Prof Jimly Asshiddiqie: Indonesia itu Republik, Kini Cenderung Monarki

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 21 Agu 2024 20:35 WIB

Prof Jimly Asshiddiqie: Indonesia itu Republik, Kini Cenderung Monarki

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Dua parpol anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) bereaksi atas penilaian mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Jimly menegaskan bentuk pemerintahan Indonesia yang republik, kini, terlihat cenderung menerapkan sistem monarki atau kerajaan.

Hal itu disampaikan Jimly dalam pidatonya di acara dialog nasional bertajuk 'Refleksi Kelembagaan Komisi Yudisial' dalam rangka memperingati HUT ke-19 Komisi Yudisial, Selasa (20/8). Jimly mulanya mengajak untuk mencermati apa yang perlu dievaluasi dan benahi, baik dari segi aturan-aturan konstitusi, institusi ketatanegaraan, maupun budaya konstitusional.

Baca Juga: KIM Plus tak Solid, 3 Pilgub Pecah, Satu Pilwali Kader Gerindra Mundur

Dia bercerita tentang sejarah pada masa kemerdekaan. Saat sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tentang penentuan bentuk pemerintahan Indonesia, dilakukan pemungutan suara untuk menentukannya.

"Undang-Undang Dasar itu ndak ada yang pakai voting itu, ndak ada. Tetapi ketika kita mau merumuskan apakah bentuk negara kita republik atau bukan, itu terpaksa voting," ujar Jimly di gedung Komisi Yudisial, Selasa (20/8).

"Kenapa mesti di-voting? Ya karena ada sembilan orang yang ngotot tidak mau. Maka waktu di-voting yang memilih republik jumlahnya 55, yang minta supaya kita ini kerajaan, yang ngotot itu tadi 9 orang. Waktu voting jadi 6 orang yang minta kerajaan itu," ungkapnya.

 

Kesadaran Kognitif Kita Kerajaan

Menurut Jimly, akan beda cerita jika penentuan bentuk pemerintahan Indonesia tak dilakukan dalam forum kecil, melainkan dibuat sebuah forum yang lebih luas seperti referendum.

Jimly menilai kebanyakan masyarakat Indonesia sebetulnya tidak paham dengan bentuk pemerintahan republik karena lebih familiar dengan istilah kerajaan.

"Karena orang-orang kampung kita dari Sabang sampai Merauke nggak tahu apa itu republik. Bahasa apa itu kan? Tapi kalau dibilang kesultanan, ah tahu semua," ungkap Jimly.

Jimly mengungkapkan, budaya politik ini yang kemudian terbawa hingga saat ini, meski pemerintahan Indonesia telah diputus berbentuk republik.

"Jadi budaya politik kita ini, kesadaran kognitif mayoritas rakyat kita ini kerajaan. Bentuk formalnya kita ini republik. Itu kan pilihan enlightened leaders, orang-orang terdidik. Tapi budaya politik kita monarki, itulah, kerajaan. Bentuk republik, kelakuan kita kerajaan," imbuh Jimly.

"Inggris bentuk formalnya monarki, kelakuannya republik. Australia sama, Belanda sama, kerajaan, kelakuannya republik. Tapi kita terbalik. Oleh karena itu, kita penting evaluasi," pungkasnya.

 

Reaksi Partai Demokrat

Partai Demokrat (PD) berbicara perlu proses untuk menjadi negara maju. "Ya namanya sebagai negara bangsa kan Indonesia masih terus berproses, butuh waktu untuk mencapai kematangan, karena itu kita punya goal, punya gagasan dan tujuan menuju Indonesia Emas 2045, tepat 100 tahun kemerdekaan Indonesia," kata Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra kepada wartawan, Selasa (20/8/2024).

Herzaky mengatakan Indonesia serta para pemimpinnya tentu memiliki tujuan. Dia mengaku wajar saja jika ada hal yang masih dinilai kurang.

Baca Juga: KIM Plus vs PDIP, Berebut Kekuasaan Politik

"Di situlah kita punya milestone agar praktik-praktik kenegaraan kita bisa semakin matang dan bergerak maju. Hari ini kita akui memang masih ada kekurangan, tetapi kita bersyukur kita sebagai negara bangsa, negara kesatuan, masih terus bertahan di terpaan, zaman, dari berbagai ancaman, hambatan, tantangan, gangguan, sebagai negara kita tetap kokoh berdiri tegak, padahal negara lain bahkan lebih besar daripada kita itu telah pecah belah," katanya.

"Inilah kekuatan kita sebagai satu bangsa karena kita terus bergerak maju berproses. Ada semangat Bhinneka Tunggal Ika," sambungnya.

Herzaky mengatakan semua pihak harusnya sama-sama bersatu untuk membuat negara maju. Di sisi lain, menurutnya, kritik diperlukan untuk mengingatkan.

"Ini juga yang menjadi fondasi negara kita, hari ini kita punya konsensus, kesatuan Republik Indonesia, kalau dirasa ada yang kurang pas, belum sempurna, ya wajar, mari kita saling mengingatkan, ayo kita saling bergandengan tangan, saling menghormati perbedaan tapi dengan semangat bagaimana membangun Indonesia yang lebih baik dari waktu ke waktu," katanya.

 

Reaksi PAN

Sementara Waketum PAN Viva Yoga Mauladi mengaku tak setuju. "Menurut saya itu soal cara tafsir dan cara pandang dalam memahami perilaku politik masyarakat.

Budaya politik kita ini budaya penuh dengan adab dan ketimuran, bukan kebaratan. Budaya abad ketimuran itu ya sesuai dengan budaya Indonesia, tepo seliro, gotong royong, menghargai nilai kekeluargaan, kekerabatan, jadi budaya bangsa seperti itu masuk pada wilayah politik, kemudian menjadi budaya politik," kata Viva kepada wartawan, Selasa (20/8/2024).

Baca Juga: Kaesang tak Diusung Cawagub, Bukan Putusan MK

"Kalau kemudian dibilang budaya politik kerajaan ya kurang tepat karena budaya politik itu merujuk kepada konstitusi dan peraturan perundang-undangan," tambahnya.

Viva memandang bahwa pernyataan Jimly itu hanya sebuah cara pandang saja. Dia menegaskan bahwa budaya di Indonesia yakni gotong royong hingga sopan santun.

"Tapi ada local wisdom, sebagai nilai budaya yang bisa dikembangkan untuk membedakan antara budaya politik Indonesia dengan budaya politik barat misalnya. Tetapi itu hanya berbeda dalam cara pandang, cara tafsir di dalam melihat realitas politik yang terjadi," katanya.

 

Tak Luput dari Kerajaan

Viva  memandang bahwa budaya politik Indonesia juga perlu terus dikembangkan. Dia memandang budaya itu memang tak luput dari kerajaan jaman dahulu.

"Kalau menurut saya budaya politik Indonesia lebih dipengaruhi oleh local wisdom yang berasal dari nilai-nilai luhur bangsa, gotong royong, sopan santun, yang terkadang terkikis dan patut kita kembang tumbuhkan lagi agar budaya-budaya itu bisa berkembang," katanya.

"Tapi kalau kemudian budaya kerajaan itu kan sesuai dengan petuah-petuah dari sultan atau raja. Nah dengan adanya undang-undang dan konstitusi, itu kan dalam negara berdemokrasi sebagai pembatas kewenangan peran dan fungsi dari pemimpin politik, jadi menurut saya itu perbedaan tafsir dan cara pandang dalam sosial dan politik," tambahnya. n erc/jk/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU