SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Saya bukan politisi. Saya wartawan. Ya jurnalis yang mengamati petakilannya sejumlah politisi yang kini ada di tiga capres-cawapres. Petakilan yang saya serap dari lingkungan keluarga adalah perilaku yang cenderung tidak bisa diam. Suka usil, jahil, nakal dan sebagainya.
Fahri Hamzah, misalnya. Dia dulu Wakil Ketua DPR-RI dari PKS. Kini Fahri, jabat Wakil Ketua Umum Gelora. Survei terbaru yang dilakukan Lembaga Survei Nasional (LSN) elektabilitas suara Gelora hanya 1,1 persen. Ia partai nonparlemen yang menurut LSN tak berpeluang lolos ke Senayan.
Baca Juga: Pilgub 2024, Khofifah Tanpa "Lawan Tanding" Sebanding
Nah, bila survei LSN ini jadi kenyataan, suara Fahri Hamzah, tak bisa didengar eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Nah, saat partainya gabung koalisi Indonesia maju, petakilan suara mulai didengungkan. Suaranya kadang tak realistis bagi rakyat Indonesia. Apa yang disuarakan Fahri?
Ia mengajak masyarakat agar aklamasi memilih Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Hal ini disebut lantaran dua calon lain salah posisi.
Ajakan Fahri disampaikan dalam akun X resminya, Senin (25/12/2023). Fahri awalnya menyebutkan adanya kesalahan konsep dalam visi-misi yang ditawarkan pada masyarakat.
"Konsep awalnya salah. Jadi rakyat tidak mungkin memilih yang sejak awal salah konsep. Bahkan kesalahan konsep dipertahankan sampai sekarang," tulisnya.
Akal sehat saya menanyakan apa kapasitas Fahri Hamzah, mengajak publik memilih Prabowo-Gibran secara aklamasi.
Dengan elektabilitas yang rendah, Fahri mestinya berkaca diri. Siapa saya sebenarnya? Maka itu tak keliru politisi NasDem dan PKB menuding Fahri Hamzah, kebelet jadi menteri. Ada politisi yang lebih ekstrim menganggap Fahri Hamzah, menjilat setinggi langit.
***
Baca Juga: Pak Jokowi, Ngono Yo Ngono, Ning Ojo Ngono
Dengan petakilan Fahri Hamzah seperti diatas, ia sudah patut dilabeli masyarakat politikus yang memanfaatkan situasi untuk mendapat kekuasaan di eksekutif. Labeli semacam ini tak keliru goal Fahri untuk kepentingan politik individunya semata.
Ulahnya, kata yang sering dipakai guru saya, Fahri bisa termasuk politikus yang sengaja memperkeruh suasana dengan menghadirkan pernyataan-pernyataan yang kontraproduktif membuat perhelatan demokrasi lima tahunan tercederai.
Pernyataan-pernyataannya bisa membuat masyarakat semakin bingung. Apakah manuver manuver Fahri Hamzah, hanya berorientasi pada masa jabatannya dan mencari peluang untuk berkuasa pada periode berikutnya ndompleng Prabowo-Gibran?.
Saya amati, Fahri Hamzah, suka bikin pernyataan pernyataan saperti membangun citra diri. Misalnya sebagai politisi yang loyal ke capres Prabowo.
Apakah dia termasuk tipe politisi yang bisa berkongsi dengan keluarga atau capres yang didukungnya? Walahualam.
Baca Juga: Jokowi vs Mega, Prabowo vs Mega = Kekuasaan
Catatan jurnalistik saya, Fahri Hamzah, pernah memberikan penjelasan kepada awak media terkait informasi pemecatan dirinya dari jenjang keanggotaan Partai Keadilan Sejahtera.
Juga ada catatan jurnalistik saya menyebut selama jadi wakil rakyat, Fahri dikenal vokal terhadap kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi? Tapi kini memuji bak pelindung progam Jokowi.
Ada yang perlu saya sharekan ke Fahri Hamzah, yang berani bikin pernyataan "garang" di atas, sepertinya Fahri lupa pada prinsip-prinsip liberal dan demokratis. Saya duga Fahri menyerukan pernyataan seperti di atas lupa peran seorang politisi yang sangat vital dalam membentuk dinamika politik.
Ini politisi negarawan. Termasuk arah kebijakan negara. Tampaknya Fahri, bikin statement semacam itu ia lupa dukungan dan simpati yang diperoleh seorang pemimpin politik negarawan, yaitu tidak hanya ditentukan faktor pribadi dan bikin pernyataan tanpa rasionalitasnya. Politisi oportunis pun juga diukur oleh kualitas rekam jejak, integritas, serta pandangan politiknya selama ia berkiprah di panggung politik praktis.
Fair, selama ini saya tak punya rekaman pandangan politik Fahri Hamzah, untuk kemajuan rakyat, kecuali mengkritik dan memuji seorang politisi lain. Fahri, Fahri..., Ooohh Fahri Hamzah.... ([email protected])
Editor : Moch Ilham