Profesor Hukum, Siasati Gratifikasi dengan Lawyer Fee

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 19 Des 2023 20:56 WIB

Profesor Hukum, Siasati Gratifikasi dengan Lawyer Fee

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Profesor Hukum, mantan Wamenkumham, dan seorang Guru Besar UGM, bikin berita hangat.

Namanya, Prof Edward Omar Sharif Hiariej. Ia raih guru besar di UGM Yogjakarta dalam usia muda.

Baca Juga: Pilgub 2024, Khofifah Tanpa "Lawan Tanding" Sebanding

Karier Eddy di bidang akademik terus naik, setelah menjadi Asisten Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UGM pada 2002 sampai 2007. Sejak itu, Prof Edward Omar Sharif Hiariej, dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Pidana UGM pada 2010. Ia dipuji teman sealmamaternya  menyandang gelar profesor pada usia 37 tahun.

Maklum, sebelum masuk ke dalam kabinet Eddy dikenal sebagai akademisi di bidang hukum yang baik.

Eddy, yang merupakan guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), dikenal sebagai spesialis saksi ahli. Eddy melakoni profesi sampingan saksi ahli sejak 2006. Ia berhenti setelah ditunjuk menjadi Wakil Menteri Kemenkumham pada 2020.

“Selama 14 tahun aku sudah 800 kali menjadi saksi ahli di berbagai perkara,” ujar Eddy pada 24 Maret 2023 seperti dilansir majalah Tempo.

Pada 2016, ia pernah bikin heboh dunia peradilan. Pada sidang ke-14, Eddy bersaksi bahwa majelis hakim tak perlu ragu menjatuhkan hukuman kepada terduga pelaku Jessica Wongso meski motif pembunuhan belum terungkap.

“Kalau ada ahli pidana bilang butuh motif, suruh baca lagi sejarah pembentukan KUHP di Belanda,” ingat Eddy.

Dan akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara 20 tahun kepada Jessica Wongso.

Nama Eddy mencuat usai jakdi saksi ahli sidang sengketa pemilihan presiden 2019 antara pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga. Sebagai saksi ahli, Eddy membela Jokowi. Dalam sidang itu, Eddy menyebut Mahkamah Konstitusi bukanlah “Mahkamah Kalkulator”. Kata tersebut dilontarkan Eddy lantaran ia menganggap penasihat hukum pasangan Prabowo-Sandiaga terlalu memaksakan dalil agar hakim mengakui kemenangan Prabowo-Sandiaga.

Kemudian, pada tahun 2020, ia ditunjuk Jokowi menjadi Wakil Menteri Kemenkumham. Sementara, tiga tahun kemudian, Kamis (9/11/2023), Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengumumkan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi.

Lalu, Desember 2023, Edward OS Hiariej, ajukan praperadilan ke PN Jakarta, setelah bulan Novembernya ditetapkan jadi tersangka dugaan Gratifikasi sebesar Rp 7 miliar. Pelapor Eddy adalah Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, yang juga seorang advokat.

 

***

 

Berdasarkan data tersebut, praperadilan mantan Wamenkumham, saya nilai "pertarungan" antara ahli hukum. Ada guru besar hukum, advokat senior dan penegak hukum antisuah.

Membaca materi praperadilan saya mencatat ada dua substansi. Pertama penafsiran gratifikasi dan prosedur penetapan ketersangkaan mantan Wamenkumham.

Kasus ini menurut saya tidak hanya menarik para praktisi dan akademisi hukum, tapi juga publik. Khususnya pemerhati hukum.

Saya mencatat Kronologis kejadian menurut KPK. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariek sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi di Kemenkumham sebesar Rp 8 M.

Eddy menerima suap dari Helmut Hermawan selaku Dirut PT Citra Lampia Mandiri (CLM).  Eddy, menurut Alex Marwata, Wakil Ketua KPK menerima suap dan gratifikasi melalui Yosi Andika Mulyadi selaku pengacara Eddy dan Yogie Arie Rukmana selaku asisten pribadi Eddy.

Saya garis bawahi apa relevansi mantan Wamenkumham mengurus kasus Dirut PT Citra Lampia Mandiri (CLM), memakai jasa hukum Yosi Andika Mulyadi?

Mengingat Eddy, Wamenkumham, mengapa urusan PT Citra Lampia Mandiri (CLM), tidak sepenuhnya ditangani Yosi Andika Mulyadi, sebagai advokat yang bisa ajukan lawyer fee ke PT CLM.

Logika hukum saya yang bisa membuka tabir ini adalah kuasa hukum Helmut Hermawan yaitu Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso. Pernyataan lain, ada apa seorang penyelenyelengga negara sekelas Wamenkumham masih mengurus suatu perkara pidana dan perdata.

Apakah dalam aturan ke kementerian, pejabat selevel Wamenkumham dibolehkan gunakan jasa seorang asisten pribadi?

 

Baca Juga: Pak Jokowi, Ngono Yo Ngono, Ning Ojo Ngono

***

 

Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, keterkaitan Wamenkumham berawal dari terjadinya sengketa dan perselisihan internal di PT CLM dari tahun 2019 sampai 2022 terkait status kepemilikan. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, Helmut Hermawan, selaku Direktur Utama PT CLM berinisiatif untuk mencari konsultan hukum.

Sesuai rekomendasi yang diperoleh yang tepat adalah Prof Eddy. Sebagai tindak lanjutnya, sekitar April 2022, dilakukan pertemuan di rumah dinas Wamenkumham.

Dalam pertemuan itu terjadi kesepakatan bahwa Eddy siap memberikan konsultasi hukum terkait administrasi hukum umum PT CLM.

Usai pertemuan, Eddy menugaskan advokat Yosi dan Yogi sebagai representasi dirinya. Besaran fee yang disepakati untuk diberikan Helmut Hermawan  pada Prof Eddy sejumlah sekitar Rp 4 miliar.

Kata Alex Marwata,  ada juga permasalahan hukum lain yang dialami Helmut Hermawan, di Bareskrim Polri.  Prof Eddy, menurut Alex, bersedia dan menjanjikan proses hukumnya dapat dihentikan melalui SP3 dengan adanya penyerahan uang sejumlah sekitar Rp 3 miliar.

“Sempat terjadi hasil RUPS PT CLM terblokir dalam sistem administrasi badan hukum (SABH) Kemenkumham karena akibat dari sengketa internal PT CLM, sehingga Helmut Hermawan, kembali meminta bantuan Prof Eddy, untuk membantu proses buka blokir. Dan atas kewenangan Prof Eddy, selaku Wamenkumham , akhirnya proses buka blokir  terlaksana. Informasi buka blokir disampaikan langsung EOSH pada Helmut

Atas hal tersebut, Helmut  memberikan uang sekitar Rp 1 miliar untuk keperluan pribadi Eddy maju dalam pencalonan Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti). Dasar kesepakatan antara Helmut dan Eddy untuk teknis pengiriman uang di antaranya melalui transfer rekening bank atas nama Yosi dan Yogi.

“KPK menjadikan pemberian uang sejumlah sekitar Rp 8 miliar dari HH pada EOSH melalui YAR dan YAN sebagai bukti permulaan awal untuk terus ditelusuri dan didalami hingga dikembangkan,” imbuhnya.

Berdasarkan kronologis yang dibuat KPK, peran Eddy, yang saat kejadian sebagai penyelenggara negara menarik fee ke Helmut? menarik untuk pembuktian hukum. Ini yang menurut saya, celah hukum yang disiasati Prof Eddy, gratifikasi ke penyelanggara negara diplesetkan sebagai lawyer fee.

Dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin (18/12/2023), mantan Wamenkumham menolak menerima suap dari tersangka eks Dirut PT Citra Lampia Mandiri (CLM Mining) Helmut Hermawan senilai total Rp 8 miliar.

Makanya, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, melawan atas ditetapkannya sebagai tersangka bersama Yosi Andika Mulyadi selaku pengacara Eddy dan Yogi Arie Rukmana selalu asisten pribadi Eddy.

Baca Juga: Jokowi vs Mega, Prabowo vs Mega = Kekuasaan

Ia juga menolak menerima suap dari tersangka eks Dirut PT Citra Lampia Mandiri (CLM Mining) Helmut Hermawan senilai total Rp 8 miliar.

Atas perbuatannya, Helmut Hermawan sudah dibidik KPK sebagai pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.

Menurut KPK, pemberian uang itu diduga melalui perantara asisten pribadi Eddy Hiariej berinisial YAR dan YAM. Sugeng menduga uang itu berkaitan dengan permintaan bantuan pengesahan badan hukum dari PT CLM oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham.

Eddy Hiariej enggan menanggapi secara serius karena menganggap pokok permasalahan adalah hubungan profesional antara YAR dan YAM sebagai advokat dengan klien Sugeng.

Prof Eddy mengatakan dana yang ditudingkan sebagai gratifikasi kepadanya adalah lawyer fee atas penanganan masalah hukum yang dialami oleh PT CLM dan PT APMR. Fee itu disebut dibayarkan kepada Yosi Andika, asistennya yang juga menjadi tersangka bersama Eddy. Bahwa padahal pada faktanya aliran dana Itu adalah gratifikasi atau suap kepada Eddy.

Menurut Penjelasan Pasal 12B UU 20/2001 gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Mencermati penjelasan Pasal 12B UU 20/2001 , kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas. Sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Sehingga, dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, tidak terdapat arti yang tercela atau negatif. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12B UU 20/2001.

Dengan demikian, saya tafsirkan pemberi gratifikasi tidak dapat dikenai sanksi pidana kecuali apabila gratifikasi tersebut dianggap sebagai suap. Dalam kasus gratifikasi yang dianggap suap, pemberi dan penerima gratifikasi sama-sama dapat dikenai sanksi pidana. Hal ini karena dalam pasal suap, ancaman pidana dikenakan terhadap orang yang memberi dan orang yang menerima pemberian. Selain itu, secara logika, tidak mungkin dikatakan suatu perbuatan merupakan penyuapan apabila tidak ada pemberi dan penerima suap.

Makanya pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memenuhi kriteria di atas adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Logika hukum saya berkata sebagai Guru besar ilmu hukum, Prof Eddy paham bedanya gratifikasi dan biaya jasa pengacara (lawyer fee). Ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Advokat mengatur  advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya.

Dan yang dimaksud dengan jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Apakah jasa bantuan hukum Wamenkumham bisa disebut lawyer fee.  Apakah Wamenkumham sebagai penyelenggara negara bisa "ngobyek" memberikan jasa hukum? Inilah contoh unik yang diajarkan oleh seorang profesor hukum dalam kehidupan nyata. Masya Allah. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU