KIM Plus vs PDIP, Berebut Kekuasaan Politik

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 27 Agu 2024 19:47 WIB

KIM Plus vs PDIP, Berebut Kekuasaan Politik

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Partai yang bergabung dengan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka setelah Pilpres 2024 bertambah. Terbaru, PKB bergabung. Padahal sebelumnya berseberangan di Pilpres 2024.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin menasihati PKB harus turut serta dalam kekuasaan. Ini jika  membawa perbaikan bagi masyarakat.

Baca Juga: Anies Baswedan, Akademisi yang tak Realistis

Ma'ruf menilai, ini konsekuensi dari gerakan politik PKB yang selalu mengupayakan perbaikan-perbaikan di segala sektor.

"Kalau kekuasaan itu akan membawa kepada perbaikan, maka PKB harus ikut dalam kekuasaan untuk melakukan perbaikan-perbaikan," kata Ma'ruf saat membuka Muktamar PKB ke-6 di Bali, Sabtu (24/8/2024).

Perbaikan apa saja pak Kiai?

 

***

 

Saya tahu, dalam politik ada berbagai cara untuk mendapatkan kekuasaan . Ada cara yang halal dan cara yang tidak halal. Itu cari sebagian politisi untuk mendapatkan kekuasaan itu. Ini saya lihat sendiri dalam Kontestasi Politik Lokal pilkada di Jatim dan Surabaya. Saya saksi hidup Pilkada sering kali dijadikan lahan untuk perebutan kekuasaan.

Padahal Abraham Linchon (1809-1865), mantan Presiden Ke-16 Amerika Serikat melihat kekuasaan itu sebagai suatu medium untuk menguji watak seseorang.

Linchon berpendapat bahwa hampir semua orang bisa kuat dalam  penderitaan . Namun jika untuk menguji watak seseorang itu berilah ia sebuah kekuasaan.

Sebuah kekuasaan dapat mengubah seseorang , seperti halnya, dulu ada seseorang pekerja di mall, tapi untuk mendapatkan sebuah kekuasaan ,dia bepura –pura jadi garang dan mendekatkan dirinya untuk masyarakat. Menabur uang, guna mendapatkan simpati dari masyarakat. Nyatanya, untuk memperebutkan kekuasaan, ia rela bertarung dengan temannya, dan  berujung pada ketidak harmonisan.

 

***

 

Literasi yang saya baca, kekuasaan politik adalah kewenangan untuk membuat kebijakan yang bisa digunakan untuk mengikat seluruh warga negara.

Baca Juga: Nyali KPK, Diuji Menantu Jokowi

 Karena berupa kewenangan,  kekuasaan politik bisa diibaratkan sebagai pisau dapur. Ia bisa digunakan untuk melakukan kerja-kerja yang bermanfaat, terutama untuk menyelesaikan urusan dapur. Namun, jangan salah sangka, pisau dapur bisa digunakan oleh perampok untuk menakut-nakuti, bahkan membunuh siapa saja yang dianggap sebagai penghalang maksud jahatnya. Jadi, manfaat dan madlarrat pisau dapur tergantung siapa pemegangnya. Demikian pulalah politik. Di tangan orang-orang yang baik dan sekaligus memiliki ketrampilan khusus untuk berstrategi, kekuasaan politik akan menghadirkan manfaat. Sebaliknya, di tangan para mafia jahat, kekuasaan politik hanya akan dijadikan sebagai alat untuk memenuhi hasrat menguasai segala yang mereka ingin demi kemewahan dunia. Tak peduli, tindakan itu menyebabkan banyak rakyat menderita, tak punya masa depan, dan bahkan binasa.

Mereka tak peduli negara rugi berapa pun nilainya, yang penting mereka mendapatkan keuntungan walaupun tidak begitu besar, yang jika dibandingkan dengan kerugian negara tidak ada sekuku hitam saja. Al-Qur’an menyatakan fungsi penting kekuasaan, yaitu menolong. Sama-sama menolong, tanpa kekuasaan, orang juga bisa menolong. Dengan harta kekayaan, misalnya. Namun, jika dibandingkan antara kekuasaan dengan harta kekayaan, implikasi sesungguhnya sangatlah tidak sebanding. Seseorang dengan harta kekayaan, memang bisa menolong orang lain, tetapi dengan jumlah yang sangat terbatas. Namun, tidak demikian dengan kekuasaan, karena padanya ada alat ruda paksa berupa aparat. Karena itu, seorang filsuf mengatakan bahwa dengan harta kekayaan, seseorang bisa menolong sedikit/banyak orang. Dengan kekuasaan, seseorang bisa menolong banyak warga negara.

 

***

 

Megawati dalam pidato politiknya menegaskan bahwa tidak ada istilah koalisi dan oposisi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Sebab, Indonesia menganut sistem presidensial, bukan parlementer. Sehingga, menurut dia, PDI-P berhak menjalin kerja sama politik dengan partai lainnya.

Megawati, juga mengatakan dalam sistem presidensial tidak ada istilah koalisi maupun oposisi.

Untuk memverifikasi secara ilmiah apakah pernyataan Megawati tersebut tepat? Sayakutip sebuah artikel politik  dari Conversation.com, 21 Juni 2024.

Baca Juga: Menyorot Gaya Hidup Bobby, Kaesang dan Paus

Faktanya, kata artikel tersebut dalam konteks Indonesia, pelaksanaan sistem presidensial cenderung setengah hati. Akibatnya, terdapat nuansa sistem parlementer yang mengakibatkan munculnya istilah koalisi maupun oposisi.

Di Indonesia, tugas DPR  sebenarnya termuat dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat (1) yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Sayangnya, lambat laun terdapat kompromi yang muncul akibat kombinasi sistem presidensial dan multipartai. Artinya, siapa saja yang menjabat sebagai presiden akan terbelenggu keharusan berkompromi dengan partai-partai di parlemen. Sebenarnya, kompromi tersebut bersifat rapuh dan cair karena ketiadaan common platform (kesamaan visi misi).

Alhasil, pertimbangan merangkul semua partai politik dalam kabinet dan menempatkan mereka dalam kotak “koalisi” membuat sistem presidensial kita menjadi kabur dan lebih cenderung kepada sistem parlementer.

Nah. Jelas! Kekuasaan politik saat ini terbentuk atas dasar otoritas yang diberikan oleh suatu entitas yang memiliki kekuasaan lebih besar yaitu KIM plus.

Pertanyaanya, pembagian kekuasaan politik saat ini apakah ada konsentrasi kekuasaan yang berlebihan?

PDIP kini seperti sendirian dalam melindungi kepentingan masyarakat secara lebih adil dan objektif. Jadi oposisi alone. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU