitian dan pengembangan, baik itu obat maupun vaksin, sangat didukung pemerintah.
"Agar terwujud kemandirian di bidang farmasi sekaligus untuk percepatan akses ketersediaan vaksin di masa pandemi Covid-19 ini," kata Jokowi.
Pernyataan Presiden ini ditujukan kepada inisiasi vaksin Nusantara Dr. Terawan, peneliti uji klinis sekaligus BPOM yang saat masih tahap fase pertama, mencoba memberi sinyal tidak membolehkah penelitian tahap dua dilanjutkan.
Sebagai jurnalis yang berpikiran ilmu sosial pun, saya bertanya-tanya apa motif BPOM? Apakah dia tidak memetik manfaat uji klinis tahap satu, dua dan tiga pembuatan vaksin. Adakah masyarakat yang dirugikan? Apakah relawan yang mengikuti uji klinis ini yang dijadikan alasan BPOM untuk tidak proses tahap dua uji klinis vaksin nusantara?
***
Baca Juga: Ratusan Anggota DPC PERADI Sidoarjo Antusias Ikuti Gelar Bakti Kesehatan Vaksinasi Covid-19
Hal yang menjadi tanda tanya besar motif BPOM mempersulit uji klinis tahap kedua vaksin Nusantara adalah respon BPOM kepada vaksin expor Sinovac dan vaksin AstraZeneca asal Inggris. Vaksin ini begitu tiba di Indonesia langsung diberikan izin darurat penggunaan vaksin AstraZeneca.
Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menerbitkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization untuk vaksin Covid-19 Sinovac. Ijin darurat dari BPOM mengisyaratkan vaksin Sinovac, untuk digunakan dalam vaksinasi.
Kepala BPOM Penny Lukito, saat memberi ijn darurat ke Sinovac mengatakan pihaknya mengkaji hasil uji klinis tahap III vaskin yang dilakukan di Bandung. Selain itu, BPOM juga mengkaji hasil uji klinis vaksin Sinovac yang dilakukan di Turki dan Brasil.
Berdasarkan analisis terhadap hasil uji klinis tersebut, BPOM memastikan bahwa vaksin Covid-19 asal Sinovac aman.
Makna aman ini ada pada uji klinis tahap pertama, sama seperti yang sudah dilakukan vaksin nusantara.
Bahkan baru melewati uji klinis tahap II, pada 25 Juni 2020, pemerintah China telah mengizinkan vaksin buatannya digunakan untuk kalangan terbatas bagi militer China selama setahun.
Menurut penelitian, hampir setengah dari penerima vaksin Ad5-nCoV melaporkan efek samping demam, 44 persen kelelahan, dan 39 persen merasakan sakit kepala. Secara keseluruhan, 9 persen pasien melaporkan efek samping yang cukup parah sehingga berpotensi mengganggu aktivitas.
Namun vaksin Ad5-nCOV ini sudah masuk dalam tahap akhir yakni uji klinis fase III yang uji manusianya sedang dilakukan pada beberapa negara di luar China, termasuk Arab Saudi. Ini fakta yang terjadi di China. Ada apa dengan BPOM yang mempersulit uji klinis tahap II Vaksin Nusantara.
Baca Juga: Vaksin Booster Covid-19 Kedua Harus Bayar Rp100 Ribu
Dilansir dari New York Times, perusahaan swasta China Sinovac Biotech, pernah menguji vaksin yang tidak aktif yang disebut CoronaVac. Pada Juni 2020, perusahaan Sinovac mengumumkan bahwa uji coba Fase I / II tidak menemukan efek samping dan malah menghasilkan respons kekebalan kepada sebanyak 743 sukarelawan.
Untuk uji Fase III, Sinovac meluncurkannya di Brasil pada Juli. Perusahaan juga membangun fasilitas untuk memproduksi hingga 100 juta vaksin per tahun.
Saat ini, pemerintah Indonesia telah mengimpor 1,2 juta vaksin Sinovac. Vaksin tersebut tiba di Bandara Soekarno Hatta pada Minggu (6/12/2020). Vaksinasi pertama akan dilaksanakan pada 13 Januari 2021. Presiden Jokowi, Menkes Budi Gunadi Sadikin, dan sejumlah pejabat publik lainnya menjadi orang pertama yang akan menerima vaksin ini. Padahal BPOM mengeluarkan izin penggunaan darurat terhadap vaksin Coronavac produksi Sinovac Biotech Ltd., perusahaan biofarmasi asal China. pada Senin, 11 Januari 2021, dua hari sebelum disuntikan ke presiden.
Sementara perusahaan biofarmasi asal China ini baru melakukan penelitian vaksin COVID-19 sejak akhir Januari lalu dan telah melewati pre-klinik (pengujian pada hewan) dan uji klinis fase 2.
Uji klinis fase 1 dilakukan untuk mengetahui apakah vaksin aman bagi manusia. Uji coba fase 1 pada kandidat vaksin ini telah dilakukan di China pada April lalu. Pengujian melibatkan 144 orang dewasa rentang usia 18-59 tahun.
Sementara itu, uji klinis fase 2 dilakukan untuk menentukan dosis dan keamanannya pada jumlah peserta yang lebih besar. Uji coba fase 2 ini melbatkan 600 peserta pada rentang usia sama dengan uji klinis fase 1.
Hasil dari uji klinis fase 1 dan 2 dilaporkan aman dan tidak ada efek samping serius pada peserta. Hasil uji klinis fase 2 menunjukkan bahwa vaksin memicu pembentukan antibodi yang mampu menetralisir virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19. Antibodi mulai terbentuk pada hari ke-14 setelah vaksinasi. Luar biasa perlakuan BPOM kepada vaksin impor Sinovac.
Akal sehat saya mengatakan suatu sindiran yang tajam atas tudingan BPOM tidak indpenden memberlakukan vaksin Sinovac dan vaksin Nusantara. Inikah yang disebut tangan-tangan tak kelihatan (invisible hand) menghambat eksistensi penelitian vaksin nusantara berbuat kemanusiaan untuk warga se-nusantara? ([email protected], bersambung).
Editor : Moch Ilham