SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Judul berita utama harian kita edisi Senin kemarin (19/8/2024), "Pilkada Serentak Bikin Orang Tertawa Sendirian".
Judul ini menggoda nalar saya, Mengapa Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet), membuat ledekan.? Bukankah ia termasuk elite Partai Golkar, yang sejauh ini ayem ayem saja tak bikin onar. Dengan kedudukan sebagai pimpinan Lembaga Tertinggi Negara, Bamsoet, bisa guyonan dengan semua Wakil ketua MPR yang berasal dari banyak parpol yang punya kursi di DPR-MPR. Pertanyaannya, ada apa ia saat memaparkan konsep soal ketatanegaraan pada seminar Hari Konstitusi yang diadakan oleh MPR bertajuk 'Refleksi Ketatanegaraan: Quo Vadis Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia' di gedung MPR/DPD/DPR RI, Jakarta, Minggu (18/8/2024), membuat pernyataan "Saya khawatir pilkada serentak besok, akan menambah orang-orang yang gembira, tapi sendirian ketawanya. Mudah-mudahan tidak."
Baca Juga: Anies Baswedan, Akademisi yang tak Realistis
Menurut Bamsoet, dirinya menyebut saat ini banyak yang merasakan dampak dari sistem demokrasi yang transakasional . Dirinya pun khawatir pada pilkada serentak besok, akan menambah orang yang tertawa sendirian.
Kata Bamsoet, kita hari ini terjebak pada sistiem demokrasi angka-angka. Sistem demokrasi transaksional. "Sistem demokrasi NPWP, nomor piro wani piro." Waduh! Ini omongannya ketua MPR, bukan Sigimin, penjual warung kopi di pinggir jalan.
***
Akal sehat saya terbangun atas narasi Bamsoet ini yang dicantolkan dengan sistem demokrasi yang transakasional dan dampaknya?
Literasi yang pernah saya baca, politik transaksional merupakan suatu sistem politik yang egoistis karena mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan tanpa menghiraukan beban penderitaan rakyat.
Politik transaksional hanya akan melahirkan politikus-politikus kapitalis dan apatis terhadap beban penderitaan rakyat.
Huaaaaa? Apa gak celaka Indonesia sekarang melahirkan politikus-politikus kapitalis dan apatis terhadap beban penderitaan rakyat?. Siapa saja politikus-politikus kapitalis itu? Apa mereka adalah elite partai yang kini nyaman nongkrong di resto bernama Koalisi Indonesia Maju yang sering diucapkan KIM?
***
Dikutip dari web mkri.id, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mohammad Mahfud MD menyatakan, demokrasi transaksional yang berlangsung di Indonesia, harus diakhiri.
"Kalau seperti ini terus hancur Indonesia ke depan, semua ditransaksikan, belum lagi saling fitnah," kata Mahfud saat pembukaan Temu Wicara MK dengan Muslimat dan Lembaga Dakwah NU di Jakarta, Jumat.
Mahfud menyatakan prihatin politik transaksional justru bermula dari dalam internal partai politik, yang notabene merupakan salah satu institusi pengkaderan calon pemimpin bangsa.
"Tahun 50-an, calon ketua partai didukung, bahkan dibiayai dari bawah. Sekarang orang mau menjadi pimpinan partai harus menyuap penguasa, partai lain, dan anggotanya," katanya.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan inisiatif dari para calon legislatif yang berusaha 'membeli' suara rakyat melalui uang tunai atau sembako. Lebih dari itu, inisiatif transaksional juga berasal dari masyarakat itu sendiri, yang dengan terbuka menerima 'tawaran' tersebut. Situasi ini menunjukkan adanya kerusakan sistemik dalam pemahaman dan praktik demokrasi, di mana kedua belah pihak, baik pemberi maupun penerima, kompak dalam menodai esensi dari pemerintahan rakyat.
Dampak dari praktik transaksional ini terhadap kemajuan bangsa tidak bisa dianggap enteng. Pertama, hal ini menggerus prinsip meritokrasi, di mana yang terpilih bukanlah mereka yang paling kompeten, melainkan yang paling royal menggelontorkan uang.
Baca Juga: Nyali KPK, Diuji Menantu Jokowi
Akibatnya, kualitas representasi rakyat di lembaga legislatif menjadi dipertanyakan, karena tidak berbasis pada kemampuan atau visi, melainkan pada kedalaman kantong.
***
Iyud Dwi Mursito, juga menulis dalam akun ikobengkulu.com, Minggu, 18 Februari 2024. Ia nyatakan demokrasi sistem yang didirikan atas dasar kedaulatan rakyat, kini terancam oleh praktik transaksional yang menggerogoti nilai-nilai dasarnya. Ironisnya, dalam konteks pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, hingga DPD RI, kita menyaksikan bagaimana demokrasi yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat, perlahan berubah menjadi arena transaksi.
Dalam praktik demokrasi transaksional ini, suara tidak lagi menjadi simbol aspirasi, melainkan komoditas yang ditukar dengan uang atau barang, seperti sembako.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan inisiatif dari para calon legislatif yang berusaha 'membeli' suara rakyat melalui uang tunai atau sembako.
Lebih dari itu, inisiatif transaksional juga berasal dari masyarakat itu sendiri, yang dengan terbuka menerima 'tawaran' tersebut. Situasi ini menunjukkan adanya kerusakan sistemik dalam pemahaman dan praktik demokrasi, di mana kedua belah pihak, baik pemberi maupun penerima, kompak dalam menodai esensi dari pemerintahan rakyat.
Dampak dari praktik transaksional ini terhadap kemajuan bangsa tidak bisa dianggap enteng. Pertama, hal ini menggerus prinsip meritokrasi, di mana yang terpilih bukanlah mereka yang paling kompeten, melainkan yang paling royal menggelontorkan uang.
Akibatnya, kualitas representasi rakyat di lembaga legislatif menjadi dipertanyakan, karena tidak berbasis pada kemampuan atau visi, melainkan pada kedalaman kantong.
Baca Juga: Menyorot Gaya Hidup Bobby, Kaesang dan Paus
Kedua, demokrasi transaksional menciptakan lingkaran setan korupsi. Para legislatif yang terpilih melalui cara ini akan cenderung mencari cara untuk 'mengembalikan modal', yang tidak jarang berujung pada tindakan koruptif.
Hal ini tidak hanya merugikan negara dari segi finansial, tetapi juga merusak integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan.
Demokrasi transaksional adalah cermin dari kemerosotan nilai dan integritas politik kita. Untuk menjaga agar demokrasi tetap menjadi sistem yang berlandaskan pada aspirasi dan kepentingan rakyat, kita harus bersama-sama berkomitmen untuk mengeliminasi praktik transaksional ini dari sistem politik kita. Saatnya kita kembali kepada esensi demokrasi yang sejati: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pendapat Mahfud Md tak beda jauh dengan Iyud Dwi Mursito. Jangan-jangan Bamsoet juga idem.
***
Catatan jurnalistik saya menulis, pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2020 lalu, juga memperlihatkan berbagai fakta politik transaksional. Antara lain terjadi barter politik, politik biaya tinggi dan politik uang dalam perilaku memilih.
Perilaku Politik Transaksional yang terjadi tahun 2020 itu sudah mencoreng tujuan demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu yang berakibat pada proses pemilu yang tidak demokratis. Ini memunculkan ketidakpercayaan masyarakat dengan munculnya prilaku pejabat terpilih yang korup.
Lalu, bagaimana dengan anggaran Pilkada Serentak 2024 yang ditaksir lebih dari Rp 41 Triliun untuk 37 Provinsi dan 508 Kabupaten/kota?. Apa anggaran sebesar ini juga dijadikan bancakan para politikus? Pertanyaannya, Bamsoet itu meledek siapa? Masak dirinya dan elite Golkar? Walaualam. ([email protected]).
Editor : Moch Ilham