Home / CatatanHukum : Surat Terbuka untuk Gubernur Soekarwo, Gus Ipul, K

Jatimnomics Pak De, untuk Pecahkan Keadilan Sosial Bidang Ekonomi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Sabtu, 09 Des 2017 00:25 WIB

Jatimnomics Pak De, untuk Pecahkan Keadilan Sosial Bidang Ekonomi

Pak De Karwo, Khofifah dan Gus Ipul, Dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah dinyatakan Gubernur memiliki wewenang sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah provinsi. Wewenang ini untuk menciptakan sinergi dengan Pemerintah Pusat. Sekarang pada era pemerintahan Jokowi, otomatis dalam melaksanakan pembangunan daerah, Gubernur Pak De Karwo dan penerusnya (Khofifah atau Gus Ipul) memiliki beban untuk mengikuti (berpedoman) visi-misi Presiden Jokowi yang tertuang pada Nawacita. Dalam Nawacita ditulis, Presiden memberikan arah mewujudkan masyarakat yang mandiri, berdaulat dan berkepribadian. Nah, kini Gubernur Jatim 2018 ke depan, mesti membangun kesamaan visi-misi dan langkah-langkah kerja nyata untuk rakyat. Artinya, pembangunan di daerah dapat memberikan dampak lebih kuat, sepanjang pembangunan di sebuah provinsi tidak dilakukan secara sendiri-sendiri. Nah, provinsi Jatim, sejak Pak De Karwo menjadi Gubernur telah menerapkan dua konsep selama dua periodisasi menjadi kepala daerah di Jatim. Periode pertama, setelah Pilkada langsung tahun 2008, Pak De Karwo, menerapkan policy “APBD untuk Rakyat”. Baru pada periode keterpilihan yang kedua tahun 2013, Pak De Karwo, mengeluarkan konsep ekonomi mengatasi krisis ekonomi global, “Jatimnomics”. Bisa jadi pilihan Pak De Karwo sebagai Ketua DPD Demokrat merupakan bagian dari perpanjangan pusat. Informasi yang saya dengar, SBY, Ketum DPP Partai Demokrat (PD) tidak berposisi oposisi terhadap pemerintahan Jokowi. Menggunakan adagium politik, tidak ada lawan abadi, kecuali kepentingan, maka pilihan PD mengusung Khofifah, daripada Gus Ipul, bagian dari adagium politik. Khofifah yang dua kali head to head dengan KarSa, kini sahabat dalam perjuangan merebut jabatan politik, Gubernur Jatim 2018-2023. Ini sah sah saja dalam tataran politik praktis. Wajar, bila Gus Ipul, “pangkatnya” cukup seorang sohib. Dalam bahasa pergaulan, sohib itu pertemanan secara sosiologis, tidak dalam arti politis dan ekonomis. Sementara posisi Khofifah yang pernah menjadi tim sukses Jokowi dalam Pilpres 2014, status sosial bisa double kader politik dan ekonomi. Ini namanya, kader sesungguhnya Partai Demokrat bersama Emil Dardak, cawagub PD yang masih Bupati Trenggalek. Pak De Karwo, Khofifah dan Gus Ipul, Saya mungkin satu dari sekian banyak wartawan yang telah membaca konsep ekonomi Jatimnomicnya Pak De Karwo. Serapan yang saya peroleh, konsep Jatimnomicsnya menawarkan cara atau strategi ekonomi ( grand desain) untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda dunia, termasuk Indonesia yang didalamnya terdapat provinsi Jawa Timur. Dalam Jatimnomicnya, Pak De Karwo telah memotret kondisi sosial ekonomi rakyat kecil (Marhaen) yang berbeda dengan rakyat kelas atas. Dalam diskusi di ruang kerjanya, beberapa kali Pak De Karwo prihatin dengan makin tingginya kelas sosial kelompok tertentu yang mudah mengakses ke lembaga keuangan, dibandingkan dengan orang-orang di kelas sosial di bawahnya. Rakyat kecil sampai Jatimnomic disiapkan pada tahun 2015, masih dianggap bukan warga Negara yang bankable atau tidak punya akses mengajukan kredit. Padahal, tahun 2015, pemerintahan SBY telah mengeluarkan kebijakan kredit murah dengan jaminan kecil yaitu KUR (Kredit Usaha Rakyat). Konsep ilmiah yang ada kepraktisannya untuk kalangan perbankan dan lembaga non bank ( political will) ini menurut saya perpaduan pikiran Gubernur yang pro-rakyat ( bukan sembarang gubernur), pimpinan bank yang masih concern membantu UMKM, bukan sekedar corporate, dan birokrat yang sejiwa dengan pemikiran Bung Karno terkait keadilan sosial. Saya mengategorikan kelompok, karena konsep Jatimnomic merupakan salah satu langkah strategis dalam menghadapi krisis ekonomi suatu bangsa yang dikoyak-koyak oleh kapitalis global. Mengingat, didalam Jatimnomic terdapat strategi pembangunan ekonomi yang fokusnya memperkuat tiga aspek utama kegiatan bisnis riil umumnya yaitu 1. strategi peningkatan produksi (untuk menghasilkan daya saing produk, baik skala UMKM dan besar), 2. strategi pembiayaan yang kompetitif (melibatkan linkage program Pemprov-Bank Jatim-BPR Kab/Kota), dan 3. strategi pemasaran yang kompetitif. Dalam pilar ke 3 ini Pemprov Jatim membuat policy membuka 26 Kantor Perwakilan Dagang se Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Maka itu, semua pilar difokuskan untuk mendukung perdagangan komoditi antar Provinsi. Tiga pilar ini yang oleh suami mbak Nina, dijuluki trisula strategi pembangunan menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sekaligus menghadapi krisis global. Makanya, strategi pengelolaan terhadap industri kecil, khususnya UMKM, titik beratnya pada komitmen Pemprov Jatim dalam melakukan stimulasi permodalan. Apakah ada program kesinambungan penanganan setelah Pak De selesai mengabdi menjadi Gubernur Jatim, awal 2018. Mengingat program kesinambungan sustainable menurut World Commision Environmental and Development (WCED) merupakan pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Soemiarno,2010:105). Konsekuensinya, Pemprov Jatim menganggarkan APBD sebesar Rp 400 miliar. untuk stimulus bagi UMKM. Dana sebesar Rp. 400 miliar disalurkan kepada Bank Jatim dengan bunga 2% per tahun. Lalu, Bank Jatim berperan menjadi APEX Bank untuk BPR di Jatim dengan suku bunga kredit efektif sebesar 6% per tahun. Kemudian BPR, menyalurkan dana kepada UMKM dengan suku bunga satu digit per tahun. Model Jatimnomic seperti ini, Pak De memberdayakan negara berperan untuk membantu UMKM dan koperasi. Goalnya, UMK dan koperasi dipacu bersaing dalam pusaran perdagangan internasional. Dari konsep ini Pak De birokrat penggagas. Pelakunya tetap yaitu Pemprov Jatim. Pertanyaannya, siapa diantara cagub Khofifah dan cagub Gus Ipul, yang mau melakukan kesinambungan dengan program pembangunan ekonomi kerakyatan yang digagas Pak De Karwo?. Apakah Khofifah atau Gus Ipul yang tertantang meneruskan bahkan mengembangkan dengan berbagai terobosan keadilan sosial bidang ekonomi yang langsung menyengat usaha kecil-menengah?. Menyelami konsep Jatimnomics, saya mencatat ini sebuah konsep ekonomi untuk mengatasi Krisis Ekonomi? Siapa diantara cagub Khofifah atau Gus Ipul, yang layak dikategorikan kader asli atau sesungguhnya dari Pak De Karwo? dan siapa yang sekedar pengikut atau follower Pak De Karwo. Sejarah yang akan mencatat. Saya menilai Gubernur berikutnya mesti bagian dari gubernur sekarang. Bagian menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Dan sebenarnya, pembangunan berkesinambungan secara hukum telah dituangkan dalam Kepres No,13 tahun 1989 tentang rencana pembangunan lima tahun (repelita) dan TAP MPR No.II/MPR/1993 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun beberapa pihak, selama ini ada yang merasa belum mengetahui makna pembangunan berkelanjutan. Berpijak pada ketentuan diatas, menurut saya konsep ekonomi kerakyatan untuk memecahkan ketidakadilan sosial di bidang ekonomi, Jatimnomic pantas ditindaklanjuti oleh Gubernur 2018. Tentu dalam aspek pembangunan yang berkelanjutan di provinsi Jawa Timur untuk memecahkan masalah keadilan sosial bidang ekonomi rakyat di provinsi Jawa Timur. Pak De Karwo, Khofifah dan Gus Ipul, Saya acungi jempol kepada Pak De Karwo, yaitu konsepnya telah dirancang untuk akrab dengan pasar global. Makanya, strategi Jatimnomic dilakukan dengan menyiapkan kawasan ekonomi yang kompetitif. Antara lain menyiapkan kebijakan proteksi terhadap konsumen, termasuk hak kekayaan intelektual (HAKI), perpajakan dan penguatan e-commerce. Dengan sebuah strategi yang sudah familier dengan pasar global, jatimnomic, sebenarnya bukan sekedar program, tapi komitmen seorang Gubernur Jatim yang peka terhadap perkembangan pasar lokal, nasional dan internasional. Konsep Jatimnomic ini menggelitik saya mengapa sampai Indonesia merdeka yang ke 72 tahun, ketidakadilan sosial bidang ekonomi makin mengangah, sehingga kemiskinan yang dijumpai bukan sekedar orang miskin karena kurang effort, tapi kemiskinan yang diciptakan oleh pengusaha fasilitas yang menguasai akses perbankan dan pengelolaan sumber daya alam di semua sektor. Dalam pandangan saya, Jatimnomics bukan sekedar konsep ekonomi dari seorang Gubernur Soekarwo. Jatimnomics lebih tepat saya namai cita-cita Soekarwo untuk negeri ini, dan untuk bangsa ini sekarang dan akan datang. Bagi saya sebuah cita-cita ada dua, tujuan hidup dan impian akan masa depannya. Hasil menyerap konsep Jatimnomic, kesan yang saya serap, Jatimnomics memiliki tujuan hidup Pak De Karwo, si pencetusnya. Maka cita-cita Jatimnomic bukan diberlakukan saat Pakde Karwo menjabat Gubernur, cita-citanya adalah sebuah impian untuk membakar semangatnya agar dapat terus melangkah maju mengatasi kesenjangan sosial bidang ekonomi. Jadi, menurut akal sehat saya, jatimnomic dapat dijadikan I’tibar (pembelajaran) semua pihak termasuk mereka yang kini mencagubkan dalam Pilkada serentak 2018. Pak De Karwo, Khofifah dan Gus Ipul, Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sudah saya pelajari sejak SD (Sekolah Dasar). Sila ini menunjukkan bahwa manusia Indonesia disadarkan oleh Soekarno, pencetus Pancasila, bahwa hak dan kewajiban yang sama dimaksudkan untuk menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat Indonesia, tanpa Sara. Sejak tahun 1966 (SD) Keadilan sosial sudah melekat pada pikiran saya. Maklum, keadilan sosial saya pahami benar telah memilik unsur pemerataan, persamaan dan kebebasan yang bersifat komunal. Jujur, cita-cita keadilan sosial, sebagaimana termaktub di dalam Pancasila dan UUD 1945, masih jauh dari kenyataan. Proses penyelenggaraan negara juga tak kunjung mengarah pada cita-cita tersebut. Menginjak saya dewasa sampai memasuki kepala 6, masalah ketidakadilan masih membelit hampir segala aspek kehidupan rakyat Indonesia, dari urusan ekonomi, politik, sosial-budaya, dan hukum. Ketimpangan sosial juga saya amati umumnya berasal dari efek tekanan struktural. Maka, teman-teman di LBH menamainya dengan istilah kemiskinan struktural. Kemiskinan ini ada yang disebabkan oleh kesenjangan kebijakan-kebijakan. Bahkan sejumlah ahli menyatakan, kemiskinan struktural dialami suatu golongan masyarakat yang tidak dapat mengakses sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Catatan cagub Khofifah, dari tahun ke tahun angka kemiskinan pedesaan di Jatim tertinggi dan nomor satu se-Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan kenaikan garis kemiskinan Jatim di pedesaan selalu lebih tinggi dibanding perkotaan. Pada periode September 2014 hingga Maret 2015 tercatat garis kemiskinan di pedesaan Jatim naik sebesar 6,49 persen, sedangkan di perkotaan hanya naik 3,93 persen. Kemudian, sepanjang periode September 2016 hingga Maret 2017 penduduk miskin di Jatim hanya turun 0,01 persen. Penyebab tingkat kemiskinan di Jatim adalah lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Diperkirakan ketimpangan ekonomi masih terus melebar di Jatim. Penyebab terbesar, karena kue ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir kapitalis: asing dan domestik. Ini terlihat dari data yang dilansir oleh Perkumpulan Prakarsa, bahwa kekayaan 40 orang terkaya Indonesia sebesar Rp680 Triliun (71,3 miliar USD) setara dengan 10,33% PDB. Indeks ini yang mengukur tingkat kesenjangan pendapatan yang terus meningkat. Ada lagi temuan tentang ketidakadilan di lapangan ekonomi. Seperti ketimpangan distribusi pendapatan dan penguasaan sumber daya. Tanah, misalnya, sebagian besar kini masih dikuasai oleh pengembang seperti Pakuwon, Citraland, korporasi asing dan domestik. Begitu pula dengan pengelolaan kekayaan alam, termasuk tambang. Pemerintah sejauh ini lebih senang mengobral ijin kepada korporasi besar ketimbang kepada koperasi atau tambang-tambang rakyat. Padahal, jika diberdayakan, tambang-tambang rakyat itu bisa berkembang. Seperti tambang pasir di Lumajang. ([email protected],bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU