Dewan Pers Kritisi Draf RUU Penyiaran dari DPR-RI, Larang Penayangan Jurnalistik Investigasi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 12 Mei 2024 21:08 WIB

Dewan Pers Kritisi Draf RUU Penyiaran dari DPR-RI, Larang Penayangan Jurnalistik Investigasi

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Dewan Pers mengkritik draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru. Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, menganggap RUU tersebut berbahaya bagi kebebasan pers dan tumpang tindih dengan UU Pers.

"Dalam draf yang kami terima sebagai bahan rapat Baleg (Badan Legislasi DPR. RUU ini berbahaya bagi kebebasan pers dan ada kewenangan yang tumpang tindih dengan UU Nomor 40 tentang Pers," kata Yadi kepada wartawan, Minggu (12/5/2024).

Baca Juga: Dugaan Bungkam Kebebasan Pers, Dewan Pers Bereaksi

 

Inisiasi DPR RI

Saat ini, DPR RI telah menetapkan 39 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, revisi UU Penyiaran ini menjadi usul inisiatif DPR. Kini akan dibahas bersama dengan pemerintah.

 

Minta Masukan Masyarakat Pers

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Yadiz meminta DPR agar menjaring aspirasi dari kelompok masyarakat dalam penyusunan RUU. "DPR sebaiknya meminta masukan masyarakat pers dan civil society," harapnya.

Yadi menyoroti setidaknya dua poin dalam RUU itu. Dia mengkritik adanya aturan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat menyelesaikan sengketa jurnalistik.

"Sebagai contoh, Pasal 8A huruf q dalam RUU yang dibahas Badan Legislasi DPR pada 27 Maret 2024 menyatakan KPI boleh menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Pasal ini tentu akan bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999," kata dia.

Yadi menekankan urusan penyelesaian sengketa pers telah diatur dalam UU Pers. Dia menyebut selama ini penyelesaian kasus pers penyiaran dilakukan oleh Dewan Pers.

"UU Pers memberi mandat bahwa sengketa pers, dalam Pasal 15 mengenai fungsi-fungsi Dewan Pers itu salah satunya itu adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Selama ini juga penyelesaian kasus pers penyiaran di Dewan Pers," kata dia.

 

Larangan Penayangan Jurnalistik Investigasi

Yadi juga menyoroti adanya aturan larangan penayangan jurnalistik investigasi dalam RUU itu. Dia mempertanyakan dasar dari aturan itu.

Baca Juga: Jurnalistik Investigasi Ungkap Kejahatan Tersembunyi untuk Kepentingan Umum

"Dalam draf rancangan RUU penyiaran ini Pasal 50B ayat 2 isinya melarang menayangkan eksklusif jurnalistik investigasi. Apa dasarnya pelarangan ini, pelarangan ini justru akan memberangus pers," kata Yadi.

"Pers telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Ada panduan kode etik jurnalistik yang sudah disahkan oleh Dewan Pers dan masyarakat pers sebagai mana perintah dari UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Jadi tidak ada UU lain yang mengatur Pers," ujarnya.

 

Jurnalis Televisi Indonesia juga

Sebelumnya, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyoroti rencana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran disusun tidak cermat dan berpotensi mengancam kebebasan pers.

"Dari proses penyusunan, IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran terkesan disusun secara tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers, terlebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers. Dalam draf revisi UU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI," kata Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan melalui keterangan tertulis, Sabtu (11/5/2024).

 

Pasal 50B Banyak Tafsir

Baca Juga: Ketua PWI Jatim: Dewan Pers Perlu Mengukur Perilaku Jurnalis

Herik menuturkan Pasal 50B ayat 2 huruf C pada draf revisi UU Penyiaran melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Pasal tersebut menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan.

"IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan. Pertanyaan besarnya, mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalistik investigasi? Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik, maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan di televisi," ujarnya.

 

Bungkam Kerja Jurnalis

Menurutnya, adanya pelarangan penayangan karya jurnalistik investigasi sebagai upaya pembungkaman dan intervensi bagi kebebasan pers. Dia menyebut hal itu sebagai ancaman serius karena berpotensi menjadi alat kekuasaan dan politik.

"Secara substansi, pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di Tanah Air. Upaya ini tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. Tidak hanya itu, dikhawatirkan revisi RUU Penyiaran akan menjadi alat kekuasaan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas," tuturnya.

Selan itu, IJTI menyoroti Pasal 50 B ayat 2 huruf K tentang isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal tersebut dinilai membingungkan dan berpotensi membungkam kerja jurnalis. n jk/erc/cr4/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU