SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Advokat Viktor Santoso Tandiasa, kuasa hukum pemohon perkara 141 di Mahkamah Konstitusi (MK), mengatakan bahwa MK sebenarnya sudah mengakui bahwa putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, keliru.
Mengingat untuk tingkat wali kota jenjangnya masih sangat jauh dari Presiden. Namun dia menyayangkan karena MK justru melempar hal tersebut pada pembentuk undang-undang.
Baca Juga: Kaesang tak Diusung Cawagub, Bukan Putusan MK
Ia khawatir, putusan atas gugatan batas usia capres-cawapres dapat menimbulkan beberapa persoalan ke depannya.
"Saya khawatir pertimbangan hukum ini malah semakin meyakinkan masyarakat bahwa putusan No 90 hanya untuk calon yang berkepentingan. Karena akhirnya terbukti bahwa dalam putusan 141, MK mengaku bahwa seharusnya yang tepat adalah gubernur, karena jenjangnya tidak terlalu jauh dengan presiden," kata Viktor pada wartawan usai mendengarkan putusan gugatan Nomor 141/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (29/11/2023).
Diajukan Mahasiswa Nahdlatul Ulama
Perkara ini diajukan oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana.
Dalam petitumnya, Brahma ingin MK menyatakan syarat usia capres-cawapres bisa di bawah 40 tahun asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat provinsi, yakni gubernur atau wakil gubernur.
Keputusan Permudah Gibran
Putusan syarat tersebut menuai banyak sorotan lantaran dianggap untuk mempermudah Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang juga anak Presiden Joko Widodo sekaligus keponakan Hakim Konstitusi Anwar Usman (saat itu menjabat sebagai Ketua MK) ikut serta di Pilpres di 2024 meski usianya belum 40 tahun.
Putusan 90 itu mengundang pro dan kontra di masyarakat. Sejumlah pihak bahkan mengajukan protes dan laporan dugaan pelanggaran kode etik kepada Majelis Kehormatan MK (MKMK) terkait putusan itu. Imbasnya, Anwar dinilai terbukti melanggar kode etik perilaku hakim dan akhirnya dicopot dari jabatan Ketua MK.
Gugatan Ulang Syarat Usia
Baca Juga: Bila DPR-Pemerintah Tak Patuhi Putusan MK, Akademisi Ancam Pembangkangan Sipil
Sementara, Rabu (29/11/2023) kemarin, MK tak menerima gugatan nomor 141/PUU-XXI/2023 pada sidang pembacaan putusan. Perkara tersebut berkaitan dengan gugatan ulang terhadap syarat usia capres-cawapres di dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya berubah oleh Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam pertimbangannya, MK pada pokoknya menegaskan putusan itu secara hukum telah berlaku sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum, sehingga bersifat final dan mengikat, sebagaimana putusan MK lainnya.
Anwar Usman tak Hadir
Hakim Konstitusi Anwar Usman, tak terlihat dalam ruang sidang saat pembacaan putusan gugatan soal Batas usia capres-cawapres itu.
Pada Rabu (29/11/2023), pukul 13.39 WIB sidang diskors dan mulai kembali sidang pada pukul 14.50 WIB. Setelah diskors, Hakim MK terlihat memasuki ruang sidang kembali.
Namun, tak terlihat Anwar Usman di situ. Sehingga, selama putusan gugatan nomor 142, 98, 128, dan 141 tak dihadiri oleh Anwar Usman.
Baca Juga: 3 Aktivis dan Akademisi: Revisi UU Pilkada Cacat Secara Formil dan Materil
Saat dimintai konfirmasi, Plt Karo Humas dan Protokol MK Budi Wijayanto membenarkan soal ketidakhadiran Anwar Usman. Ia mengatakan bahwa hal itu karena amanah putusan MKMK sebelumnya yang mengatakan bahwa Anwar tak diperbolehkan untuk mengikuti dan memutus soal gugatan batas usia capres-cawapres.
Putusan Beri Karpet Merah
"Tapi nanti untuk Pemilu 2029. Nah ini semakin menguatkan putusan No 90 terkait Gibran, diputuskan hanya untuk memberikan karpet kepada calon yang berkepentingan, yang punya konflik kepentingan kepada ketua MK yang terdahulu," lanjutnya
Meski begitu, pihaknya akan tetap menghargai putusan MK soal batas usia capres-cawapres tersebut.
"Kami tetap menghargai putusannya, tapi ya kami lagi-lagi menyayangkan beberapa catatan tadi. Sehingga bagi kami ini belum menyelesaikan persoalan pemilu. Karena sebenarnya putusan ini bisa menjadi penyelesaian yang bisa menguatkan legitimasi pemilu ke depan," pungkasnya.
Viktor mencatat, konflik kepentingan dan intervensi dari luar itu terjadi sebelum putusan. Ketika sudah diputus, putusan dinyatakan final dan mengikat, lalu kemudian tidak bisa dikoreksi. Itu akan menjadi berbahaya, karena artinya kedepan bisa saja semua putusan MK itu diputus dengan adanya pelanggaran etik terus," sambungnya.n jk/erc/rmc
Editor : Moch Ilham