Keadilan di Pulau Rempang!

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 02 Okt 2023 21:46 WIB

Keadilan di Pulau Rempang!

UGM, Mantan Panglima TNI, Politisi dan Ombudsmen Ikut Cawe-cawe Hadapi Proyek Strategis Nasional yang ada dana dari Investor China Rp 172 Trilun 

 

Baca Juga: Sektor Properti Serap Investasi Rp 29,4 Triliun

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Pulau Rempang dengan luas kurang-lebih 16.583 km² jauh dari kota Surabaya. Meski jauh, 7.512 jiwa warga Rempang bentrok dengan aparat. Ada persoalan keadilan dan HAM, yang menyentuh rasa kemanusiaan. Kabar berseliweran di medsos, perlawanan warga dibantu masyarakat sipil nasional. Termasuk ombudsmen. Ada satu partai politik menyebut perlawanan warga Rempang ini menyangkut keadilan. Urusan keadilan tidak dibatasi wilayah.

Negara yang demokratis mengedapankan konsep keadilan hukum. Khususnya dalam menciptakan negara hukum yang memberikan rasa adil kepada setiap warga negaranya. Terutama dengan peraturan-peraturan yang teratur dalam penegakannya, sehingga menghasilkan hukum yang baik dan berkualitas. Ini untuk mencapai tujuan keadialan serta kesejahteraan bagi rakyat Indonesia seutuhnya sebagai pemegang kekuasaan dan kedaulatan Negara. Surabaya Pagi menurunkan berita utama keadilan untuk rakyat kecil, bukan investor.

Pulau Rempang, adalah pulau di wilayah pemerintahan kota Batam, provinsi Kepulauan Riau yang merupakan rangkaian pulau besar kedua yang dihubungkan oleh enam buah jembatan Barelang.

Pulau Rempang berada sekitar 3 kilometer di sebelah tenggara Pulau Batam dan terhubung langsung dengan jembatan Barelang V dengan Pulau Galang yang berada di bagian selatannya.

Jembatan Barelang merupakan singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang. Jembatan ini menjadi sebuah jembatan penyambung antar wilayah di Rempang, yang dibangun untuk memperluas Otorita Batam sebagai regulator daerah industri Pulau Batam.

Pulau ini memiliki luas wilayah 16.583 hektare yang terdiri dari dua kelurahan Rempang Cate dan Sembulang. Menurut Badan Pusat Statistik, total warga yang menempati Pulau Rempang saat ini ditaksir mencapai 7.512 jiwa.

 

Digusur oleh Proyek

Saat ini, Pulau Rempang menjadi perhatian publik karena warga menjadi sasaran penggusuran untuk tujuan pembangunan proyek Rempang Eco City oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG).

Rencana pembangunan proyek ambisius itu rupanya tidak berjalan lancar, sebab ribuan masyarakat adat Melayu Tua yang telah menempati Pulau Rempang sejak puluhan tahun menolak untuk direlokasi.

Proyek Rempang Eco City, Batam ini diketahui bakal memakan lahan dengan total luasnya mencapai 17.600 hektare.

Dan lahan yang perlu disegerakan pihak BP Batam untuk dibebaskan mencakup 2.000 hektare yang berimbas pada 4 kampung adat yang harus mengalami relokasi.

Dilansir inNalar.com dari laman resmi BP Batam, setidaknya anggaran tambahan yang diajukan sebesar Rp1,6 triliun. Ini untuk kepentingan membangun infrastruktur dasar di wilayah relokasi.

Pasalnya, untuk memperlancar proyek Eco City, pihak BP Batam perlu membangun infrastruktur berupa jalan menuju wilayah relokasi.

 

Masuk Proyek Strategis Nasional

Dalam perkembangannya, proyek ini masuk daftar Proyek Strategis Nasional 2023. Hal itu tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

BP Batam memperkirakan investasi pengembangan Pulau Rempang mencapai Rp381 triliun dan akan menyerap 306 ribu tenaga kerja hingga 2080. Hal ini diharapkan bisa berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi setempat.

Perusahaan kaca dan panel surya asal China, Xinyi Group, disebut akan membangun pabrik di Kawasan Industri Rempang dengan nilai investasi sebesar Rp172 triliun.

 

Ajakan Ombudsman

Ombudsman mendorong pemerintah Kota Batam bersama dengan BP Batam beserta jajaran dan seluruh instansi terkait lainnya melakukan dialog atau musyawarah dengan masyarakat dan tokoh-tokoh adat. "Dilakukan secara persuasif tanpa mengedepankan pendekatan kekuasaan yang disimbolkan dengan seragam aparat keamanan," kata anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan pada Rabu, (27/9/ 2023).

 

Kritik dari PKS

Oleh karena itu, PKS menilai pemerintah tidak boleh berpihak kepada satu sisi karena keadilan wajib ditegakkan. Mardani menegaskan bahwa negeri Ini bukan untuk para investor saja, bukan untuk pertumbuhan ekonomi saja, tetapi yang utama haruslah dalam fungsi melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Cerita sedih ini terjadi, dan saya ingin ngangkat pembangunan itu bukan tentang pertumbuhan ekonomi, bukan tentang berapa billion US dollar investasi masuk, bukan tentang berapa pendapatan perkapita, tetapi konstitusi menegaskan kita harus melindungi segenap bangsa, itu kewajiban nomor satu, every single of our citizen itu punya hak," kata Mardani dalam diskusi Indonesia Leaders Talk di PKSTV pada Jumat malam, (29/9/2023).

Ia menegaskan, negara harus membela rakyat, jika memang ada warga yang tidak memiliki sertifikat tanah, pemerintah harusnya membantu pengurusan serifikat. "Kalau ada cerita mereka enggak ada serifikat, ya disertifikatkan negara yang aktif, kalau tidak ada anggarannya kami di Komisi II (DPR) siap berjuang untuk mewujudkan anggaran itu, jangan hal yang asasi dikalahkan oleh hal yang sifatnya administratif, administratif mah datang belakangan," jelasnya.

 

Tanah Warisan Leluhur

Pembangunan kawasan industri Pulau Rempang, Kota Batam, ini bisa timbulkan konflik sengketa tanah antara masyarakat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha. Program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura tersebut justru berujung bentrok akibat ketidakpastian hukum atas tanah. Masyarakat menganggap, tanah tersebut merupakan warisan leluhur yang telah ada sebelum kemerdekaan. Sedangkan di sisi lain, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada sebuah perusahaan, membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat.

 

Hak tanah, HAM dan Investasi

Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum UGM mengupas tuntas konflik sengketa Pulau Rempang dalam diskusi bertajuk “Konflik Rempang: Memahami dari Berbagai Sudut Pandang” pada Sabtu (23/9).

Baca Juga: BKPM: Singapura Investor Terbesar Sejak 2019

Menurut Praktisi Hukum Spesialis Bidang Properti dan Sumber Daya Manusia, Evander Nathanael Ginting, konflik Rempang memunculkan isu hak tanah, hak asasi manusia, serta kepentingan investasi pemerintah. “Jadi, di sini tanah adat mereka mau dibikin semacam Rempang Eco City. Dan di situ akan ada berbagai bentuk usaha, seperti pabrik, properti, akan dibangun di sana. Tapi dengan catatan, masyarakat adat diminta untuk keluar dari daerah itu. Nah, tentunya masyarakat adat di Rempang jelas tidak terima karena merasa tidak adil, hak asasi mereka diganggu gugat di sana,” ucapnya.

 

Kewenangan Pengelolaan Lahan

Setidaknya terdapat dua masalah utama dalam konflik ini. Pertama, masyarakat adat yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya, telah menempati Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun. Selama masa tersebut, tanah di Pulau Rempang telah dianggap milik masyarakat adat secara utuh. Kemudian pada tahun 2001-2002, pemerintah memberikan kewenangan berupa Hak Guna Usaha (HGU) pada sebuah perusahaan atas tanah Batam. Namun, hingga sebelum konflik terjadi, tanah tersebut tidak pernah dikunjungi atau dikelola oleh investor. Kedua, kewenangan atas pengelolaan lahan di Batam diatur oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam). Sayangnya, batas-batas pengelolaan tanah oleh BP Batam dan tanah adat milik masyarakat tidak diuraikan secara jelas, hingga menimbulkan tumpang tindih penguasaan tanah.

 

Masyarakat Terbelah Dua Kubu

“Batam ini bertetangga dengan negara-negara seperti Singapura dan Malaysia. Dan juga memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (ZEK) yang memberikan insentif fiskal dan fasilitas bagi investor. Jadi, di sini ada semacam keuntungan kalau kita berdagang di Batam. Tidak pernah ada kejadian gempa juga di Batam, jadi orang mau berinvestasi di Batam itu merasa aman,” tambah Evan. Pulau Batam menawarkan peluang investasi yang besar, bahkan dijanjikan juga masyarakat akan diberdayakan sebagai tenaga kerja jika proyek Rempang Eco City ini dapat terwujud.

Alhasil, masyarakat pun terbagi menjadi dua kubu, yaitu masyarakat adat yang benar-benar menentang pembangunan, dan masyarakat mayoritas pendatang yang justru setuju dengan proyek tersebut.

 

Majukan Industri Batam

Jika menilik dari segi legalitas hukum pengelolaan lahan Batam dan Pulau Rempang, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 telah menjelaskan otorisasi tersebut. Dijelaskan bahwa hak pengelolaan atas lahan Batam diberikan pada otoritas Batam (BP Batam) sepenuhnya untuk dibagikan pada pihak ketiga yang berperan mengelola tanah tersebut secara lebih lanjut. Pihak tersebut nantinya diwajibkan membayar hak guna lahan tersebut kepada pemerintah. Lalu, pada tahun 1992, pemerintah memberikan wilayah Rempang dan Galang pada otoritas Batam untuk dikelola dan memajukan industri Batam.

“Setelah itu, mulai masuklah PT. Makmur Elok Graha pada tahun 2004, di mana DPRD Batam itu memberikan rekomendasi, bahwa PT ini dapat melakukan tindakan pengembangan di wilayah Batam. Dari rekomendasi ini, ada nota kesepakatan bahwa Pemerintah Batam setuju kalau PT. Makmur Elok Graha akan mengelola wilayah-wilayah di Batam, termasuk Rempang. Tapi perlu digarisbawahi, kesepakatan ini dinyatakan bahwa PT. MEG akan membangun pusat-pusat hiburan, perkantoran, permainan, yang berbeda dengan wacana sekarang,” ucap Reggy Dio Geo Fanny, selaku Penasehat Hukum yang turut mengulik Konflik Rempang ini.

 

Proyek Pembangunan Eco City

Reggy Dio Geo Fanny menambahkan, sempat ada usaha pemisahan otoritas Kota Batam dengan pulau tua, seperti Rempang dari otoritas BP Batam oleh Walikota Batam. Tapi upaya tersebut tidak ada tindak lanjut, hingga pada tahun 2023 dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan adanya proyek pembangunan Eco City di Kepulauan Riau. Adanya legalitas tersebut mengisyaratkan bahwa Pemerintah Indonesia mendukung sepenuhnya pembangunan proyek industri di Pulau Batam oleh PT. Makmur Elok Graha. “Tentu perlu diperhatikan pada ayat dua, dituliskan bahwa hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat, ditetapkan pada masyarakat hukum adat. Pertanyaannya, apakah masyarakat Batam tersebut merupakan masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara. Dan apakah tanah tersebut juga diakui negara sebagai tanah ulayat,” tutur Reggy.

 

Hukum Adat dan Agama

Pemerintah memiliki peran penting dalam menentukan kewenangan seperti apa yang dapat menjadi jalan tengah antara berbagai pihak terlibat. Karena di samping hukum konstitusional, Indonesia sebagai negara multikultural memiliki hukum adat dan hukum agama sebagai bagian dari masyarakat. Pengakuan akan adanya hukum adat, masyarakat adat, dan tanah adat menjadi krusial untuk menemui titik terang dari konflik Rempang.

Baca Juga: Apple Investasi Rp 1,6 Triliun, Microsoft Rp 14 Triliun

 

Keterangan Menteri Investasi Bahlil

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menegaskan tidak ada pengosongan Pulau Rempang pada 28 September.

Sebelumnya, Badan Pengusahaan (BP) Batam menetapkan tanggal tersebut sebagai tenggat pengosongan Pulau Rempang yang akan dijadikan kawasan Rempang Eco City, bagian dari proyek strategis nasional.

"Nggak, nggak, nggak (tidak ada pengosongan). Jadi jangan salah persepsi. Ini kan masih bagian dari proses sosialisasi. Saya sudah menyampaikan ini Saudara-saudara kita nanti kita akan tentukan tanggalnya," kata Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/09).

Bahlil Lahadalia Bahlil pun menerangkan, investasi Rempang Eco-City akan tetap berjalan.

Tak tanggung-tanggung, investasi jumbo di wilayah Rempang, Galang ini, ditaksir bakal jadi Mesin Ekonomi Baru bagi Indonesia.

Dengan nilai investasi yang ditaksir mencapai Rp 381 Triliun, Rempang Eco-City diyakini dapat memberikan eskalasi bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan warga Rempang-Galang.

Saat masa pembangunan, diperkirakan ekonomi masyarakat dapat ikut terangkat dengan kegiatan ekonomi mikro kecil dan menengah.

 

Pelanggaran HAM Berat

Mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo ikut berkomentar soal konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang. Karena konflik agraria mengakibatkan bentrokan aparat dengan warga Rempang yang menolak relokasi.

"BP Batam berinisiatif mengambil jalan tengah bahwa menggunakan uang yang didapat hasil sewa, itu kurang lebih ada Rp 1 Triliun," ujarnya yang dilansir Youtube Hersubeno Point.

"Yang menjadi permasalahan adalah kalau kita tinggal di suatu tempat sudah lama, sudah dikasih tahu ganti ruginya seperti ini, seperti ini, kemudian sudah tenang dikasih waktu 1 bulan, belum 1 bulan sudah digusur," ucapnya.

Bahkan Gatot Nurmantyo menyebut bahwa pelanggaran HAM berat sudah terjadi dalam konflik lahan di Rempang.

"Kemudian penggusuran itu harus sudah selesai anak ujian, ini masih dalam kelas sudah diadukan seperti itu, kemudian tidak boleh menggunakan alat-alat persenjataan, jadi dengan tangan kosong," jelasnya.

Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo mengaku mengingatkan agar konflik di Pulau Rempang jangan sampai dikutuk oleh seluruh dunia. bahwa kita negara pelanggar HAM berat. n erc/bt/jk/cr3/cr9/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU