SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Aksi demo dari berbagai lapisan masyakat Kamis lalu (22/8), berlangsung secara spontan. Sampai komika, selegram dan artis, ikut menyampaikan aspirasinya. Suara mereka ternyata senada, hentikan revisi UU Pilkada. Banyak yang mengatakan gerakan politisi di DPR-RI, melakukan pembangkangan konstitusi. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat diakal-akali. Me ngakali dengan menggunakan brand baleg DPR.
Sepertinya, rakyat tidak membaca alur manuvernya. Anggota DPR yang mayoritas dari kelompok KIM plus, tampaknya melupakan diatas kekuasaan legislatif masih ada kekuasaan yang lebih dahsyat. Suara Tuhan. Dalam jargon politik suara Tuhan Suara rakyat, suara Tuhan. Suara rakyat dikeramatkan karena dianggap manunggal dengan suara Tuhan.
Baca Juga: Nyali KPK, Diuji Menantu Jokowi
Peran kaum intelektual dan terpelajar selama ini tak terlihat secara kasat mata. Kontribusi mereka secara ekonomi mungkin tak terlihat secara nyata. Tetapi, kebijaksanaan, pemikiran, ide, gagasan, ”pena”, serta suara mereka adalah sumber dan inspirasi bagi kemajuan, peradaban, kesejahteraan, inovasi, teknologi, dan tentu pertumbuhan ekonomi bangsa.
Apa yang akhir-akhir ini nyaring disuarakan oleh para profesor dan akademisi.
Sedangkan dalam sistem demokrasi muncul wacana Vox Populi, Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Dengan aksi demo minggu yang lalu, apakah masih berlaku, anggota DPR menyuarakan rakyat?
***
Dari berbagai reaksi sikap ulah anggota DPR-RI, saya mengambil pernyataan dari Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Titi Anggraini, mengatakan DPR harus memutuskan pembatalan itu secara tertulis untuk meyakinkan publik.
"Untuk memberikan keyakinan pada publik, hal itu jadi sangat penting. Sebab, masyarakat saat ini belum sepenuhnya percaya pada itikad baik DPR akibat pengabaian putusan MK yang mereka pertontonkan secara sengaja dan terang-terangan saat rapat Baleg yang lalu," kata Anggota Dewan Perludem, Titi Anggraini, kepada wartawan, Jumat (23/8/2024).
Titi menerangkan saat ini, masyarakat belum sepenuhnya percaya kepada DPR karena merevisi UU Pilkada usai putusan MK. Bagaimana pun, kata Titi, hal itu sudah menjadi memori kolektif publik yang tidak mudah dihilangkan.
Baca Juga: Menyorot Gaya Hidup Bobby, Kaesang dan Paus
Apa pernyataan Titi, ini bukan pukulan bagi DPR-RI yang kini dikuasai kelompok KIM plus.?
***
Menurut akal sehat saya, pernyataan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Titi Anggraini ini jelas menjungkirkan pidato pimpinan DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. Politisi Gerindra semula berkoar koar akan memplenokan revisi UU Pilkada, mendasak menegaskan revisi UU Pilkada batal disahkan. Pernyataan lisan ini masih dituntut agar menegaskan revisi UU Pilkada batal disahkan, dituangkan dalam penegasan tertulis di Paripurna DPR -RI.
Ini menunjukan sebagian rakyat meragukan kredibilitas lembaga legislatif yang kini dikuasai elite partai oligarki atau KIM plus. Akal sehat saya berbisik DPR telah terpuruk. Kepercayaan terhadap lembaga legislatif tergerus. Realitanya, DPR-RI sudah tak dipercaya sebagian besar rakyat.
Baca Juga: Pengurus Tandingan Sindiran KH Ma'ruf Amin
Apalagi sebelum ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menjadi lembaga negara yang paling rendah mendapat kepercayaan anak muda versi survei CSIS.
Center for Strategic and International Studies (CSIS) merilis survei bertajuk Pemilih Muda dan Pemilu 2024:
Survei yang dilakukan pada 8-13 Agustus 2022 ini menyasar penduduk Indonesia berusia 17-39 tahun yang dikategorikan sebagai pemilih muda. Dinyatakan lembaga yang paling tidak dipercaya atau yang paling rendah tingkat kepercayaannya adalah DPR RI dengan 56,5 persen.
Disadari atau tidak, perilaku buruk yang dilakukan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat minggu lalu berpotensi semakin menggerus kepercayaan publik. Citra DPR sebagai lembaga representasi publik mulai tak dijaga. Lama lama publik merasa tak butuh lembaga legislatif. Bisa bisa seperti tahun 1998 parlemen dibubarkan.
Akal sehat aksi demo berbagai elemen minggu lalu cenderung tidak mendukung upaya penguatan DPR sebagai lembaga yang lebih berintegritas. Padahal, penguatan integritas itu mesti terus dilakukan agar kepercayaan publik bisa meningkat. Dengan makin tergerus, tampaknya, upaya-upaya peningkatan integritas itu tak hanya dilakukan DPR secara institusi, tetapi juga mesti dilakukan oleh setiap anggota.
Nah! Kalau kepercayaannya sudah tergerus, apakah rakyat masih berharap pada karya karya pembuatan UU lainnya? Wait and see ([email protected])
Editor : Moch Ilham