Sejarah Kudeta dan Pendongkelan Soekarno

author Raditya Mohammer Khadaffi

- Pewarta

Kamis, 12 Sep 2024 21:49 WIB

Sejarah Kudeta dan Pendongkelan Soekarno

i

Catatan Politik, Wartawan Surabaya Pagi, Raditya M. Khadaffi

SURABAYAPAGI.com - Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH, mantan Ketua MK dalam Seminar Nasional Kebangsaan di Surabaya, September 2021, lalu mengakui agar masalah dugaan terjadinya pelanggaran hukum oleh Presiden Soekarno dapat diselesaikan melalui proses hukum yang pelaksanaannya diserahkan kepada pejabat Presiden Soeharto.

Menurut sejumlah sumber yang dijadikan rujukan Orde Baru, Soeharto secara de facto memegang kekuasaan di Indonesia setelah menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno. Namun, proses peralihan kekuasaannya dimulai setahun setelah Supersemar.

Baca Juga: Surabaya Barat, Lama-lama Jadi Marina Bay Casino

Jadi, kata Jimly, secara de jure, penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto disahkan dengan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 pada 12 Maret 1967.

Sama halnya dengan penulis Ari Santoso di laman DW.com, pada 7 Juni 2018 lalu. Ari, menulis rekam jejak Soeharto sebagai panglima atau komandan satuan, memberi andil pada perilakunya di ranah politik.

Ari menulis, bisa jadi apa yang dialami Soeharto sepanjang Mei 1998 adalah "hukum karma”, akibat dari tindakannya lebih dari tiga dekade sebelumnya. Apa? Soeharto naik menuju singgasana kekuasaan melalui strategi yang kemudian populer dengan sebutan kudeta merangkak.

Dan ini tidak seperti model kudeta pada umumnya, seperti biasa kita saksikan di Thailand, Filipina, atau negara-negara Amerika Latin. Disana, kudeta hanya berlangsung dalam hitungan hari, bahkan jam, layaknya operasi cepat khas militer.

Sementara kudeta versi Soeharto, dilakukan secara bertahap, dengan durasi hampir setengah tahun, terhitung sejak 1 Oktober 1965, dan mencapai puncaknya saat turunnya Supersemar (Maret 1966).

Ia menilai operasi yang dilakukan Soeharto relatif lama, melalui fase berliku, hingga memperoleh sebutan "merangkak”. Beda dengan kudeta yang kita pahami selama ini, ketika sepasukan tentara merangsek ke simbol-simbol negara, seperti istana atau gedung parlemen, dengan dukungan kendaraan lapis baja.

Hukum karma seolah terjadi, ketika strategi kudeta merangkak itu diadopsi oleh sejumlah anggota kabinetnya. Dengan dimotori Ginandjar Kartasasmita (Menko Ekuin), mereka balik menentang Soeharto, pada hari-hari genting pertengahan Mei 1998.

 

***

 

Minggu ini, Putra sulung Ir. Soekarno, Guntur Soekarnoputra menerima surat tidak berlakunya lagi TAP MPRS No. XXXII/MPRS/1967.

Menurutnya, penerimaan surat ini membuktikan pelengseran Ir. Soekarno sebagai Presiden pertama RI, tidak sah. "Tentang pencabutan kekuasaan negara dari Presiden Soekarno atau tentang pendongkelan Presiden Soekarno yang dilakukan secara tidak sah," kata Guntur di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2024).

Guntur mengatakan kehadiran dirinya bukan hanya mewakili keluarga besar Bung Karno, namun juga seluruh rakyat Indonesia. Terutama masyarakat yang memiliki jiwa patriotis dan nasionalis yang mencintai Ir. Soekarno dari dulu hingga saat ini.

"Ya, saya memang harus mengatakan demikian karena faktanya kami telah menunggu selama lebih dari 57 tahun enam bulan alias 57 tahun setengah, akan datangnya sikap perikemanusiaan dan keadilan sesuai dengan Pancasila, yang di mana termaktub sila kemanusiaan yang adil dan beradab dari lembaga MPR kepada Bung Karno," tuturnya.

Guntur mengatakan Presiden Sukarno telah diberhentikan dari jabatan Presiden Republik Indonesia alias didongkel secara tidak sah. Bagi keluarga besarnya, masalah Bung Karno harus berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia adalah perkara biasa.

“Karena memang kekuasaan seorang Presiden Indonesia harus ada batasnya tidak peduli tidak peduli siapapun dia Presiden Indonesia itu, memang harus ada batasnya," ucapnya.

Guntur menegaskan Ir. Soekarno di dalam menerima pengangkatan MPRS sebagai presiden seumur hidup sudah menjelaskan secara tegas pada sidang yang berikutnya, keputusan itu harus ditinjau kembali. Dan ketika Ir. Soekarno diberhentikan sebagai pemimpin bangsa dengan alasan pengkhianatan, Guntur mengatakan keluarganya tidak bisa menerima.

"Yang tidak dapat kami terima adalah alasan pemberhentian Presiden Soekarno karena dituduh melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara dengan memberikan dukungan terhadap pengkhianatan dan pemberontakan G30SPKI pada 1965 yang lalu," ujarnya. Guntur adalah saksi sejarah pendongkelan Soekarno, yang kebetulan anak sulungnya.

 

***

 

Dalam KBBI, arti mendongkel adalah menyungkit; menuil: pencuri mencoba ~ brankas itu, tetapi tidak berhasil; 2 ki menggeser atau menurunkan (dari jabatan dan sebagainya):

Baca Juga: Kapolri Instruksikan Kapolda Tidak Ragu Tindak Perjudian

Akal sehat saya bilang "pendongkelan" itu terjadi 58 tahun. Sampai saat ini, saya yang generasi lahir 1980, juga belun tahu keberadaan naskah asli Supersemar . Namun, peristiwa ini tetap memberi pelajaran bagi sejarah, kudeta atau pendongkelan.

Berdasar Tap MPRS No XIII/1966, Presiden Soekarno menugaskan Letjen Soeharto selaku Pengemban Tap MPR No IX/1966 untuk pembentukan Kabinet Ampera.

Saat itu, Letjen Soeharto menjadi ketua presidium kabinet tersebut. Bung Karno mengumumkan susunan kabinet tersebut pada tanggal 25 Juli 1966. Letjen Soeharto dan Adam Malik duduk mendengarkan.

Dikutip dari Wikipedia, Pada 11 Maret 1966, Soekarno menandatangani Surat Perintah yang dikenal sebagai Supersemar yang menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi landasan Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.

Berdasar Tap MPRS No XIII/1966, Presiden Soekarno menugaskan Letjen Soeharto selaku Pengemban Tap MPR No IX/1966 untuk pembentukan Kabinet Ampera. Letjen Soeharto menjadi ketua presidium kabinet tersebut. Bung Karno mengumumkan susunan kabinet tersebut pada tanggal 25 Juli 1966. Letjen Soeharto dan Adam Malik duduk mendengarkan.

Istana Bogor, Jawa Barat, hingga kini, menjadi saksi. 58 tahun lalu, di salah satu paviliun di kompleks Istana Kepresidenan itu, Presiden Soekarno menerima tiga perwira TNI AD, yakni Brigadir Jenderal Basuki Rahmat, Brigadir Jenderal M Jusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud pada 11 Maret 1966. Pada hari itu, lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Dengan Supersemar, kekuasaan Presiden Soekarno dilucuti satu per satu. Hingga akhirnya Jenderal Soeharto, berkuasa .

 

***

 

Ada background lain, pada 1961-an, Presiden Soekarno gencar merevisi kontrak pengelolaan minyak oleh asing di Indonesia. Sebanyak 60 persen dari keuntungan perusahaan minyak asing menjadi jatah pemerintah. Kebanyakan gerah dengan peraturan itu.

Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri. Asvi menuturkan sebuah arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember 1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia.

Soeharto yang propemodal asing, datang ke sana menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan asing itu.

Baca Juga: Tak Dikasih Rumah Dinas, Syukurilah Gajimu

“Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu,” kata Asvi seperti yang ditulis merdeka.com.

Ditulis, sebelum tahun 1965, seorang taipan dari Amerika Serikat menemui Soekarno. Pengusaha itu menyatakan keinginannya berinvestasi di Papua. Namun Soekarno menolak secara halus. “Saya sepakat dan itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada generasi setelah saya,” ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno.

Soekarno berencana modal asing baru masuk Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri Indonesia siap mengelola. Dia tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan orang Indonesia memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar ke negara-negara lain.

Soekarno boleh saja membuat tembok penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon pengelola negara. Namun, Asvi menjelaskan usaha pihak luar ingin mendongkel kekuasaan Soekarno tidak kalah kuat. Ini sejarah yang tidak diajarkan di bangku sekolah formal.

 

***

 

Catatan jurnalistik saya menyimpan file tentang Soekarno. Ia lahir dengan nama Koesno Sosrodihardjo, putra dari Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai menjalani masa kecilnya sebagai anak yang sakit-sakitan. Oleh karena itu, keduanya memutuskan untuk mengubah nama sang anak dari “Koesno Sosrodiharjo” menjadi “Soekarno”. Namun siapa yang mengira bahwa nama Karno yang diberikan oleh keduanya justru menjadi nama tokoh kunci dalam kemerdekaan Indonesia. Ini adalah sejarah Bung Karno.

Kejadian yang ia alami sejak masa perjuangannya hingga didongkel adalah kejadian dan peristiwa yang berhubungan dengan manusia, yang menyangkut perubahan nyata di dalam kehidupan manusia. Ini sejarah Soekarno, bila membaca koleksi buku Eyang Kakung saya, banyak cerita yang tersusun secara sistematis.

Tak salah BK, mempopulerkan Jasmerah. Akronim ini merupakan pesan herois jangan sekali-kali melupakan sejarah atau jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

Istilah tersebut memang sangat populer di Indonesia. Jasmerah dipopulerkan oleh presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno.

Dan beliau sering berpidato menggunakan kata "Jas Merah" atau jangan melupakan sejarah. Pesan ini disampaikan Soekarno agar bangsa Indonesia tidak sekali-kali meninggalkan sejarah perjuangan. Merdeka! ([email protected])

Editor : Raditya Mohammer Khadaffi

BERITA TERBARU