Home / CatatanHukum : Surat Terbuka untuk Gubernur Soekarwo, Gus Ipul, K

Anas-Emil, Perlu Ajarkan Politik Praktis ke Pemilih Milenial

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 15 Des 2017 00:32 WIB

Anas-Emil, Perlu Ajarkan Politik Praktis ke Pemilih Milenial

Calon Gubernur dan Cawagub Jatim 2018, Abdullah Azwar Anas, tahun depan berusia 44 tahun ( lahir 6 Agustus 1973), sedang Emil Elestianto Dardak, baru memasuki usia ke 34 tahun ( lahir 20 Mei 1984). Dari tahun kelahiran, cawagub Khofifah ini lebih dekat dengan generasi milenial. Mengingat generasi y atau now atau milenial oleh para psikogafris, ditaksir berusia antara 17-30 tahun. Saat ini istilah generasi milenial memang sedang tren. Dari beberapa literatur, istilah ini berasal dari milenial yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe. Pemuda-di sekarang, menyebut Milenial generation atau generasi Y juga generation me atau echo boomers. Uniknya, secara harfiah memang tidak ada demografi khusus yang menentukan kelompok generasi yang satu ini. Namun, beberapa pakar marketing menggolongkannya berdasarkan tahun awal dan akhir. Penggolongan generasi Y terbentuk bagi mereka yang lahir pada 1980 - 1990, atau pada awal 2000, dan seterusnya. Sementara Abdullah Azwar Anas, dari kelahirannya yang tahun 1973 lebih mendekati generasi X daripada generasi milenial. Generasi seusia bupati Banyuwangi ini oleh pakar perilaku dicirikan generasi yang cenderung suka akan risiko dan pengambilan keputusan yang matang. Perilaku generasi X acapkali dianggap akibat dari pola asuh dari generasi sebelumnya, Baby Boomers, orang seusia Gus Ipul dan Khofifah. Pertanyaannya, apa dan bagaimana mulai sekarang, dua cawagub Anas maupun Emil, berancang-ancang membikin program pembangunan yang bisa menyedot pemilih usia 17-30 tahun ( generasi milenial)?. Sandiaga Salahuddin Uno, saat memenangkan pilkada DKI 2017 bersama Anies Baswedan, sudah berusia 48 tahun (lahir 28 Juni 1969). Usianya lebih tua dari Azwar Anas. Uno, yang dikenal dengan icon ‘’Oce Oke’’ akhirnya menang. Kenapa? Bukan konsep merebut pemilih pemula yang membuat Sandiago terpilih. Tapi lawan pada putaran dua, usianya sudah tua- tua, Ahok dan Djarot. Ironisnya, keduanya sudah babak belum digebuki dengan isu berbau agama. Calon Gubernur dan Cawagub Jatim 2018, Data yang saya peroleh, tiga kandidat pilgub DKI 2017 saat itu, semuanya gigih memikat hati para pemilih. Artinya, tiga kandidat, Agus – Silvy, Ahok-Djarot dan Anis – Sandiago, sama-sama menjadikan pemilih muda sebagai sasaran utama untuk digaet. Maklum, jumlah pemilih muda di DKI 2017 berjumlah sekitar 30% dari total 7.108.589 pemilih. Sementara dalam Pilgub Jatim 2018 mendatang, jumlah pemilih pemula mencapai sekitar 17 juta orang total jumlah pemilih yang mencapai 31,5 juta suara. Bisa ditebak, kesukaan pemilih pemula masih sekitar kampanye dengan menggunakan media sosial, menggelar konser music yang menampilkan artis terkenal. Selain kegiatan lain. Maklum, asumsi yang berkembang pemilih pemula pada umumnya cenderung pesimistis dan jenuh dengan kondisi politik praktis yang masih dibumbui hoax dan fitnah serta ujaran kebencian. Saya tidak tahu bagaimana Anas yang dikenal sukses kelola pariwisata di Kabupaten Banyuwangi dan Emil, yang juga sukses mengintegrasikan potensi wisata Trenggalek dan sekitarnya, menggarap pemilih milenial? Apakah sama-sama menawarkan konsep pariwisata untuk tingkat Provinsi dan gagasan dan gerakan‎ bagi anak muda kesempatan untuk berkarya. Saya pikir, menghadapi tipologi generasi milenial yang dikenali individualistis, kreatif dan suka membaca melalui smartphone, suka nontot HP ketimbang TV, Buat Startup dan kritis. Akal sehat saya berkata, Anas dan atau Emil harus mampu membuat program-program anak muda yang benar-benar otentik dan relevan? Bila tidak, programnya akan diabaikan. Maklum, generasi milenial umumnya kritis, individualistis dan pesimistis terhadap politik praktis di Indonesia. Calon Gubernur dan Cawagub Jatim 2018, Dalam teori perilaku ada satu teori yang paling disorot yaitu pendekatan psikologis. Mazhab ini pertama kali dipergunakan oleh Pusat Penelitian dan Survey Universitas Michigan (University of Michigan`s Survey Research Centre) sehingga kelompok ini dikenal dengan sebutan kelompok Michigan. Hasil penelitian kelompok ini yang dikenal luas adalah The Voter`s Decide (1954) dan The American Voter (1960). Pendekatan mazhab psikologis ini menekankan kepada 3 aspek variabel psikologis yakni, ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu yang berkembang dan orientasi terhadap kandidat. Nah, tiga hal ini bisa mengandalkan ideologi partai politik, PDIP, NU, PKB, Demokrat dan atau Golkar. Bahkan pemilih pemula bisa tergiur oleh sosok cagub dan cawagub Khofifah, Gus Ipul, Anas atau Emil. Selain, isu-isu aktual yang berkembang. Tiga variabel psikologis ini menjadi domain tim sukses masing-masing cagub-cawagub. Khusus Anas dan Emil, bisa melakukan personal branding antara lain dengan membuat akun media sosial, sering mengundang wartawan. Selain membuat program eksklusif yang bermanfaat untuk generasi milenial seperti bisnis dan berkarir. Misal, cara Neil Patel, melakukan personil branding. Sejak tahun 2007 ia mendirikan website neilpatel dan quicksprout. Melalui websitenya, ia membranding dirinya menggunakan teknik visual, emosional dan intelektualnya. Nah, Anas dan Emil. memiliki kemampuan. Maklum, keduanya sama-sama anak muda terpelajar dengan nilai IP yang cukup tinggi. Ada survei mengejutkan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh peneliti Unair Surabaya, 84,6 persen pemilih pemula juga menggunakan mainstream sebagai sumber informasi. Terutama untuk keperluan politik. Belajar politik praktis, juga dilakukan melalui organisasi kepemudaan. Maklum, urusan politik praktis, survei dari Unair ini menyimpulkan, cukup banyak pemilih pemula yang lebih konsen mendengarkan teman sebagai, dibanding orangtuanya. Secara politis, pembelajaran politik praktis kepada pemilih pemula menggunakan media arus utama (mainstream) jauh lebih bisa dikendalikan dibanding media sosial seperti Twitter, Instagram dan Facebook. Maklum, pemilih pemula merupakan pemilih yang baru pertama kali akan melakukan penggunaan hak pilihnya. Jadi, perlu ada pemahaman kesadaran berpolitik bagi pemilih pemula yang perlu diaktualisasikan. Termasuk melalui pembelajaran yang melibatkan secara langsung pemilih pemula. Mengingat, pemilih pemula, merupakan pemilih yang potensinya besar, namun masih ada yang apatis dan tidak menggunakan suaranya sebagaimana mestinya. Dengan jumlah pemilih pemula sekitar 30-40%, dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur Tahun 2018, Anas maupun Emil, bisa menangkap peluang, pemilih pemula ini adalah kue yang harus diperebutkan. Antara lain perlu mendidik pemilih milenial tentang politik praktis Indonesia era sekarang yang tidak semua politisi seperti Setyo Novanto, mantan Ketua DPR-RI dan Ketua Umum Partai Golkar. Selain menyumbang suara perolehan bagi Cagub Khofifah atau Gus Ipul, pembelajaran terhadap pemilih pemula juga dapat menumbuhkembangkan budaya berdemokrasi yang bermartabat. Artinya, Anas dan Emil, tak perlu buka-bukaan kelemahan dan kesalahan. Maklum, manusia kreatif seperti Azwar Anas pun memiliki kekurangan. Juga sebaliknya. Saya sarankan, dalam menjaring pemilih pemula, Anas maupun Emil melakukan kampanye yang bermartabat yaitu mengandung nilai-nilai yang martabat (perikemanusiaan). Maklum, Pilkada bermartabat bukan hanya sekedar pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, melainkan juga sesuai dengan hati nurani manusia. Apalagi pilkada langsung untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, sekaligus menciptakan pemerintahan yang demokratis, akuntabel, transparan, berkualitas dan berintegrasi. Selain untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi generasi milenial. Calon Gubernur dan Cawagub Jatim 2018, Dalam politik praktis pasca reformasi ada contoh belajar politik praktis dari seorang penyiar dan jurnalis. Wartawan ini tahu bahwa politik tak bisa dilepaskan dari perebutan kekuasaan. Sedangkan domainnya diperankan oleh parpol dan aktivis-aktivis politik. Maka untuk memahaminya, pemilih pemula perlu diajarkan tentang hakikat politik, negara, partai politik dan etika politik serta pemilu dan pilkada. Pelajaran politik praktis ini bisa gabungan teori maupun praktik. Salah satu yang bisa dikomunikasikan ke pemilih pemula adalah kisah sukses Meutya Hafid, salah satu anchor (pembaca berita) dan jurnalis dari Metro TV. Perempuan kelahiran Bandung, Jawa Barat 3 Mei 1978 itu aktif di Partai Golkar. Sebelum ke Senayan, Meutya sempat mencoba peruntungan di dunia politik dengan maju sebagai wakil Dhani Setiawan Isma dalam pemilihan wali kota Binjai, Sumatera Utara periode 2010-2015. Pasangan ini diusung Partai Golkar, Demokrat, Hanura, PAN, Patriot, P3I, PDS serta 16 partai non-fraksi. Namun Meutya kalah. Sebelumnya, Meutya juga gagal lolos ke Senayan sebagai caleg dari Partai Golkar saat Pemilu Legislatif 2009. Ia tekun yaitu mencoba lagi, Akhirnya, karier politiknya bersinar ketika dia menjadi anggota DPR melalui proses pergantian antar waktu (PAW). Dia menggantikan politikus senior Golkar Burhanuddin Napitupulu yang meninggal dunia. Meutya yang pernah disandera pejuang Irak bersama kamerawan Metro TV Budiyanto, yaitu saat meliput perang tahun 2005, kini duduk di Komisi XI DPR. ([email protected], bersambung).

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU