Sektor Energi Masih Menjadi Penyumbang 34,49 persen Kontributor Emisi Gas Rumah Kaca

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 22 Sep 2023 14:30 WIB

Sektor Energi Masih Menjadi Penyumbang 34,49 persen Kontributor Emisi Gas Rumah Kaca

i

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Haruni Kirisnawati.

 

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2019, kontributor terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia adalah perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Land Use Change and Forestry-LUCF) sebesar 50,13% dan sektor energi 34,49% yang utamanya dari pembangkit listrik.

Baca Juga: KLHK Surabaya Amankan 55 Kontainer Berisi Kayu Ilegal

Staf Ahli Menteri Bidang Energi pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Haruni  Krisnawati, mengatakan energi fosil masih menjadi tulang punggung pemenuhan kebutuhan energi nasional di masa depan.

Pemerintah sendiri mengharapkan pelaku industri hulu migas melakukan inovasi dan memberikan masukan terkait usaha-usaha peningkatan produksi namun juga menekan emisi karbon yang dihasilkan, seperti halnya Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).

"Pemerintah mendukung penerapan teknologi CCS dan CCUS di Indonesia. Hal ini didasarkan pada kebutuhan peningkatan produksi energi negara kita, sekaligus mengingat potensi besar yang dimiliki Indonesia untuk mengimplementasikan teknologi CCS/CCUS," ujar Haruni pada acara ICIOG dikutip Jumat (22/9/2023). 

Haruni mengatakan, bahwa lapangan-lapangan migas yang telah mencapai masa produksi puncak memiliki potensi penyimpanan CO2 sekitar 2,5 miliar ton CO2. 

Baca Juga: KLHK: Pemanfaatan Bioprospeksi Berpotensi Dongkrak Ekonomi Nasional

Dukungan Pemerintah juga ditandai dengan terbitnya Permen ESDM No 2 tahun 2023 yaitu Penyelenggaraan dan Penangkapan Karbon serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Aturan lain adalah regulasi dengan membuat Bursa Karbon yang rencananya akan diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 26 September 2023

Selain itu, di Bursa Karbon, nantinya dimungkinkan dilakukan carbon trading, di mana karbon yang sudah ditangkap dan disimpan akan diperdagangkan. Untuk memantapkan rencana besar ini, menurut Haruni, berbagai kementerian, lembaga, dan periset kumpul bersama.

Pasalnya, bukan hanya menangkap, menyimpan, dan menjual karbon, praktek ini juga harus mempertimbangkan dampaknya ke lingkungan dan masyarakat. 

Baca Juga: Produk Minyak Cengkeh Indonesia Memikat Pembeli Luar Negeri

"Penerapan CCS masih memiliki banyak ketidakpastian terutama mengenai biaya penangkapan dan kompresi CO2. Selain tantangan teknis dan ekonomi juga ada hal-hal lain seperti HSE pada jangka panjang. Oleh karena itu diharapkan ada masukan dari para pelaku bisnis untuk mengantisipasi dampak yang mungkin muncul,” ucapnya. 

Untuk mengantisipasi dampak jangka panjang tersebut, ia berharap agar implementasi kegiatan CCS oleh industri hulu migas diprioritaskan menggunakan kawasan hutan yang mengalami degradasi, dibanding kawasan hutan yang sehat. jk-2/Acl

Editor : Redaksi

BERITA TERBARU