SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Saya mengkritik keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mencabut nama Presiden kedua RI Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan yang bersih tanpa Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).
Menurut saya, langkah itu menunjukkan sikap para elite politik yang tidak ingin ada hukuman baik secara politik maupun pidana kepada mantan presiden.
Baca Juga: Kajian Akademis Kepemimpinan Soeharto yang Otoriter
Saya menilai langkah itu menunjukkan para elit tidak ingin ada penghukuman secara politik dan hukum kepada mantan presiden.
"Kami khawatir para elite ini tidak menginginkan adanya model penghukuman secara politik dan hukum pada mantan presiden. Padahal, menurut kami dalam sebuah negara demokratis penghukuman bagi penguasa yang dzalim yang melakukan kesalahan itu sangat wajar.
Saya mencontohkan kasus yang menjerat Donald Trump di Amerika Serikat (AS). Meski Trump mencalonkan diri kembali sebagai presiden, tetapi kasus hukumnya yang berkaitan dengan pelecehan seksual dan pajak terus berjalan. Begitu juga dengan negara lain, mantan presiden yang bersalah tetap dihukum.
Bivitri menegaskan berdasarkan kajian administrasi dan tata negara, kesalahan mantan presiden harus diungkap.
Baca Juga: Layakkah Soeharto, Digelari Pahlawan Nasional
Saya tahu, memang Soeharto telah meninggal dunia, tapi penghukuman secara tata negara dalam penyebutan dan TAP MPR tidak salah.
Bagi saya, penyebutan dan TAP MPR tidak salah, bukan berarti kita menanggalkan nilai maaf-maafan kita sebagai orang Indonesia.
Apakah kita memaafkan karena beliau sudah meninggal? Ya, silakan. Tapi jangan lupa pertanggungjawaban politik dan hukum tata negara dan administrasi negaranya harus tetap ada. Dan itu lah gunanya ketetapan MPR sebagai pernyataan politik? n rmc
Baca Juga: Dicap Guru Korupsi, Soeharto Diwacanakan Digelari Pahlawan Nasional
*) Disampaikan dalam diskusi Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Minggu (29/8/2024).
Editor : Moch Ilham