SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Kerusuhan massa telah terjadi di Bangladesh pada Minggu, 4 Agustus 2024. Unjuk rasa menuntut Perdana Menteri Sheikh Hasina mundur.
Dan untuk meredam kerusuhan, polisi menggunakan gas air mata dan peluru karet. Ini untuk membubarkan puluhan ribu demonstran.
Baca Juga: Nyali KPK, Diuji Menantu Jokowi
Aksi demonstrasi yang dimotori oleh mahasiswa ini telah berlangsung sejak Juli lalu dan mengakibatkan lebih dari 300 orang meninggal. Puncak peristiwa ini membuat Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengundurkan diri setelah 20 tahun memimpin.
Kekerasan ini menjadi salah satu hari paling mematikan dalam sejarah kerusuhan sipil di Bangladesh.
Kerusuhan di Bangladesh berawal dari aksi demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa di Universitas Dhaka, universitas terbesar di negara itu. Unjuk rasa tersebut memanas sejak akhir bulan lalu hingga berujung bentrokan dengan polisi dan demonstran pro-pemerintah.
Mahasiswa melakukan demonstrasi sebagai bentuk protes terhadap kuota pegawai negeri sipil yang mencapai 30 persen untuk keluarga veteran perang kemerdekaan Bangladesh tahun 1971. Kuota ini dianggap menguntungkan sekutu partai yang berkuasa.
Para demonstran menilai sistem tersebut diskriminatif dan menguntungkan pendukung partai Liga Awami yang dipimpin oleh Perdana Menteri Hasina. Mereka pun mendesak agar sistem kuota digantikan dengan sistem berbasis prestasi.
Catatan jurnalistik saya memberi alarm tentang ketidakpuasan mahasiwa (kelas menengah) terhadap pemerintahan Bangladesh yang tidak mendengar suara kelas menengah.
***
Catatan jurnalistik saya juga mencatat Peristiwa Mei 1998 dimotori kelas menengah (middle class). Peristiwa ini merupakan klimaks dari ketidakpuasan terhadap Orde Baru. Berbagai peristiwa seperti aksi penjarahan dan kerusuhan, insiden Trisakti, pendudukan gedung DPR/MPR, hingga mundurnya Presiden ke-2 RI Presiden Soeharto adalah realitas sejarah yang mengiringi akhir era Orde Baru.
Catatan Litbang Surabaya Pagi, pada tanggal 4 hingga 8 Mei 1998, pemerintah membuat kebijakan menaikkan harga minyak 70 persen dan 300 persen untuk biaya listrik.
Sementara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin merajalela. Hal ini membuat rakyat Indonesia marah, dan mulai menggelar demonstrasi melawan dan menuntut pemerintah melakukan reformasi.
Pada 12 Mei 1998, mahasiswa dari sejumlah kampus yang berkumpul di Universitas Trisakti mendesak berdemonstrasi di luar kampus. Gelombang unjuk rasa 12 Mei 1998 menandai era reformasi yang berujung tragedi.
Peristiwa ini menyisakan beban sejarah.
Saat ini dicatat ada kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) termasuk orang hilang, perampokan, penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Dan sampai kini masih belum menemukan titik terang. Dua peristiwa skala nasional seperti Tragedi 1965 dan Peristiwa 1998, juga tak lepas dari keterlibatan militer.
***
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) Juli 2024, harga beras eceran naik atau mengalami inflasi 11,88 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada Juni 2024. Sedangkan, harga beras grosir naik 10,87 persen (yoy) pada periode yang sama.
Sehingga pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2024 mengalami perlambatan dibandingkan kuartal sebelumnya. Pada kuartal II-2024 angkanya 5,05 persen jauh di bawah kuartal I-2024 sebesar 5,11 persen.
Ini membuat kelas menengah semakin kejepit?
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS yang diolah Bank Mandiri dalam Daily Economic and Market (Juli 2024) menunjukkan kelas menengah mengalami turun kasta.
Pada 2023, proporsi kelas menengah dalam struktur penduduk Indonesia hanya 17,44 persen. Anjlok jika dibandingkan proporsi 2019 yang mencapai 21,45 persen.
Di sisi lain, pemerintah Jokowi, justru menyiapkan dana jumbo untuk perhelatan HUT ke-79 RI yang dipusatkan di dua kota yakni Jakarta dan IBu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur (Kaltim).
Baca Juga: Menyorot Gaya Hidup Bobby, Kaesang dan Paus
Padahal kelompok menengah banyak yang turun kelas menjadi nyaris miskin, pemerintah malah boros anggaran untuk memperingati HUT ke-79 RI di Ibu Kota Nusantara (IKN), KalimantanTimur (Kaltim).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad mengatakan, konsumsi rumah tangga dari kelompok menengah juga anjlok. Padahal, kontribusi kelas ini cukup signifikan terhadap pertumbuhan. .
“Konsumsi Rumah Tangga masih menjadi penopang ekonomi nasional dengan kontribusi 54-57 persen. Oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat khususnya kelas menengah yang semakin melemah,” kata Tauhid, Jakarta, dikutip Rabu (7/8/2024).
Apalagi, kata dia, kelompok masyarakat menengah sangat minim insentif dan jaring pengaman dari pemerintah. Tak ubahnya anak tiri, namun kini rentan menjadi penerima bantuan sosial (bansos).
Tauhid, menyebut bak langit dan bumi jika dibandingkan dengan kelas atas yang punya simpanan jumbo.
***
Indikasi kondisi ekonomi kelas menengah di Indonesia mulai tertekan, tercermin dari penjualan barang-barang bertahan lama atau durable goods yang anjlok drastis. Kondisi ini menimbulkan ancaman serius di balik melemahnya daya beli masyarakat kelas menengah.
Demikian disampaikan Ekonom Senior yang juga mantan Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri.
"Saya sudah sampaikan concern saya mengenai tekanan terhadap daya beli kelas menengah. Tampaknya concern saya mulai terlihat," ujar Chatib Basri dikutip dari akun X @ChatibBasri, Selasa (26/3/2024).
Pernyataan ini, dia sampaikan mengomentari sorotan khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani terhadap penjualan motor dan mobil sebagai durable goods yang turun tajam pada awal-awal tahun ini.
Padahal, menurut Laporan Bank Dunia ”Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class”, kelas menengah di Indonesia tumbuh 10 persen setiap tahunnya selama periode 2002-2016. Ibaratnya, satu dari setiap lima orang Indonesia saat itu adalah bagian dari kelas menengah. Bank Dunia mengidentifikasi kelas menengah di Indonesia sebagai orang yang pengeluarannya berkisar Rp 1,2 juta sampai Rp 6 juta dalam sebulan.
Baca Juga: Pengurus Tandingan Sindiran KH Ma'ruf Amin
Ekonom ini heran saat jumlah kelas menengah di Indonesia terus meningkat. Namun, status ekonominya tanggung, alias tidak miskin tetapi tidak kaya. Ini yang membuat mereka nyaris terabaikan dan rentan kembali jatuh miskin.
Komisaris Utama Bank Mandiri ini menceritakan pada September 2023 lalu sempat satu forum dengan mantan Presiden Chile, Michelle Bachelet di Harvard Ministerial Forum di Harvard University.
Michelle saat itu bercerita tentang kemampuan negaranya mampu mereformasi perekonomian secara gemilang dengan mengurus kalangan masyarakat miskin. Namun krisis sosial tetap terjadi yang nyaris menyebabkan revolusi di negara itu.
Chatib bilang krisis di Chile yang dijuluki The Chilean Paradox oleh Ekonom asal Amerika Serikat Sebastian Edwards terjadi ketika kondisi ekobomi negara itu sedang bagus-bagusnya. Chile merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Negara kaya minyak itu juga berhasil menurunkan kemiskinan dari 53% menjadi 6%. "Lebih baik dari Indonesia," ujar dia.
Meski dengan semua pencapaian itu, pada Oktober 2019 meletus kerusuhan sosial yang hampir berujung pada revolusi. Kerusuhan tersebut dimotori oleh kelas menengah Chile yang merasa tidak puas dengan pemerintahan.
***
Kelompok masyarakat kelas menengah di Surabaya, yang saya pantau sebagian besar masih harus hidup pas-pasan setiap hari. Pendapatannya cenderung lebih kecil dari pengeluaran, sehingga penghasilan mereka sering kali minus setiap bulannya.
Hasil liputan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menunjukkan bahwa rata-rata gaji kelas menengah tetap minus, yaitu diperkirakan sebesar Rp 118.986 pada tahun 2030 dan Rp 431.917 pada tahun 2045.
Salah satu dilema utama yang dihadapi oleh kelas menengah adalah ketidakseimbangan antara pendapatan dan biaya hidup.
Artinya, meskipun pendapatan mereka biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kelas bawah, biaya hidup yang terus meningkat, terutama di perkotaan seperti Surabaya. Ini membuat mereka harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan gaya hidup yang layak. Halo pak Jokowi? Program ekonomi apa untuk kelas menengah? ([email protected])
Editor : Moch Ilham