SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Saya masih menyimpan sebuah catatan, mengapa sorotan terhadap vaksin nusantara, kini menjadi senyap?.
Baca Juga: dr Terawan, Diprediksi Menkes Lagi
Benarkah rendahnya kritik terhadap Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mengganjal uji klinis tahap 2 vaksin inspirasi Letjen (Purn) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, karena turun tangannya KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa?
Menantu Mantan Kepala BIN Jenderal (Purn) Hendropriyono ini, Selasa lalu mengundang Menteri Kesehatan (Menkes) dan Kepala BPOM untuk cooling down tidak mempersoalkan ilmiah tidaknya penelitian vaksin nusantara.
KSAD membuat MoU dengan Menkes dan Kepala BPOM. Ditengah sorotan ini, sebagai bukan dokter dan ahli farmasi, saya menyimpan catatan kemanusiaan tentang kesehatan masyarakat, bisnis farmasi, keributan soal penelitian sampai “ngambeknya” tim peneliti AIVITA Biomedical untuk vaksin AV-Covid-19.
Tim peneliti, Amerika Serikat, pulang ke negaranya, karena ada dugaan penjegalan penelitian oleh tim Dr. Terawan.
Dan kini peneliti dari AIVITA ini yakin vaksin nusantara yang kini di Amerika Serikat dinamai “AV-Covid-19” akan diproduksi di banyak Negara. Ini setelah otoritas di Indonesia (BPOM) menghambat.
Peristiwa seperti ini saya bayangkan bahwa kita sebagai bangsa berdaulat telah menyia-nyiakan kesempatan meneliti vaksin dari sel dendritik untuk pandemi covid-19. Kesempatan menghasilkan vaksin corona yang tidak lagi menggunakan nama “vaksin nusantara”. Bila sudah begini, siapa yang rugi?
***
Nota kesepakatan antara Menkes, BPOM, dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat soal penelitian sel dendritik, telah ditandatangani. MoU ini disebut-sebut sebagai bukti dukungan politik bagi mantan Menkes Terawan Agus Putranto.
Membaca isi MoU yang saya terima dua hari lalu, tampaknya kesepakatan tersebut menjadi win-win dalam persoalan vaksin Nusantara. Artinya, “beking” Terawan dianggap masih kuat dan tak bisa dianggap sebelah mata oleh Kepala BPOM dan Kemenkes. Buktinya, kasus vaksin nusantara bisa diselesaikan dengan MoU. Dr. Terawan dan penelitinya tetap bisa meneruskan penelitian di RSPAD tetapi tidak untuk dikomersialkan.
Sedangkan partner Dr. Terawan, AIVITA Biomedical asal California, Amerika Serikat pulang ke negaranya. Juga meneruskan penelitian vaksin berbasis sel dendritik, dengan nama lain.
CEO AIVITA Biomedical Dr Hans Keirstead, mengatakan, AIVITA Biomedical sudah menguasai teknologi sel dendritik dan sekarang sedang dalam proses uji klinis untuk 3 macam kanker (Glioblastoma di otak, Melanoma di kulit dan Ovarian Cancer).
Dan sekarang peneliti AIVITA mengadaptasi teknik ini untuk menghadapi pandemi Covid-19. Ternyata, kata Dr. Hans, hasil uji pra-klinis juga sudah dilakukan. Di mana tikus-tikus yang disuntik vaksin ini telah berhasil menghasilkan kekebalan. Inilah data yang diminta pihak BPOM.
Sejauh ini publik Indonesia belum tahu iji klinis tersebut. Tetapi Dr Hans Keirstead menegaskan AIVITA Biomedical tidak akan memproduksi vaksin itu di salah satu pabriknya.
Justru mereka akan menelorkan teknologi pembuatan kit untuk memproduksi vaksin ini di banyak tempat dan negara.
Kelak vaksin AV-Covid-19 akan bisa dibuat sendiri di mana saja, bahkan di sebuah klinik kecil di suatu tempat yang terpencil pun asalkan seseorang memiliki kit tersebut. Luar biasa?
***
Pernyataan Dr. Hans Keirstead, sekaligus jaminan atas efektivitas eks “vaksin nusantara” itu tampaknya telah dirasakan dan buktikan oleh tokoh-tokoh nasional yang pernah menjadi pasien "cuci otak" Terawan.
Makanya, sejumlah tokoh nasional dari pengusaha dan politisi sekelas Abu Rizal Bakrie hingga penyanyi Ashanty dan Anang Hermansyah, rela menjadi relawan vaksin nusantara. Ini karena mereka merasakan sendiri ada sentuhan kemanusiaan dari Dr. Terawan. Dibuktikan penerimaannya atas pengobatan kanker dengan metode cuci otak.
Padahal metode cuci otak Terawan ini dulu juga ditentang oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), organisasinya para dokter. Bahkan, Terawan sampai dikeluarkan dari IDI. Ini sebuah contoh untuk anak bangsa, dan profesi apapun bahwa memberi kemaslahatan terkait jiwa manusia adalah prestasi mulia yang tidak bisa ditutup-tutupi.
Padahal, metode cuci otak Terawan sudah dikupas dalam disertasinya. Ini pun pernah dipergunjingkan.
Beberapa pengurus IDI yang tidak mengakui metode cuci otak Dr. Terawan, bisa diasumsikan tak memaknai sebuah disertasi.
Dalam bahasa orang kampus, disertasi adalah karangan ilmiah yang ditulis untuk memperoleh gelar doktor.
Baca Juga: Mantan Menkes Siti Fadila dan Panglima TNI Yudo Merasakan Lebih Awet Muda
Malahan sebuah disertasi dikukuhkan sebagai karya ilmiah yang disusun oleh mahasiswa pada jenjang pendidikan Strata-3 (S3) .
Mahasiswa doktoral Terawan, telah mencoba menciptakan suatu teori baru dan menguji hipotesis yang disusunnya berdasarkan teori-teori yang sudah ada sebelumnya.
Menggunakan akal sehat seorang peneliti juga (saya juga pernah melakukan penelitian sendiri untuk tingkat doctoral ilmu sosial) merasa geli mendengar jawaban-jawaban seorang kepala BPOM seperti Penny K Lukito, memperdebatkan uji klinis tahap 1 vaksin nusantara menggunakan istiah scientific.
Penny K Lukito, sepertinya tidak paham makna scientific. Maklum, antara ia dan Terawan, mengenyam pendidikan formal yang berbeda.
Penny, lulusan Teknik Lingkungan-ITB pada tahun 1988. Kemudian menempuh S-2 pada program Master in City Planning (MCP) dalam bidang Perencanaan dan Kebijakan Lingkungan (Environmental Policy and Planning) dari Department of Urban Studies and Planning, di Massachusetts Institute of Technologi (MIT) Cambridge-Massachusets, Amerika Serikat (1994).
Lalu Penny melanjutkan kuliah di Program Ph.D dengan major bidang Teknik Lingkungan di Departement Civil and Environamental Engineering dan minor pada City and Regional Planning, University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat (2000).
Sementara Terawan, Lulus dari Fakultas Kedokteran UGM. Sampai pensiun berpangkat Letnan Jenderal, ia mengabdi sebagai dokter di TNI Angkatan Darat dan menghabiskan kariernya di dunia medis. di Indonesia, Dr. Terawan dikenal sebagai satu-satunya dokter yang menemukan pengobatan stroke memggunakan metode cuci otak.
Ia juga mengambil Spesialis Radiologi di Universitas Airlangga, Surabaya.
Komitmennya untuk menunjang pelayanan dan menambah keilmuannya, ia menempuh program doktor di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar dan lulus pada 2013.
Praktis, dalam pergumulannya dengan dunia medis, Terawan terbilang cerdas dibanding Penny K Lukito.
***
Terawan, malah telah menemukan metode baru untuk penderita stroke. Metode ini disebut brain flushing. Masya Allah temuan penelitiannya ini tertuang dalam disertasinya bertajuk “Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis".
Disertasi dalam studi doktoratnya di Universitas Hassanuddin, ini juga mengundang pro dan kontra di kalangan praktisi dan akademisi kedokteran. Namun, Terawan Agus Putranto mampu membuktikannya.
Dalam pengalaman empiric di RSPAD, pasien bisa sembuh dari stroke selang 4-5 jam pasca operasi. Metode pengobatan tersebut bahkan telah diterapkan di Jerman dengan nama paten ‘Terawan Theory’.
Ini membuktikan bahwa prestasi Kemanusian Dr. Terawan, sudah dibuktikan dan dirasakan oleh ratusan pasien cuci otak. Apakah pengurus IDI yang terus menerus mengkritik Terawan, bisa menunjukan prestasi seperti Terawan? terutama inovasi untuk kemanusian?
Tak heran, sosok Terawan, kemudian diangkat menjadi Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto pada 2015. Ini membuktikan Terawan, tak hanya bergelut untuk ego pribadinya sebagai dokter, tapi ia juga mampu mengelola rumah sakit secara profesional.
Ini praktik yang terjadi. Ada sejumlah dokter yang menganggap disertasi yang juga membahas intra-arterial heparin flushing (IAHF) alias cuci otak itu tak memenuhi syarat klinis sebagai metode penyembuhan stroke. Tapi nyatanya, banyak politikus dan pejabat yang tetap datang ke Terawan untuk mendapat pengobatan tersebut.
Sama dengan temuan Terawan yang sekarang, penelitian vaksin nusantara berbasis sel dedentrik.
Kini, temuannya ini dikembangkan di Amerika dan bahkan menurut Dr. Hans, akan diproduksi di beberapa Negara.
Kepala BPOM, menganggap penelitian vaksin nusantara yang dilakukan Terawan dan tim AIVITA Biomedical, RS Karyiadi Semarang, Fakultas Kedokteran Undip Semarang dan PT. Rama Emerald Multi Sukses, tak ilmiah?
Kini ternyata tim peneliti AIVITA Biomedical melanjutkan penelitian dan yakin bisa bermanfaat untuk mengatasi pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung. RSPAD Gatot Subroto juga meneruskan penelitian bebasis sel dedendrik tetapi tidak dikomersialkan.
Kita tunggu, siapa sebenarnya peneliti bidang ilmu kedokteran yang sebenarnya, Dr. Terawan atau Dr. Penny K Lukito?. Mari kita tunggu pengabdian kemanusian diantara dua doktor ilmu kedokteran dan doktor teknik lingkungan.
Sebuah penelitian ilmiah yang masih saya ingat sampai sekarang adalah seseorang berusaha untuk mendapatkan kebenaran ilmiah, yaitu pengetahuan benar yang kebenarannya, terbuka untuk diuji oleh siapa saja yang menghendaki untuk mengujinya, seperti kata Kerlinger (1986: 17-18), Penelitian adalah investigasi yang sistematis, terkontrol, empiris dan kritis dari sesuatu. ([email protected])
Editor : Moch Ilham