Home / CatatanHukum : Surat Terbuka untuk Gubernur Soekarwo, Gus Ipul, K

Gubernur dari NU, Mesti Berani Kembangkan Nasionalisme Religius

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 20 Des 2017 00:16 WIB

Gubernur dari NU, Mesti Berani Kembangkan Nasionalisme Religius

Cagub Khofifah dan Gus Ipul , Anda berdua adalah warga NU, yang menduduki jabatan eksekutif. Sebagai jamaah Nahdliyin Insha Allah, Anda tidak lupa bahwa pasca kasus penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Ahok, marak istilah-istilah ‘intoleran’, ‘radikal’, dan ‘moderat’ . Saya ikuti, istilah ini makin mendekati akhir tahun 2017, sering digunakan kelompok-kelompok tertentu untuk memberi stigma kepada kelompok Islam tertentu. Bahkan belakangan, istilah ‘anti Pancasila’ dan ‘anti Bhinneka’ juga digunakan kelompok anti gerakan-gerakan Islam melakukan stigma-stigma buruk. Sebagai calon kepala daerah Provinsi Jatim, Anda tahu kelak memiliki kewajiban penegakan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, dalam penjagaan agama dan penyelenggaraan urusan duniawi (hirasat ad-din wa siyasat ad-dunya). Ada penelitian pada 2011 di lima universitas di Indonesia yaitu UGM, UI, IPB, Unair dan Undip Semarang. Penelitian ini menunjukkan peningkatan pemahaman konservatif atau fundamentalisme keagamaan khususnya di kalangan mahasiswa di kampus-kampus umum. Termasuk fenomena radikalisme di kalangan pelajar dan mahasiswa pasca reformasi yang menyebar melalui berbagai Jemaah antara lain HTI dan salafi yang merupakan bagian dari gerakan Islam transnasional. Mengutip laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) di Jawa Timur ada Jaringan Lamongan, yang dikenal penelur tokoh teror. Bahkan ada tiga masjid yang dituding menjadi pusat penyebaran radikalisme. Ketiganya terdiri masjid Sulaiman Al Hunaishil di Desa Gading Kulon, Kecamatan Dau, Malang, sebuah masjid di dalam kampus perguruan tinggi negeri di Malang dan sebuah masjid di Blitar. Kabarnya, tiga masjid ini telah dikuasai kembali oleh kelompok moderat. Malahan Masjid Sulaiman Al Hunaishil konon pernah digunakan untuk membaiat sekitar 500 jamaah pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 20 Juli 2014. Masjid ini dikendalikan Muhammad Romly, yang diduga terlibat dalam jaringan bom Thamrin Jakarta, Januari 2016. Romly ditangkap Detasemen Khusus (Densus) antiteror 88 bersama enam pelaku lain pada 19 Februari 2016. Cagub Khofifah dan Gus Ipul , Hal yang saya ketahui dari beberapa mahasiswa di Surabaya, pemahaman ideologi radikal dikenali dari pandangan yang mengharamkan tafsir yang berbeda dengan pemahaman temannya yang dari NU dan Muhammadiyah. Malahan ada yang lebih ekstrem yaitu mengkafirkan sesama muslim dan juga menekan kelompok minoritas lainnya. Saya pernah terkejut membaca survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo, guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Survei pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Survei ini menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Bahkan jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom. Tak kaget bila ada kabar menyedihkan yaitu ZN, mahasiswa kedokteran konon pengikut ISIS. Padahal sejak SMP, ZN sebagai siswa cerdas. Bahkan ZN pernah mengalungi medali emas pada Olimpiade astronomi di Ukraina 2007, ketika umurnya 15 tahun. Disamping itu, ada Imam Samudra, pelaku bom Bali asal Lamongan. Pria yang diidentifikasi ahli komputer, menjadi terkenal bersama dalang bom Bali asal Malaysia: Nurdin M. Top dan Azahari Husin. Yang pertama adalah lulusan akuntansi, sedangkan yang kedua memiliki gelar Ph.D dari University of Reading, Inggris Raya. Dr. Azahari bahkan pernah mengajar pada Universiti Teknologi Malaysia. Pertanyaannya, akankah Anda bila terpilih menjadi Gubernur Jatim penerus Pak De Karwo, mampu meredakan pengikut radikalisme dan ekstremis dengan memajukan nasionalisme religius? Pertanyaan ini saya sampaikan, karena sebagai pemimpin NU, ada kriteria yang dianut para kyai yaitu mengemban kewajiban secara akal (wajib ‘aqli) dan kewajiban secara syariat (wajib syar’i). Maklum, seorang pemimpin dari latar belakang NU, mesti memiliki keadilan, keilmuan, kesehatan, dan wawasan luas. Hal ini agar Anda dapat mengatur rakyat dan mewujudkan kemaslahatan. Selain itu, pemimpin berlatarbelakang NU, dituntut memiliki keberanian dan ketegasan untuk menunjang tugasnya menjaga kedaulatan dan keamanan negara dari serangan musuh. Bahkan kepala daerah dari NU, dituntut untuk menjadi corong dakwah NU sebagai ciri khas warga NU yang menjadi pemimpin. Salah satu cirinya berdakwah dengan lembut, mengajak menggunakan pendekatan hal-hal yang substantif secara wisdom (kearifan). Cagub Khofifah dan Gus Ipul , Anda berdua kuliah di fakultas ilmu politik. Insha Allah masih ingat bahwa nasionalisme Indonesia bersemi mulai 1908. Pada tahun itu bisa saya katakan tonggak kesadaran baru perlunya Indonesia bangkit menjadi bangsa yang bermartabat. Dari sejarah nasional yang saya pelajari, rasa kebangsaan itu mencapai puncak dengan maklumat ”kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Alhamdulillah, selama beberapa puluh tahun sejak tahun 1908, elemen-elemen kepemudaan, kesukuan, keagamaan, ideologi, dan profesi terlibat aktif dalam pembentukan identitas kebangsaan Indonesia. Dan akhirnya, politik pecah belah penjajah, tidak dapat membendung hasrat bersatu putra-putri Indonesia. Sejak itu, rasa nasionalisme Indonesia bangkit dalam sanubari hampir anak muda generasi 1928-1945. Ini yang tidak menambah identitas primordial kesukuan atau keagamaan kita yang sejak nenek moyang terdiri beribu suku dan agama-kepercayaan. Dalam keseharian, saat saya masih sekolah SD, tahun 1966-anm yang menonjolkan lebih dominan identitas keindonesiaan. Namun, saat ini, saya mulai mudah menemukan penonjolan identitas unsur-unsur keindonesiaan dan membangun sentimen primordial seperti Sara. Sebagai anak bangsa yang suka dengan sejarah dan hukum, saya belajar bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan, demokratis, dan berkeadilan sosial. Sampai Indonesia merdeka ke-72 tahun, hal –hal itu belum dapat sepenuhnya tercapai. Proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju, kreatif, memiliki sikap toleransi pada masyarakat yang pluralis, tatanan sosial politik yang demokratis, dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil serta bersifat kerakyatan, masih jauh dari kenyataan. Dalam bahasa yang lebih pedas, semboyan Bhinneka Tunggal Ika sepertinya baru mitos. Mengapa? Padahal, bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beraneka ragam budaya, etnik, suku, ras, dan agama yang sejak awal mampu menerima segala kemajemukan. Terkait konstruksi Indonesia sebagai negara-bangsa berdasarkan Pancasila, secara konstitusi seluruh regulasi dan kebijakan negara tidak mengatasnamakan agama tertentu. Meski demikian, bukan berarti nilai-nilai agama tidak boleh masuk ke dalam regulasi-regulasi yang ada. Sebagai negara yang religius, regulasi-regulasi yang dibuat juga seharusnya selalu mempertimbangkan moralitas agama-agama yang diakui oleh negara. Anda berdua menurut saya, warga NU yang pengusung nasionalisme dan pejuang Islamic-state (negara Islam). Sebagai pemeluk agama Islam agama mayoritas rakyat Indonesia yang dianut oleh masyarakat Indonesia, Anda, bila kelak menjadi Gubernur Jatim, saran saya mesti mengembangkan nasionalisme religius dengan pacuan yang tinggi, agar pemuda yang tergiur paham radikalisme dapat tereduksi dengan sendirinya. Alangkah realistisnya, sebagai Gubernur yang berasal dari NU, Anda mengeluarkan berbagai kebijakan (political will) yang berpijak pada nilai-nilai agama. Terutama dengan tetap memperhatikan rasa keber-agama-an masyarakatnya. Dengan demikian, agama akan tetap berfungsi kontributif dalam memberikan rasa, bukan warna, kepada setiap pembuatan produk kebijakan politik kenegaraan di pemerintahan Provinsi Jatim. Ini sangat penting, karena rasa bisa sama dalam warna yang berbeda. Artinya, sebuah aturan bisa dibuat sangat Islami, tanpa perlu memberikan label Islam. Sebuah undang-undang bisa sesuai syariah Islam, tanpa harus menamakannya Undang-Undang Syariah. Sebaliknya, jangan pula terjadi, atas nama nasionalisme, peran-peran agama, kemudian direduksi sedemikian rupa atau dihilangkan sama sekali. Dengan semangat nasionalisme kebangsaan Indonesia, menurut saya, segala sesuatu yang berbau agama (dalam hal ini Islam) jangan sampai dianggap menjadi sebuah ancaman serius terhadap keberlangsungan negara. Belajar dari sejarah nasional, maka nasionalisme Indonesia sesungguhnya berbeda dengan nasionalisme bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. Nasionalisme Indonesia dilandasi dengan semangat keberagaman dan keber-agama-an. Tentu ada semangat yang lahir dari Pancasila sebagai ideologi Negara. Di dalamnya, menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, dan menjadi tonggak bagi sila-sila selanjutnya. Dari meja redaksi, dengan tetap berpikir nasionalisme Indonesia, menurut saya tidak ada cara lagi menyelamatkan keutuhan Indonesia dimasa depan, kecuali dengan menumbuhkan rasa kecintaan pemuda now terhadap Indonesia yang satu kesatuan dan tak terpecah oleh batas wilayah dan suku. Mengingat dengan hanya menumbuhkan kembali rasa cinta pada nilai-nilai kebangsaan, bisa akan muncul rasa pengabdian kepada negeri ini, sehingga apa pun profesi kita dan dimana pun berada, akan berusaha memajukan dan membesarkan bangsa Indonesia. Dalam pandangan saya, pemuda zaman sekarang adalah tipe pemuda milenial yang tak pernah lepas dari smartphone dan media sosial. Meski demikian, tugas Anda sebagai pemimpin di provinsi mengajak generasi milenial untuk lupa pada sejarah dan perjuangan bangsa Indonesia dan dijadikan paham dengan sejarah Indonesia nasionalisme Indonesia yaitu nasionalisme religius. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU