Negeri Kaya Sawit Tunduk Pada Taipan Minyak Goreng RI

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 20 Feb 2022 15:35 WIB

Negeri Kaya Sawit Tunduk Pada Taipan Minyak Goreng RI

i

Masyarakat saat mendapatkan bantuan minyak goreng dari pemerintah

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Harga komuditas minyak goreng sepanjang akhir tahun 2021 hingga awal tahun 2022 terus megalami kenaikan yang sangat signifikan. Bahkan hingga saat ini, minyak goreng di beberapa wilayah mengalami kelangkaan.

Padahal pemerintah melalui Kementrian Perdagangan telah menggelontorkan anggaran sebesar  Rp 3,6 triliun untuk menutup selisih harga minyak goreng yang ditetapkan dengan HET Rp14.000 per liter untuk menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Baca Juga: Luhut Optimistis Indonesia Tak Akan Impor Bahan Bakar Fosil Mulai 2045

Nyatanya upaya tersebut masih terbilang kurang. Bahkan pasca penetapan satu harga minyak goreng menjadi Rp14.000 per liter pada 19 Januari, hingga kini harga minyak masih terbilang sangat tinggi.

HET Tidak Berlaku

Data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS)  per 18 Februari 2022, harga minyak goreng di pasar tradisional masih sangat fluktuatif di setiap daerah. Bahkan cendrung di atas harga yang ditetapkan oleh pemerintah (HET) Rp14.000 per liter.

Harga minyak goreng di Jawa Timur (Jatim) misalnya, pada 18 Februari 2022, masih berada diangka Rp17.450 per liter. Selain Jatim. wilayah lain yang harganya di atas HET juga dialami oleh Jawa Barat atau sebesar Rp18.300 per liter. Selanjutnya ada Yogyakarta sebesar 17.850 per liter.

Untuk harga minyak goreng tertinggi berada pada wilayah Gorontalo yakni sebesar Rp25.350 per liter. Di urutan kedua ada Maluku Utara dengan harga Rp23.000 per liter dan disusul oleh Maluku sebesar Rp21.500 per liter.

Untuk wilayah yang harga minyaknya sesuai dengan penetapan HET dari Kemendagri adalah wilayah Bengkulu dengan harga minyak sebesar Rp.13.850 per liter. Sementara untuk wilayah lain relatif berada di harga lebih dari Rp.15.000 per liter atau tidak sejalan dengan aturan HET. 

Penyebab Naik

Menurut Guru Besar Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Drs. H. Tjiptohadi Sawarjuwono M. Ec. Ph.D, Ak, setidaknya ada dua faktor utama naiknya minyak goreng yang berujung pada kelangkaan.

Kedua faktor tersebut adalah internal dan eksternal. Secara eksternal, naiknya harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) berimplikasi pada kenaikan harga minyak goreng di pasaran.

Data dari Refinitiv, harga CPO hingga 18 Februari 2022 dibanderol di level MYR 5.573 per ton atau setara dengan Rp19.127.265. 

Selain harga CPO yang meningkat, faktor ekternal berikutnya adalah pandemi covid-19. 

"Karena memang tidak bisa pungkiri bahwa pandemi ini membuat perekonomian kita memburuk termasuk ketersediaan bahan kebutuhan pokok juga ikut berpengaruh," kata Prof. Tjipto kepada Surabaya Pagi, Minggu (20/02/2022).

Berikutnya adalah faktor internal. Setidaknya ada banyak spekulasi yang mempengaruhi naiknya harga minyak secara internal. Salah satu diantaranya adalah permainan para produsen minyak goreng dan berikutnya adalah penimbunan yang dilakukan baik oleh masyrakat maupun oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

"Kalau dari masyrakat karena adanya punic buying sehingga membeli dalam jumlah banyak dan ditimbun di rumah. Memang punic buying ini jadi musuh bersama disaat kondisi darurat seperti sekarang," tambahnya.

Taipan Minyak Goreng

Dari penelusuran Surabaya Pagi, setidaknya ada 5 taipan atau konglomerat bisnis dibalik beberapa merek minyak goreng utama yang acap kali digunakan oleh masyarakat Indonesia.

Terkait 5 taipan minyak goreng di Indonesia, diantaranya adalah Anthony Salim pemilik Salim Grup, Grup Sinarmas, Grup Musim Mas, Grup Wilmar dan Royal Golden Eagle.

Perlu diketahui Anthoni Salim merupakan salah satu taipan yang diuntungkan dari kenaikan harga CPO. Melalui dua emiten kelompok usaha agribisnis milik Group Salim PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) dan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) mampu mencatatkan kinerja yang cukup impresif selama kenaikan CPO terjadi.

Ivomas, emiten yang bergerak pada proses peningkatan nilai tambah produk agribisnis dan pemasaran produk minyak goreng ini dengan merek dagang Bimoli, Delima dan Happy Soya Oil ini mencatatkan perolehan laba bersih sebesar Rp 563 miliar hingga akhir kuartal ketiga tahun 2021.

Bahkan perusahaan ini juga mengalami perbaikan dari rugi bersih yang diperoleh sebesar Rp 172 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.  Selain itu laba bersih LSIP juga meningkat hingga 171% menjadi Rp 752 miliar pada akhir September 2021.

Tak hanya itu Anthoni Salim tercatat sebagai orang terkaya ketiga di Indonesia dan diperkirakan mencapai US$ 8,5 miliar.

Tak hanya itu saja, Salim Grup terbukti menimbun minyak goreng dengan jumlah yang cukup fantasitis atau sebanyak 1,1 juta liter di gudangnya yang berada di Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang.  

Hal ini terbukti pasca  Satgas Pangan Sumatera Utara melakukan sidak ke pergudangan tersebut.

Baca Juga: Emak-Emak Teriak Minyak Goreng Habis, Salim Grup Justru Timbun 1,1 Juta Liter

Baca Juga: RI-Malaysia Siap Kerja Sama Kuasai 88% Pasar Sawit Dunia

Berikutnya adalah Grup Sinarmas. Konglomerasi bisnis yang didirikan oleh mendiang Eka Tjipta Widjaja ini memiliki unit usaha agribisnis di bawah naungan Sinar Mas Agro Resources and Tech Tbk (SMAR).

SMAR adalah salah satu perusahaan publik produk konsumen berbasis kelapa sawit yang terintegrasi dan terkemuka di Indonesia, adapun produk minyak goreng yang diproduksi termasuk Filma, Mitra, Kunci Mas dan Palmvita.

Berkat harga CPO yang terus membaik, SMAR mampu mencatatkan perbaikan kinerja laba dengan kenaikan fantastis. Laba bersih SMAR tercatat naik 734% dari semula hanya sebesar Rp 1,79 triliun pada September 2021.

Keluarga Widjaja merupakan taipan terkaya kedua di Indonesia dengan kekayaan mencapai US$ 9,7 miliar.

Selanjutnya ada pula Musim Mas Group. Salah satu konglomerasi yang bergerak di lini bisnis utama minyak sawit atau CPO ini dikendalikan oleh Bachtiar Karim.

Lini produk minyak goreng yang diproduksi termasuk merek SunCo, Tani dan Amago.

Musim Mas Group sendiri dalam laman resmi perusahaan mengklaim sebagai salah satu perusahaan minyak sawit terintegrasi terbesar di dunia dengan operasi yang mencakup seluruh rantai nilai di wilayah Amerika, Eropa, dan Asia.

Bermula dari pabrik sabun Nam Cheong yang dimulai di Medan, kini Musim Mas memiliki operasi di 13 negara dengan produk turunan digunakan secara luas di berbagai industri.

Bahkan tahun 2021 Forbes mencatat, Bachtiar Karim menjadi orang terkaya ke-10 di Indonesia dengan total kekayaan bersih mencapai US$ 3,5 miliar atau setara dengan Rp 50,22 triliun.

Taipan atau konglomerasi ke-4 adalah Grup Wilmar. Bersama pengusaha Singapura Kuok Khoon Hong, Martua Sitorus mendirikan grup perusahaan agribisnis Wilmar Internasional yang merupakan salah satu perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar yang tercatat di Bursa Efek Singapura.

Produk minyak goreng perusahaan yang dijual bebas di pasar Indonesia dan dekat dengan masyarakat termasuk merek Sania dan Fotune.

Minyak sawit (minyak goreng) yang diekstrak dari biji sawit adalah jenis minyak nabati yang paling banyak digunakan dan merupakan produk utama Wilmar.

Laman resmi perusahaan mengatakan jika Wilmar adalah salah satu pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia dengan total luas tanam 232.053 hektar (ha) per 31 Desember 2020, di mana sekitar 65% berada di Indonesia dengan lokasi tersebar di Sumatera, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Baca Juga: Harga CPO untuk Periode 16-31 Oktober Turun Jadi US$713,89 per Ton

Forbes mencatat pada tahun 2021 kekayaan Martua Sitorus mencapai US$ 2,85 miliar atau setara dengan Rp 40,89 triliun.

Terakhir adalah Royal Golden Eagle. Sukanto Tanoto merupakan konglomerat pemilik grup usaha Royal Golden Eagle International (RGEI). Konglomerasi bisnis RGE, bergerak di berbagai industri termasuk perkebunan Kelapa Sawit (Asian Agri dan Apical).

Adapun merek minyak goreng yang diperdagangkan oleh perusahaan termasuk Camar dan Harumas.

Asian Agri dalam laman web resminya mengatakan bahwa perusahaan memiliki 30 perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Utara seluas 100.000 hektar.

Sedangkan situs resmi Apical mencatat perusahaan memiliki 6 kilang pemurnian, 3 pabrik biodiesel, satu pabrik pengolahan inti sawit dan satu pabrik oleokimia. Perusahaan memproduksi margarin, turunan lemak hingga biodiesel.

Dicatat Forbes, kekayaan Sukanto Tanoto mencapai US$ 2,1 miliar pada tahun 2021.

Karena ke-5 taipan bisnis ini yang mengontrol bisnis minyak goreng di Indonesia, maka kendati negara menetapkan HET atau penyeragaman minyak satu harga menjadi Rp14.000 per liter, harga minyak di pasaran akan secara eksponensial meningkat. 

Padahal bila melihat data dari Pusat Litbang Kementerian Pertanian, produksi minyak sawit Indonesia saat ini menjadi nomor satu dan telah mengalahkan Malaysia.  Dari 64 juta ton produksi sawit dunia, Indonesia menyumbang lebih dari setengahnya yaitu 35 juta ton.

Atau dengan kata lain, Indonesia menyumbang setidaknya 54 persen dari produksi minyak sawit dunia. Artinya bila di negara produsen minyak sawit terjadi kelangkaan minyak, maka sudah pasti ada yang salah dalam mengelola bisnis negara.

"Kan kita jadi bertanya, kok bisa di negara produsen, justru yang kekurangan minyak goreng. Ini harus diaudit, jangan sampai ada permainan," katanya. (Sem)

 

 

Editor : Redaksi

BERITA TERBARU