SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Ada hal yang menarik dari dialog terbuka antara Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Jumat malam tanggal 23 Juli 2021 lalu.
Sepintas cara komunikasi Presiden Jokowi itu mempermalukan Menkes di muka umum. Mengingat dialog menggunakan ponsel pintar dan dibuka untuk umum lalu diunggah via telepon di kanal YouTube resmi Sekretariat Presiden.
Baca Juga: Polisi Rekayasa Kasus Dipecat, Diumumkan ke Publik, Presisi
Jujur, saya heran bercampur sedih dengan blusukan presiden beralasan mengecek ketersediaan sejumlah obat Covid-19 dan vitamin. Apakah seorang presiden yang kepala negara urusan ketersediaan obat di apotik-apotik mesti turun sendiri?
Secara logika, blusukan presiden tidak masuk akal. Akal sehat saya, mestinya tenaga dan pikiran Jokowi, memikirkan hal yang lebih strategis.
Tapi sebagai presiden, Jokowi boleh-boleh saja tidak mempercayai pembantunya di tengah kesulitan rakyat mencari obat covid-19.
Bagi akal sehat jurnalis muda, permalukan menkes seperti ini mesti ada solusinya. Menkes Budi Gunadi disuruh mundur secepat-cepatnya, agar tidak membikin gaduh terus. Mengingat sebelum ini ia telah membuat surat keputusan membolehkan BUMN Kimia Farma, berjualan vaksi berbayar. Padahal, Presiden akhir Desember 2020 sudah menegaskan vaksin diberikan gratis kepada semua rakyat Indonesia.
***
Komunikasi antara presiden dan Menkes Budi, Jumat itu sebuah interaksi sosial. Meski berbicara jarak jauh, saya mengamati selain ada kata-kata konfirmasi, juga ada body language atau bahasa tubuh yang dimunculkan presiden.
Bahasa tubuh presiden ini menurut saya memiliki pengaruh tersendiri. Saya menyerap ada perasaan yang sesungguhnya dirasakan oleh presiden yang orang Solo. Umumnya orang Solo punya mondolan.
Namanya blangkon. Tutup kepala gaya Surakarta tidak memiliki tonjolan di bagian belakang. Blangkon orang Solo terjalin dengan mengikatkan dua pucuk helai kain di bagian kanan dan kiri. Maknanya sebagai simbol jagad gede.
Jokowi, pria kelahiran Solo yang diakui atau tidak menggenggam budaya Jawa. Umumnya diwarisi untuk menekan hawa nafsu. Ini demi menghindari konflik dan menjaga harmoni. Oleh karena itu,sehari-hari Jokowi dikenal membawa ke kepribadian yang kalem. Ingat kita jangan cepat terkecoh dengan kekalemannya. Bila sudah marah orang Solo bisa mengerikan. Dalam kultur keraton, dikenal konsep “mengamuk” yang sampai dikenal oleh orang asing sebagai “to make amuck”.
Baca Juga: Mengintip Kekuasaan Presiden Al Assad, Cenderung Pentingkan Dirinya
Sebagai jurnalis yang punya keturunan Jogja, ada satu term dalam bahasa tubuh Jokowi sebagai komunikasi tubuh.
Saya mengamati bahasa tubuh Jokowi saat itu mensyiratkan ada pikiran dan perasaan kecewa atas tidak tersedianya obat covid-19 di masyarakat. Padahal Menkes baru mengeluarkan HET (Harga Eceran Tertinggi).
Bahasa perasaan Jokowi bisa berbica, ini menteri kok Cuma administrator semata. Ini menteri kok tidak mengikuti kultur kepemimpinannya yang doyan blusukan mengecek lapangan.
Secara subyektif, saya mencatat ada satu persepsi membaca bahasa Jokowi saat itu. Terutama lanjutan memviralkan dialog dengan menkes ke publik secara lengkap.
Viral dialog ini bisa menimbulkan persepsi dan intepretasi dari setiap rakyat Indonesia. Saya memahami bahasa tubuh sebagai ilmu tentang tanda yang berfungsi media komunikasi. Saya bisa mengintepretasikan seperti ini. Pembaca pun punya hak yang sama.
Bahasa tubuh Jokowi cenderung memberi sinyal simbolis, tidak percaya pada menkes. Makanya sejumlah pengamat politik mendesak Menkes Budi Gunadi Sadikin, segera mundur sebagai tanggungjawab seorang insinyur nuklir lulusan ITB yang tak mampu meredahkan penularan pandemi apalagi mengerem kematian rakyat. Termasuk distribusi obat bagi pasien kelas bawah.
Baca Juga: Fenomena Jurnalis Jadi Penguasa, Praktikan Independensi
Apalagi bulan terakhir ini ada peningkatan angka positif kasus COVID-19. Peningkatan ini otomatis membutuhkan obat yang dianggap potensial dan sudah dipakai dalam terapi COVID-19.
Faktor lain yang saya serap dari publik, tingginya kebutuhan obat juga dimanfaatkan oleh sebagian pelaku usaha untuk menaikan harga jual obat kepada masyarakat.
Maka itu dikeluarkan peraturan HET untuk mengatur harga obat di pasaran. Ini agar tidak merugikan masyarakat,
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin sendiri saya catat sebelum presiden blusukan mengecek obat, telah menetapkan harga eceran tertinggi obat terapi COVID-19 melalui Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Dalam Masa Pandemi COVID-19.
Ternyata, menkes tidak mengecek distribusi obat yang dibutuhkan masyarakat saat pendemi. Padahal ini tupoksi menkes dalam sistem layanan kesehatan masyarakat. ([email protected])
Editor : Moch Ilham