Efektif, Pers Nasional Kawal Kasus Brigadir J

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 19 Agu 2022 20:45 WIB

Efektif, Pers Nasional Kawal Kasus Brigadir J

i

H. Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Saya memiliki catatan jurnalistik menarik yang belum pernah saya alami. Perkara yang semula dilaporkan ada tembak menembak antar Brigadir J dan Brigadir E di rumah Kadiv Propam Polri, mengusik kebebasan pers nasional.

Pada awal kejadian, pers begitu aktif menulis berbagai kejanggalan sekitar kasus yang dilaporkan ada pelecehan seksual terhadap istri mantan Kadiv Propam Polri.

Baca Juga: Sandra Dewi, Perjanjian Pisah Harta, Sebuah Strategi

Awal kejadian, pengacara istri Irjen Ferdy Sambo, mendatangi gedung Dewan Pers, minta pers berempati pada Putri, istri si jenderal.

Kemudian ada jurnalis dari dua media digital Jakarta, dihardik tiga pria berambut cepak saat meliput di rumah Irjen Ferdy, di komplek Polri Duren Sawit Jakarta.

Sebagai jurnalis hukum saya bertanya ada apa kok sampai muncul dua peristiwa seperti diatas.

Sudah adakah pers nasional melakukan Trial By The Press dalam peliputan kasus di rumah Kadiv Propam Polri?

Sebagi jurnalis muda, saya menelaah agar media yang saya pimpin berhati-hati agar tidak terjerat kasus penghakiman oleh pers (trial by the press).

Saya berpesan pada koresponden di Jakarta agar meliput sesuai fakta-fakta yang ditemukan di publik, tidak hanya keterangan resmi dari Kadiv Humas Polri dan Bareskrim saja.

Saya memberi ruang memuat keterangan kuasa hukum Brigadir J secara berimbang dengan informasi dari keluarga Irjen Sambo, ahli yang kompeten sampai anggota DPR-RI.

Dalam kajian saya, semua media yang meliput sama-sama menyadari mereka adalah sebuah industri pers. Sebagai sebuah industri pers, para pengelola termasuk tingkat redaktur tahu batasan -batasan narasumber yang credible dan tidak. Mereka para pengelola media saya pikir paham berita hoax dan peristiwa faktual.

Ini karena karakter media komersial ditandai dan dipengaruhi oleh entitasnya sebagai institusi bisnis. Saya pun mendengar kepentingan dan kekuatan kekuasaan Irjen Sambo di institusi Polri. IPW menyebut ada mafia di institusi Polri.

Saya akhirnya berhati-hati tidak terjebak dalam dramatisasi fakta awal kejadian tewasnya Brigadir J.

Ini saya amati pemberitaan hampir semua media terkait kasus tertembaknya Brigadir J, tampaknya satu visi yaitu bongkar kejanggalan kejanggalan yang kian hari makin terbuka.

Fakta peristiwa yang muncul dalam tindak pidana di rumah Kadiv Propam

Polri, pada awal Juli sampai pertengahan Juli masih remang-remang. Ini karena alat-alat bukti di TKP sudah dihilangkan dan TKP awal diacak-acak agar gelap. Ini konstruksi realitas dramatisnya penghilangan barang bukti.

Atas temuan fakta peristiwa saat itu, wartawan saya yang meliput kasus Brigadir J, menjadi gamang. Ini juga saya amati timsus bentukan Kapolri, lebih satu minggu tidak mempublikasi hasil penyelidikan dan penyidikannya. Bahkan Komnas HAM, LPSK dan Kompolnas cenderung mengikuti alur skenario peristiwa yang disusun Sambo. Padahal saat itu “skenario” Sambo, belum terbongkar.

Saya tetap konsisten memilih hasil kiriman koresponden dan kerja Litbang untuk memenuhi kebutuhan pasar bukan untuk kepentingan privat. Sambil mengikuti dialog interaktif yang disajikan tiga televisi berita nasional yaitu Kompas TV, TVOne dan MetroTV.

Praktis liputan selama periode awal Juli sampai jelang akhir Juli, menarik pembaca. Oplah saya naik. Ini karena kejanggalan demi kejanggalan dalam kasus ini saya beberkan. Atas pembeberan beberapa kejanggalan, perkara yang sudah menjadi perhatian publik makin disorot. Terutama tiga TV berita nasional gesit tampilkan pakar hukum, ahli forensik dan purnawirawan jenderal polisi serta mantan Kepala BAIS TNI.

 

***

 

Kejanggalan yang terungkap di publik dimulai setelah ada keterangan pers, tiga hari usai laporan tembak-menembak yang menewaskan sopir-ajudan Irjen Ferdy Sambo.

Saat publikasi, Biro Humas Polri tidak menunjukan alat bukti tembak-menembak maupun pelecehan seksual terhadap istri Irjen Ferdy Sambo.

Kejanggalan lain, Brigadir J, yang tewas dengan laporan tertembak, ada luka sayatan di beberapa badan dan wajah. Kejanggalan ketiga, soal lokasi kejadian tak ada tembok bekas lubang peluru. Kejanggalan keempat CCTV di dekat tempat Kejadian Perkara tidak ada dan dinyatakan rusak. Kejanggalan kelima, saat kejadian Irjen Ferdy dilaporkan tidak ada di rumah. Kabarnya tes PCR. Sejumlah kejanggalan diungkap Menko Polhukam, beberapa anggota DPR-RI, dan Pengurus RT yang juga pensiunan Polri berpangkat Irjen. Bahkan ahli forensik sampai keluarga Brigadir J ikut persoalkan sajumlah kejanggalan. Saat itu belum ada media yang memuat adanya skenario. Ini saya pahami, karena semua media menghayati karakter industrinya.

Baca Juga: Budi Said, Dituding Mafia Tanah, Apa Iya??

Tapi semua media, terutama TV berita terus melakukan sorotan atas beberapa kejanggalan.

Konsistensi pers nasional mengawal temuan kejanggalan, saya amati karena beberapa pertimbangan.

Pertama, relasi organisasi media dengan masyarakat. Kedua, relasi organisasi media dengan kelompok penekan (pressure groups). Ketiga, relasi organisasi media dengan pemilik, klien dan suppliers. Keempat, relasi organisasi media. Kelima, relasi organisasi media dengan audiences. Keenam, relasi organisasi media dengan internal organisasi.

Bahkan dalam pengalaman saya mengelola perusahaan, riil media juga memiliki lima jenis tujuan utama yaitu memperoleh keuntungan; pengaruh sosial dan prestis; memaksimalkan pengaruh terhadap audiens; kepentingan politik, dan kepentingan publik.

Apalagi sejak saya jadi wartawan, sudah diisi oleh senior-senior saya tentang sepuluh prinsip-prinsip jumalisme. Prinsip utamanya seorang jumalisme harus mendahulukan pada kebenaran.

Nah, urusan kebenaran dihayati oleh wartawan di seluruh dunia. Bagi wartawan, kebenaran menjadi penting. Ini agar masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat.

Ini yang saya pahami tentang “kebenaran jumalistik”. Jadi kebenaran jurnalistik bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional.

Pertanyaan menggelitik saya sejak awal jadi wartawan adalah, bagaimana kebenaran tersebut dapat diwujudkan oleh media sehari-hari?

Dalam praktik, ini menjadi dilematis seperti saat liputan kasus dugaan pelecehan terhadap istri Irjen Ferdy Sambo. Pagi-pagi, lawyernya mendatangi Dewan Pers, minta pers berempati pada istri Irjen Ferdy Sambo. Atas ajakan ini, sebagai jurnalis muda, saya “protes” apakah media tak boleh berempati juga pada keluarga Brigadir J, yang tahu anaknya mati ada sayatan di mata, hidung dan jari-jari.

Akal sehat saya berkata, pengacara Irjen Ferdy, sepertinya menutup mata atas esensi jumalisme yaitu disiplin verifikasi.

Juga pengacara istri Irjen Ferdy, seperti mengabaikan “obyektivitas” dalam jumalisme.

Ia tampaknya mengabaikan prinsip bahwa obyektivitas dalam jurnalisme bukanlah pada obyek liputan pemberitaannya, akan tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita. Ini terkait media dan jumalis harus bersikap independen.

Baca Juga: Jual-beli Opini WTP, BPK Minta Rp 40 M

Maklum secara formal, jurnalis dituntun tetap menjaga independensi. Ini ada pada semangat dan pikirannya.

Nah, dalam praktik yang saya alami, seringkali jumalis sulit keluar dari jebakan empati dan simpati terhadap realitas yang diliputnya. Apalagi jika realitas tersebut sarat dengan nilai-nilai sosial, moral dan ideologi yang dekat dengan dirinya.

Pertanyaannya, bagaimana jurnalis bisa melakukan empati dan simpati pada istri Irjen Ferdy, karena sampai kini Putri Candrawathi, nama istri Irjen Ferdy Sambo, tak pernah muncul di publik. Apalagi berkomunikasi dengan wartawan yang meliput kasus ini.

Tak salah, bila sampai kini, pers belum bisa berkomunikasi dengan Bu Putri. Meski demikian, pers nasional tetap menjalankan tugas sebagai pemantau independen terhadap jalannya penegakan hukum Jenderal vs bintara?.

Dalam realita ini, advokat istri Irjen Ferdy, sepertinya tak mau tahu pola hubungan antara "kepentingan publik" dalam jurnalistik.

Dalam kegiatan yang saya alami sebagai pengelola media, disitu ada pola hubungan "akuntabilitas media". Dari berbagai kasus tindak pidana dan sengketa sengketa yang terjadi di publik, sering saya alami persepsi diantara para pihak (stake holder) dalam memahami kebebasan pers dan aturan perundang-undangan , tidak semua pihak menjamin kebebasan pers. Termasuk kuasa hukum Putri Cendrawathi.

Pengalaman saya dalam merawat pola hubungan ’’akuntabilitas media”, pada akhirnya juga meminta mediasi ke Dewan Pers, sebelum dilaporkan secara pidana.

Sampai kini dalam kebijakan liputan, kepentingan publik yang saya pegang adalah kepentingan publik sebagai penjumlahan kepentingan pribadi, kepentingan umum dan kesatuan .

Maka, kepentingan publik dalam kasus Brigadir J adalah menekankan pada “apa yang diinginkan oleh orang banyak”, bukan keinginan istri Irjen Sambo, semata.

Denyut nadi yang saya rekam, kepentingan publik dalam kasus ini ungkap secara transparan kasus ini. Tembak menembak tanpa penyiksaan atau pelecehan seksual antara istri jenderal dan ajudan-sopirnya, kawal. Mari kita ikuti secara seksama episode pengungkapan yang transparan dari tim bentukan Kapolri dari hari ke hari.

Catatan saya, sampai permohonan perlindungan Putri Cendrawathi, ditolak LPSK dan Sambo, ditetapkan tersangka pembunuhan berencana, Pers Nasional dari TV berita, media siber dan media cetak terbukti efektif komtrol atau kawal penegakan hukum asus Brigadir J ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU