SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Presenter televisi Tina Talisa, kini menjadi salah satu Staf Khusus Wakil Presiden. Penunjukan ini diungkapkan Tina melalui akun media sosialnya, Jumat (6/12), yang disertai unggahan foto bersama Gibran, di Istana Wakil Presiden.
"Merupakan kehormatan besar bagi saya untuk memulai pengabdian sebagai staf khusus wakil presiden," tulis Tina dalam unggahannya di Instagram @tina_talisa.
Baca Juga: Patrick Kluivert, Keturunan Suriname-Curacao, Dipacaki Indonesia
Tina menjelaskan penugasan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 83/M Tahun 2024, tertanggal 29 November 2024, tentang Pengangkatan Staf Khusus Wakil Presiden Periode Tahun 2024-2029.
Dalam kapasitasnya sebagai staf khusus, Tina ditugaskan menangani isu-isu strategis yang berkaitan dengan Asta Cita. Mulai dari pengembangan UMKM, digitalisasi, stunting, ekonomi, dan keuangan syariah.
Tugas ini, menurut Tina, merupakan lanjutan dari kontribusinya selama menjadi staf khusus Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sejak 2024.
Tina Talisa, bukanlah nama baru di dunia publik. Sebelum meniti karier di pemerintahan, Tina lebih dulu dikenal sebagai presenter televisi.
Dia memulai debutnya di Trans TV dengan membawakan program Reportase Sore. Sebelumnya, pada 2007, ia bergabung dengan Lativi, yang kemudian berganti nama menjadi tvOne. Ia menjadi pembawa acara Apa Kabar Indonesia Malam.
Pada 2011, Tina bergabung dengan Indosiar, lalu melanjutkan perjalanan kariernya di NET TV pada 2015. Selain dikenal sebagai jurnalis, Tina juga memiliki latar belakang pendidikan yang kuat, sehingga kerap dipercaya mengemban tugas di bidang pemerintahan.
Baru pada 2020, Tina bergabung dengan Kementerian Investasi sebagai staf khusus, dan melanjutkan perannya saat Bahlil Lahadalia menjabat sebagai Menteri ESDM.
***
Juga ada Meutya Viada Hafid. Meutya Hafid, dikenal Jurnalis Lapangan yang kini jadi Menteri Komunikasi dan Digital.
Nama Meutya Hafid diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Minggu (20/10/2024) sebagai Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia. Sebelumnya, mantan jurnalis ini menjabat sebagai Ketua Komisi I DPR yang membidangi komunikasi dan informatika, pertahanan, luar negeri dan intelijen.
Meutya Hafid, dicatat terkena penyandaraan, saat meliput Pemilu di Irak. Sejak saat itu, ia semakin mengokohkan namanya di dunia media. Berbekal pengalaman jurnalis dan popularitas, ia baru terjun politik. Jatuh bangun ia alami bersama Partai Golkar. Alhasil, ia menjadi anggota DPR RI.
Perempuan kelahiran Bandung, Jawa Barat, 3 Mei 1978 ini adalah anak dari pasangan Anwar Hafid dan Metty Hafid. Meski lahir di kota kembang, Meutya besar di luar Kota Bandung.
Setelah menyelesaikan kuliahnya di Australia, Meutya memutuskan untuk kembali ke tanah air Indonesia dan menjadi reporter di Metro TV. Dalam menjalani tugas jurnalistik, ia banyak mengalami perlakuan yang mengerikan.
Pada tahun 2005, ia diutus oleh atasannya untuk meliput pemilu di Irak bersama dengan satu juru kamera Budiyanto. Ternyata kepergiannya ke Irak saat itu membuahkan sebuah cerita yang sulit dilupakan oleh dirinya dan Budiyanto. Ia sempat diculik dan disandera oleh sekelompok tentara Mujahidin bersenjata di Irak dan ditahan selama 3 hari dalam keadaan selamat.
Pada tahun 2007, ia membuat buku yang ia tulis sendiri yaitu 168 Jam dalam Sandera; Memoar Jurnalis Indonesia yang Disandera di Irak.
Pada 11 Oktober 2007, pecinta yoga dan renang ini terpilih sebagai pemenang Penghargaan Jurnalistik Elizabeth O'Neill dari pemerintah Australia.
Setelah 7 tahun mengabdi di bidang jurnalistik, Meutya menikah pada umur 31 dengan Avian Eddy Putra Tumengkol seorang pemimpin redaksi Waspada Online. Namun tali percintaan mereka harus putus setahun kemudian.
Nasib baik Meutya Hafid tak harus menunggu lama. Pada tahun 2010 juga, ia justru dilantik menjadi anggota DPR antar waktu dari Partai Golkar menggantikan Burhanudin Napitupulu, yang meninggal dunia. Meutya ditempakan di komisi XI (bidang Keuangan dan Perbankan). Di sana ia hanya bertahan 17 bulan, setelah itu ia dipindahkan ke Komisi I (bidang Pertahanan, Luar Negeri, Komunikasi, dan Informasi). Komisi inilah yang sangat cocok dengan latar belakangnya di media. Ia pun menuntaskannya hingga periode 2014.
Pada pemilu berikutnya, ia maju kembali menjadi anggota DPR dari Golkar. Kali ini nasib baik menghampirinya. Dia terpilih sebagai anggota DPR RI dari daerah pemilihan Sumatera Utara untuk periode 2014-2019.
Mantan wartawan perang Metro TV, Meutya Hafid, disebut-sebut disodorkan Partai Golkar untuk menjadi Menkominfo dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Baca Juga: KPK Diolok-olok Megawati, Malah Defend
***
Fenomena Jurnalis Jadi pejabat seperti Tina dan Mutya, akal sehat saya memotret mereka berkarir melalui tahapan tahapan mendekati realita.
Dalam buku The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diajarkan wartawan harus independen dari nara sumbernya. Independensi ini mutlak diperlukan agar si wartawan bisa meliput dengan tenang serta dapat membuat penilaian dengan tanpa beban.
Independensi ini terutama penting terkait dari aktor-aktor yang sedang berkuasa, termasuk politisi, jenderal, birokrat dan pengusaha.
Namun wartawan juga harus independen dari orang-orang biasa, yang kekuasaannya relatif kecil, seperti pedagang kaki lima, tukang becak, penduduk desa, warga kota dan sebagainya. Namun biasanya ini bukan masalah.
Bill Moyers, host acara televisi "Bill Moyers on PBS" mengatakan, "I had to learn all over again that what's important for the journalist is not how close you are to power but how close you are to reality."
Pesan moralnya, lebih penting untuk wartawan dekat dengan realitas daripada dekat dengan kekuasaan.
Ketika menemani Bill Kovach berjalan ke Medan, Surabaya, Jogjakarta, Bali dan Jakarta pada Desember 2003, penerjemah buku ini sempat bertanya kepada Kovach, "Apa elemen terpenting dari sembilan elemen jurnalisme untuk wartawan Indonesia?"
Kovach tak ragu menjawab, "Independensi."
Kovach melihat bahaya paling besar untuk kebebasan pers, yang baru muncul di Indonesia sesudah Presiden Soeharto mundur Mei 1998, adalah kedekatan wartawan dengan penguasa.
Kesimpulannya tidaklah perlu mendorong wartawan untuk "dekat" dengan kekuasaan.
Baca Juga: Harga Cabai Naik, Perlu Diperdebatkan Pemicunya
Saya pun percaya makin bermutu jurnalisme di sebuah media dalam suatu masyarakat, makin bermutu pula masyarakat itu. Artinya kalau kita mau mutu masyarakat kita meningkat, kita harus belajar "dekat" dengan realita masyarakat.
Terkait dengan hal tersebut muncul masalah baru dengan tafsir objektivitas. Kata kunci kepada wartawan dan media agar independen dalam peliputan berarti ada masalah dengan objektivitas.
Akal sehat saya berbisik, jika kita membicarakan objektivitas, yang layak kita cermati adalah bagaimana sandaran objektivitas itu sendiri?
Ini penting mengingat tafsir objektivitas bisa multi-interpretasi, tergantung sudut pandang dan kepentingan masing-masing wartawan dan media, bahkan masyarakat sendiri.
Sandaran objektivitas akal sehat saya mengakui sebenarnya ada pada fakta. Mengingat, sesuatu bisa disebut fakta karena ada penilaian seseorang. Van Peursen (1990) pernah mengatakan bahwa fakta itu diasalkan dari “penilaian”.
Artinya, fakta itu ada karena dinilai seseorang. Melarang wartawan masuk bursa calon kepala daerah memang bagus, tetapi terlalu berharap besar benar-benar independen dari kepentingan media tidaklah mudah. Jangan-jangan independensi itu ditafsirkan tidak mengkritik kebijakan pemerintah? Ini keliru.
Mengingat dalam kehidupan demokrasi, pers memiliki peran besar sebagai alat kontrol sosial, baik untuk pemerintah atau masyarakat.
Dalam UU No 40 tahun 1999, Pers bebas mengkritik berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah maupun lembaga legislatif dan yudikatif. Artinya, pers berperan mengawasi jika ada pelanggaran dan memberikan koreksi atas kesalahan dari penguasa.
Pesan Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers yaitu pasal 3 ayat 1, pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Saya ingat pesan ahli pers, AJ Liebling. Wartawan dari New Yorker ini menulis “Freedom of the press belongs to those who own one" pada tahun 1960. Tulisannya tentang teori trikotomi, yakni pers yang sehat mengikuti prinsip tiga belahan: belahan ideal membela kebenaran, belahan kedua adalah SDM, dan belahan ekonomi.
“Ketiga belahan ini harus seimbang. Pembesaran dan pengecilan pada satu bagian akan berpengaruh pada belahan lainnya,” ingatmya.
Jadi Tina dan Mutya, bisa jadi pejabat tak bisa abaikan dukungan perusahaan pers tempatnya berkarir. Tanpa peran perusahaan pers yang menaunginya, akal sehat saya bilang, tak mungkin ujug -ujug, keduanya bisa populer sebagai jurnalis handal. ([email protected])
Editor : Moch Ilham