3 Aktivis dan Akademisi: Revisi UU Pilkada Cacat Secara Formil dan Materil

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 21 Agu 2024 20:41 WIB

3 Aktivis dan Akademisi: Revisi UU Pilkada Cacat Secara Formil dan Materil

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta – Tiga akademisi dan aktivis anti korupsi Zainal Arifin Mochtar,  M Praswad Nugraha dan Titi Anggraini, menyoroti Badan Legislasi DPR (Baleg DPR) dan Pemerintah yang dalam waktu 7 jam sudah menyepakati Revisi Undang-Undang Pilkada untuk dibawa ke Paripurna Kamis ini.

Rapat Baleg DPR soal RUU Pilkada Rabu (21/8/2024) digelar sehari setelah sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK).  Dalam putusan MK yang diketok Selasa (20/8), MK memutuskan sejumlah aturan krusial terkait Pilkada mulai dari batas usia cagub dan cawagub hingga ambang batas dukungan partai politik.

Baca Juga: Gelar Lomba Mural Pilkada Serentak 2024, Ajak Masyarakat Datang Ke TPS 

Namun, dalam sidang Baleg DPR soal RUU Pilkada hari ini, sejumlah kesepakatan yang dicapai dalam rapat bertentangan dengan putusan MK

 

Pertanyakan Akomodir Aspirasi Publik

Zainal mempertanyakan perihal akomodir aspirasi publik. "Coba kita tanyakan ke mereka (DPR), bikin Undang-Undang mana aspirasi publiknya?" kata Zainal saat dihubungi, Rabu (21/8/2024).

Senada dengan Zainal, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini juga menyebut revisi yang dilakukan Baleg DPR Selasa (21/8) bermasalah secara formil dan materil. Dia menegaskan tidak ada partisipasi masyarakat dalam menyusun revisi tersebut.

"Revisi ini bermasalah secara formil maupun materil. Partisipasi masyarakat dinegasikan dan subtansinya menyimpangi putusan MK. Pembentuk UU secara sengaja mempertontonkan pembegalan konstitusi dan sama sekali tidak menjalankan perannya sebagai suara ataupun aspirasi publik," ucapnya.

Selain itu, dia juga menyebut putusan Baleg DPR ini juga menunjukkan adanya tirani mayoritas dan hegemoni elite politik. Menurutnya, jika dibiarkan, maka Pilkada 2024 terancam tidak legitimiate.

Selain itu, ini menunjukkan adanya tirani mayoritas dan hegemoni elite politik yang telah merumuskan kebijakan kesewenang-wenangan. Dampaknya bila terus dibiarkan, pilkada 2024 terancam Inkonstitusional dan tidak legitimate," ujar dia.

 

Rapat RUU Pilkada 7 Jam

Baca Juga: Luluk Komitmen Beri Madura Hak untuk Maju dan Sejahtera

Rapat RUU Pilkada itu berjalan tujuh jam hingga akhirnya akan dibawa ke paripurna DPR besok. Rapat RUU Pilkada di ruang rapat Baleg DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, dimulai pukul 10.10 WIB. Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg DPR, Ahmad Baidowi atau Awiek.

Rapat sejak Rabu pagi itu turut dihadiri Menkumham Supratman Andi Agtas, dan Mendagri Tito Karnavian. Hadir pula jajaran pejabat utama Kemenkumham dan Kemendagri dalam rapat.

 Kemudian rapat membahas pasal-pasal masalah yang dimasukkan dalam RUU Pilkada.

Selanjutnya, pada siang hari, rapat dilanjutkan pembahasan di tim khusus (timsus) dan tim sinkronisasi (timsin). Akhirnya pada sore hari, sekitar pukul 15.00 WIB, rapat pengambilan keputusan tingkat I dilakukan.

Delapan fraksi di DPR pun menyepakati RUU Pilkada untuk dibawa ke rapat paripurna. Sementara itu, hanya Fraksi PDIP yang menyatakan menolak RUU Pilkada.

Rapat pembahasan RUU Pilkada di Baleg DPR berakhir sekitar pukul 16.55 WIB. Artinya, rapat RUU Pilkada berjalan sekitar 7 jam hingga akhirnya disepakati mayoritas fraksi DPR, pemerintah, dan DPD.

Baca Juga: Luluk-Lukman Silaturrahmi ke PP Matholiul Anwar: Tekankan APBD untuk Pondok Pesantren di Jatim

 

Dugaan Korupsi Legislasi

IM57+ Institute juga mengkritik rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR yang membahas revisi Undang-Undang Pilkada. IM57 menilai ada korupsi legislasi yang dilakukan DPR tersebut.

"Tindakan DPR RI yang secara terburu-buru membahas RUU Pilkada pasca Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 adalah bentuk korupsi legislasi. MK hadir untuk menjaga agar tidak adanya UU yang bertentangan dengan konstitusi," kata Ketua IM57+Institute, M Praswad Nugraha, dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (21/8/2024).

IM57 lalu membandingkan sikap DPR yang kompak 'adem ayem' saat merespons putusan MK yang lain. Putusan MK dimaksud ialah saat MK memberikan lampu hijau bagi Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden awal tahun ini.

"Tindakan tersebut sangat berbeda ketika Putusan MK menguntungkan kepentingan penguasa yang ada, misalnya dengan adanya alternatif syarat bagi pencalonan anak presiden. Ini menunjukan bahwa selera penguasa menjadi penentu sehingga prinsip-prinsip legislasi tidak lagi sesuai dengan prinsip demokratis sehingga menimbulkan korupsi legislasi,” lanjut Praswad. ec/jk/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU