Home / CatatanHukum : Surat Terbuka untuk Gubernur Soekarwo, Gus Ipul, K

NU Struktural (Gus Ipul) vs NU Kultural (Khofifah), Pemenangnya ...

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 12 Des 2017 23:49 WIB

NU Struktural (Gus Ipul) vs NU Kultural (Khofifah), Pemenangnya ...

Calon Gubernur 2018 Jatim, Selasa siang kemarin, saya bersama sopir, andok ( makan siang) bakso di Jl. Nias Surabaya. Meja sebelah saya, ada dialog dua mahasiswa yang mengandung persepsi demokrasi pilkada Gubernur Jatim Juni 2018 mendatang. Ada pemikiran, tindakan, perilaku, strategi dan taktik yang dibicarakan. Asyik juga dialognya. Ada selipan benturan, otot-ototan saling mempertahankan jagoannya. Maklum, ternyata yang satu adalah simpatisan cagub Gus Ipul dan satu lagi pendukung cagub Khofifah. Mereka khawatir ada satu cagub yang sekarang ini sibuk “kampanye” mulai menghalalkan segala cara, pasang baliho dimana-mana. Ada yang menarik dari dialog warung kopian ini. Saya amati, dua-duanya yang memiliki hak memilih saling mengecoh dengan cara yang cerdas. Keduanya memilih bagas cagub dari NU mana yang paling mengerti kebutuhan rakyat kecil tentang papan, sandang dan pangan. Cagub yang tak pernah bersentuhan dengan masalah kemiskinan, dituding hanya penampakan di publik seolah-olah tahu tentang kemiskinan. Ternyata dialog dua mahasiswa makin lama, terasa cair. Mereka sama-sama menyatakan, soal mengatasi kemiskinan pekerjaannya Khofifah, bukan Gus Ipul. Cara-cara cerdas calon pemilih didiologkan suasana santai, perlu dihidupkan. Dalam diolog itu, ada yang menertawakan diri sendiri dan mengejek dengan santun calon pemilih yang berbeda pendapat dan pilihan. Menariknya, tidak membuat yang diejek marah. Bahkan malah saling mengejek sambil senyum dan tawa. Ini dialog pemilih pemula yang rasional, meski awalnya tidak rasional, dan emosional. Ini canda menggelitik yang menjadi obrolan "warung kopi" yang jualan bakso. Calon Gubernur 2018 Jatim, Pengalaman Gus Ipul dalam politik praktis, sejauh yang saya serap, telah diakui kawan dan lawan politiknya . Wakil Gubernur Jatim ini tercatat pernah berkiprah di PDI Perjuangan maupun PKB. Di masa pemerintahan Gus Dur –Megawati, Gus Ipul memangku posisi anggota DPR dari PDI Perjuangan. Tapi pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Gus Ipul dipercaya menjabat sebagai Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Jabatan menteri ini diemban sejak Oktober 2004 hingga Mei 2007. Pria kelahiran Pasuruan (28 Agustus 1964) ini sekarang menjabat posisi Wakil Ketua PBNU. Menjelang Pilgub Jatim 2018, beberapa waktu lalu, keturunan pendiri pondok pesantren Denanyar Jombang ini mendapat dukungan dari 21 kiai sepuh. Berbeda dengan Khofifah, yang sama-sama kader NU. Kiprah Khofifah di dunia politik tidak kalah hebat dari Gus Ipul. Menteri Sosial ini dikenal sebagai politikus ulet, visioner, pantang menyerah, dan bersifat amanah. Sejak era Reformasi, Khofifah lekat dengan sebutan tokoh pembaharuan. Gus Ipul tak pernah menoreh prestasi apapun. Ini saya klarifikasi ke Pemprov Jatim maupun Google. Sementara, Khofifah, selama bertahun-tahun, dipercaya memimpin Muslimat NU. Badan Otonom (Banom) NU ini sukses mengelola rumah sakit, sekolah, universitas, maupun beragam kegiatan di sektor ekonomi. Demikian. pengajian Muslimat NU juga berjalan lancar dari tingkat pusat sampai di pelosok desa terpencil Perhitungan saya, Khofifah yang telah diusung Demokrat, pertarungan pilkada di Jatim akan sangat menarik. Sebab, pada dua periode, Khofifah kalah melawan Pakde Karwo. Mungkinkah ini pertanda Pakde Karwo pecah kongsi dengan Gus Ipul, untuk berlabuh ke mantan pesaingnya Khofifah Indar Parawansa. Maklum, di Pilgub Jawa Timur Juni 2018, masih diperhitungkan. Meskipun, Khofifah sudah dua kali kalah dalam pertarungan kursi kekuasaan di ujung kanan Pulau Jawa itu pada Pilgub Jatim 2008 dan 2014. Sekarang yang menjadi pertanyaan Khofifah kok merapat ke Partai Demokrat yang di Jawa Timur dipimpin oleh Pak De Karwo?. Saat ini, justru Gu Ipul tidak mau merangkul Partai Demokrat? Tapi ke PDIP. Ada apa sebenarnya? Inilah politik. Saya percaya para elitenya paham tentang adagium “Tak ada lawan yang sejati dan tak ada kawan yang abadi dalam pentas politik bangsa ini ”. Semua sudah mahfum bahwa politik sangat erat kaitannya dengan perebutan kekuasaan. kapan waktunya dan bagaimana pun caranya. Ketika sudah berbicara mengenai kapan dan bagaimana? etika politik mestinya perlu diperhitungkan. Artinya semua elite dapat menyimpulkan bahwa benar adagium tersebut terlahir bukan tanpa sebab. tapi lahir dengan proses yang begitu panjang. Bahkan penuh dengan fakta-fakta yang menguatkan yait tidak ada kawan yang abadi, kecuali kepentingan. Calon Gubernur 2018 Jatim, Sampai kini saya belum jelas, Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa, itu didorong agar kembali maju untuk yang ketiga kalinya atau nawaitunya. Meski demikian, dorongan agar perempuan kelahiran Surabaya itu maju pada Pilgub Jawa Timur 2018 terus mengalir. Misalnya, dukungan dari Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, KH Sholahudin Wahid (Gus Solah). Bahkan di Medsos, dukungan untuk Khofifah kian berlipat. Tak hanya dukungan dari Muslimat NU dan kelompok Nahdliyin lainnya, Ketua Umum PP Muslimat NU ini juga mulai mendapat energi dari PAN Muhammadiyah. Sekiranya, dengan PAN bisa bersatu, tentu akan menjadi kekuatan luar biasa pada Pemilihan Gubernur Jatim 2018. Dengan asumsi hanya dua pasang calon yang bertarung di Jatim maka akan terjadi pertarungan sangat ketat. Artinya, pertarungan dari sisi figur, dukungan partai, dan juga dukungan kultural (Khofifah) dan struktural (Gus Ipul) warga NU. Berdasarkan dukungan partai, secara matematis Gus Ipul-Anas saat ini cukup kuat dalam topangan PKB dan PDIP. Sebaliknya, dukungan Khofifah dari partai politik juga luar biasa. Mengacu pada dua kali pilkada Jatim yang dimenangkan pasangan Soekarwo-Saifullah membuktikan efektivitas parpol tidak begitu signifikan sebagai faktor elektoral. Akal sehat saya berkata, dari sisi partai saya berani menyatakan suara Gus Ipul-Anas, yang unggul, karena masih suram. Dalam analisis saya, ada kelemahan pasangan Gus Ipul-Anas yaitu karena keduanya sama-sama mewakili figur yang merepresentasikan wilayah Tapal Kuda dan dari NU. Kemudian dari sisi kultural NU, kedua figur itu sama-sama tak mengakar, kecuali strukturalnya. Hal baru, Gus Ipul didukung kiai khos, di sisi lain Khofifah juga mendapatkan dukungan kuat dari kiai kampung dan kiai Gus Solah. Sampai semalam, yang pasti pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018 dipastikan hanya mempertemukan dua calon kuat yang sama-sama kader Nahdlatul Ulama, yakni Khofifah Indar Parawansa dan Saifullah Yusuf alias Gus Ipul. Tapi secara organisatoris, NU tetap membebaskan nahdliyin memutuskan pilihan politiknya masing-masing. Sejumlah kiai di pesantren Sidoarjo, Blitar, Kediri dan Malang, menyatakan kekuatan Khofifah di Jatim sebagai Ketua Umum Muslimat NU mempunyai kemampuan untuk melakukan konsolidasi yang tak bisa disepelekan Gus Ipul. Ini modal sosial dan politik yang dimiliki Khofifah sebagai Ketua Umum Muslimat NU, sekaligus Menteri Sosial . Dalam satu tahun terakhir ini modal-modal sosial ini telah dikonsolidasikan dan dikombinasikan dengan kekuatan politik yang dimiliki partai politik pendukungnya, Golkar, Demokrat, NasDem, Hanura dan PPP. Nah, dengan Khofifah yang dekat dengan almarhum KH A Hasyim Muzadi, makin kuat atributnya sebagai NU Kultural. Sedang Gus Ipul, yang sejauh ini lebih banyak di kepengurusan NU dan Ansor, sehingga sering dipanggil NU struktural. Apalagi setelah polemik struktural dan kultural berkembang, muncul aliansi taktis yang mengatasnamakan ulama sepuh. Kelompok ini dimotori KH A Musthofa Bisri alias Gus Mus. Bahkan kelompok sepuh ini berbicara keras. Termasuk rencana kenaikan KH Hasyim Muzadi di panggung rais Aam, meski tak langsung tunjuk hidung. Rais aam itu maqam-nya sesepuh NU. Dalam pandangan saya, Orang - orang NU yang saya serap sampai akhir November 2017, antara Gus Ipul dan Khofifah sudah menjadi musuh bebuyutan. Bahkan dalam dua periode yang lalu. Gus Ipul wakil gubernur incumbent sedangkan Khofifah menteri. Malahan sejak Oktober 2017 lalu, hampir semua lembaga survei mengumumkan bahwa elektabilitas Gus Ipul sudah mentok dan popularitas sudah di puncaknya. Kini tinggal tren penurunan. Sedangkan Khofifah, belum kampanye seaktif Gus Ipul. Nah dalam kapasitas Mensos dan Ketua Umum PP Muslimat, Khofifah memiliki daya tarik luar biasa. Apalagi Muhammadiyah dan PAN, mempublikasikan akan merapat ke Khofifah. Sebagai NU kultural, Khofifah yang empat kali memimpin PP Muslimat memiliki anggota masyarakat (perempuan) di pedesaan. Mereka adalah perempuan desa tanpa pandang bulu asal beragama Islam. Dalam kalkulasi sosiologis, kenyataan ini menjadikan Muslimat memiliki "keterlekatan" dengan struktur sosial pedesaan. Termasuk menjadikan Muslimat juga sangat dekat dengan permasalahan bahkan "lekat" dengan beragam potensi pedesaan yang kemudian menjadi sumber modal sosial. Maka itu, di desa-desa di Jatim, bahwa Muslimat NU sering kali "dianggap" seperti organisasi "pengajian Ibu-Ibu". Selain itu, Muslimat NU yang merupakan badan otonom NU bekerja sama dengan lembaga dan badan otonom lain untuk menjalankan program tersebut, seperti dengan Lembaga Pendidikan Maarif NU, Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU, Lembaga Kesehatan NU, Ansor dan lainnya. Secara garis besar, jaringan-jaringan tersebut meliputi antara lain jaringan pesantren. Bahan sebagian besar pengurus Muslimat NU adalah pengasuh pesantren. Mereka memiliki santri yang juga kelak menjadi kader-kader dalam menjalankan misi dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Dalam catatan yang saya miliki jumlah anggota NU se Indonesia mencapai 22 juta orang dengan identitas Muslimat NU. Dengan pemilahan NU struktural dan NU kultural ini, siapa yang bakal jadi pemenang Pilgub Jatim 2018 kelak? Bisa jadi ditentukan oleh truf-truf canggih Pak De Karwo, yang dekat dengan kiai, tokoh parpol, akademisi, budayawan, seniman sampai kaum marhaen, yang pernah saya jumpai nunggu di ruang tamu Gubernur Jatim.([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU