Hingga 2023, Anggota DPR dan DPRD yang Terjerat Kasus Korupsi Capai 344 orang. Ada 161 Bupati/Wali kota dan 24 Gubernur Terjerat Kasus Korupsi
Baca Juga: Diusulkan Berlaku Seumur Hidup, Karena SIM dan STNK Untungkan Vendor
SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo, meminta kepada calon pimpinan KPK untuk mengkaji kembali sistem demokrasi langsung yang dipilih saat ini. Nyatanya, sistem demokrasi langsung, menjadi penyebab kasus korupsi sulit diberantas. Karena biaya yang tinggi itu, tidak heran jika ada anggota dewan atau kepala daerah yang sering terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
"Demokrasi kita lebih menjurus kepada NPWP, nomor piro-wani piro. Hal ini mendorong meningkatkan tindak pidana korupsi," kata Bamsoet, dalam keterangan tertulis, Selasa (19/11/2024).
Bambang Soesatyo menuturkan politik berbiaya tinggi yang terjadi saat ini di Indonesia menjadi salah satu biang kerok penyebab korupsi, khususnya oleh pejabat publik yang terpilih melalui pemilihan langsung, termasuk pilkada.
Data Pelaku Korupsi Pejabat
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari tahun 2004 hingga 2023, anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi mencapai 344 orang. Sementara sebanyak 161 bupati/wali kota dan 24 gubernur juga terjerat kasus korupsi.
"Sistem demokrasi pemilihan langsung dalam pemilihan pimpinan daerah, pusat ataupun legislatif sangat rentan dengan money politic dan biaya tinggi, sehingga sangat berpotensi menggiring orang untuk terjerat dalam tindak korupsi. Karena saat maju dalam pemilihan memerlukan biaya yang tinggi, maka saat terpilih mereka terkadang menghalalkan segala cara agar biaya yang telah dikeluarkan bisa kembali," tambahnya.
"Apa sebenarnya yang mendorong korupsi ini sulit diberantas baik oleh KPK, kejaksaan maupun kepolisian? Apakah pilihan sistem demokrasi yang kita anut hari ini yang memaksa, mendorong orang-orang yang memiliki jabatan publik itu melakukan tindak pidana korupsi? Sudah saatnya dikaji kembali apakah sistem demokrasi langsung yang kita anut lebih banyak manfaatnya atau mudharatnya," pungkasnya.
Saat Fit and Proper tes
Pernyataan Bambang Soesatyo itu disampaikan dalam fit and proper tes calon pimpinan KPK di Komisi III DPR RI, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Fit and proper test calon pimpinan KPK hari pertama yang digelar dari siang hingga malam hari ini diikuti oleh empat calon dari total sepuluh calon. Keempat calon tersebut adalah Setyo Budiyanto, Poengky Indarti, Fitroh Rohcahyanto dan Michael Rolandi Cesnanta Brata.
Baca Juga: RUU Tax Amnesty, Mulai Dibahas Komisi XI DPR
Bamsoet memaparkan hasil kajian KPK menyebutkan untuk menjadi bupati atau wali kota dibutuhkan biaya setidak-tidaknya Rp 50-100 miliar. Biaya politik tinggi juga dikeluarkan para anggota legislatif untuk ikut Pemilu.
Dengan adanya biaya tinggi tersebut, memungkinkan para pejabat yang terpilih tidak langsung bekerja untuk rakyat, tetapi berpikir terlebih dahulu bagaimana mengembalikan uang yang telah dikeluarkan.
"Artinya apa? Di satu sisi, sistem demokrasi makin lama makin lari dari substansinya," kata Ketua MPR RI ke-15 tersebut.
Sejak Tahun 1998
Mengutip dari buku Mengenal Lebih Dekat Demokrasi di Indonesia (2012) yang ditulis oleh Nadhirun, sejarah demokrasi di Indonesia menyebut demokrasi Reformasi ditetapkan tahun 1998 sampai sekarang.
Berakhirnya rezim orde baru yang berkuasa selama 32 tahun melahirkan demokrasi baru yang dikenal dengan istilah era reformasi. Era reformasi adalah fase demokrasi yang kembali ke prinsip dasar demokrasi pemilu secara langsung.
Baca Juga: DPR Ingin Reformasi Rutan dan Lapas, Agar Lebih Memanusiakan
Capim Ingin Tiadakan OTT
Sementara calon pimpinan KPK periode 2024-2029, saat fit and proper test, Johanis Tanak, berencana akan menghapus operasi tangkap tangan (OTT). Pernyataan ini bila Johanis Tanak terpilih sebagai ketua KPK.
"Seandainya bisa jadi, mohon izin, jadi ketua, saya akan tutup. Karena itu tidak sesuai pengertian yang dimaksud dalam KUHAP," kata Tanak di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Pria yang saat ini menjabat Wakil Ketua KPK itu beralasan, terminologi OTT tak tepat. Operasi, kata dia, merujuk KBBI adalah orang yang akan melakukan operasi layaknya dokter. Sementara itu, pengertian tertangkap tangan menurut KUHAP adalah suatu peristiwa yang dilakukan seketika tanpa melalui proses perencanaan.
"Kalau ada suatu perencanaan operasi itu, terencana, satu dikatakan suatu peristiwa itu ditangkap, ini suatu tumpang tindih. Menurut hemat saya OTT itu tidak tepat," tutur Johanis.
Ia mengaku selama dirinya menjadi pimpinan KPK hanya mengikuti tradisi yang sudah berjalan di tubuh internal lembaga antirasuah itu.
Oleh karena itu, Johanis memandang OTT yang diterapkan KPK saat ini tidak tepat. "Seperti saya katakan kita itu menjalankan peraturan perundangan. Bukan berdasar logika," kata Johanis. n jk/erc/rmc
Editor : Moch Ilham