DPR Ingatkan Zonasi untuk Dekatkan Akses Pendidikan, Kurangi Ketimpangan Kualitas Sekolah, dan Cegah Diskriminasi. P2G Nilai Pernyataan Wapres Terkesan Tergesa-gesa dan Reaksioner
Baca Juga: Lapor Mas Wapres, Prioritaskan Penyalahgunaan Kekuasaan
SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Ternyata, Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka , yang meminta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti menghapus jalur zonasi dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Gibran, satu pikiran dengan Jokowi ayahnya.
Tahun 2023 lalu, Jokowi, telah menjelaskan kebijakan PPDB sistem zonasi banyak menimbulkan masalah baru di banyak daerah, demikian diungkapkan pejabat humas Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, yang dihubungi Surabaya Pagi, Jumat siang (22/11/2024).
Berbeda dengan Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian. Anggota Fraksi Golkar ini tidak sependapat dengan Gibran Rakabuming.
Hetifah, awalnya bicara terkait alasan adanya zonasi untuk para siswa. Dia menyebut kebijakan itu mengurangi ketimpangan kualitas sekolah hingga mencegah diskriminasi, tapi memang masih menghadapi tantangan dalam pengimplementasian.
"Zonasi diperkenalkan untuk mendekatkan akses pendidikan, mengurangi ketimpangan kualitas sekolah, dan mencegah diskriminasi. Namun, sistem ini memang menghadapi tantangan implementasi, seperti ketidaksiapan fasilitas pendidikan di berbagai wilayah dan ketimpangan kualitas antar sekolah," ingat Hetifah saat dihubungi, Kamis (21/11/2024).
Pernyataan Wapres Gibran Reaksioner
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai pernyataan Wapres Gibran Rakabuming Raka yang akan menghapus Sistem PPDB Zonasi terkesan tergesa-gesa dan reaksioner. Menurut P2G, perlu ada kajian akademik yang objektif terkait penghapusan sistem PPB ini.
"Sejauh ini, kami dari P2G tidak melihat Mendikdasmen Abdul Muti sudah melakukan kajian dan pelibatan publik dalam diskusi yang mengundang semua unsur pemangku kepentingan pendidikan seperti: organisasi pendidikan, organisasi guru, akademisi, kampus LPTK, dan orang tua murid," ujar P2G dalam keterangan resmi yang diterima detikEdu Jumat (22/11/2024).
P2G membenarkan jika Mendikdasmen Abdul Muti sudah mengumpulkan para kepala dinas pendidikan untuk evaluasi kebijakan. Namun, publik belum melihat bagaimana hasil rekomendasinya.
"Jangan sampai keputusan mendadak menghapus sistem PPDB Zonasi ini berdampak kontraproduktif kepada siswa dan sistem pendidikan secara umum, yaitu makin tingginya angka putus sekolah, menciptakan kastaisasi sekolah kembali, biaya pendidikan di sekolah swasta makin mahal, dan anak-anak dari keluarga miskin makin tertinggal jauh di belakang," tegas P2G.
Dengar Pendapat Publik Dulu
Hetifah pun memandang perlu ada langkah-langkah yang harus ditempuh sebelum mengambil keputusan menghapus PPDB zonasi. Salah satunya, kata dia, berdiskusi atau mendengar pendapat publik serta stakeholder.
"Mendengar pendapat publik dan stakeholder, dengan mengundang para pemangku kepentingan, termasuk Mendikdasmen, dinas-dinas pendidikan, guru, orang tua siswa, dan pemerhati pendidikan, untuk membahas efektivitas zonasi serta keluhan masyarakat. Mengkaji dampak zonasi, seperti melakukan evaluasi mendalam terkait dampak positif dan negatif dari sistem zonasi sejak diberlakukan," ucapnya.
Selain itu, Hetifah menilai perlu ada alternatif lain jika memang hendak menghapus PPDB zonasi. Dia menganggap perlu adanya alternatif lebih adil.
"Mengeksplorasi alternatif. Jika sistem zonasi dianggap tidak efektif, maka diperlukan alternatif yang lebih adil, seperti seleksi berbasis nilai (PPDB jalur prestasi diperkuat) atau dengan tambahan kuota afirmasi bagi siswa dari keluarga tidak mampu (memperbesar porsi PPDB jalur afirmasi)," ujar dia.
Pemicu PPDB Zonasi
Hetifah pun mendorong adanya peningkatan kualitas terlebih dulu. Menurutnya, pemicu tidak berjalan lancarnya PPDB zonasi karena kualitas pendidikan yang tidak merata.
"Mendorong peningkatan kualitas pendidikan merata. Masalah utama yang memicu kritik terhadap zonasi adalah ketimpangan kualitas antar sekolah. Terkait ini, Komisi X mendesak pemerintah mempercepat pemerataan sarana dan prasarana pendidikan," jelasnya.
Dia juga mendorong adanya pelibatan sekolah swasta. Menurutnya, peran sekolah swasta dapat menjadi alternatif bagi Siswa di luar zonasi dengan membuka akses pendidikan bagi semua kalangan.
"Sekolah swasta sebenarnya dapat membantu meringankan tekanan pada sekolah negeri. Sekolah swasta dapat berpartisipasi dalam program afirmasi dengan menyediakan beasiswa atau subsidi untuk siswa dari keluarga kurang mampu. Pemerintah perlu menjalin kemitraan dengan sekolah swasta untuk merancang kebijakan insentif, seperti subsidi biaya pendidikan atau bantuan operasional, agar sekolah swasta lebih terjangkau bagi masyarakat," tutur dia.
"Sekolah swasta juga perlu dilibatkan dalam perencanaan strategis pendidikan daerah untuk melengkapi kapasitas sekolah negeri. Tapi, Pemerintah harus memastikan regulasi mendukung sinergi antara sekolah negeri dan swasta, termasuk memberikan insentif kepada sekolah swasta yang berkontribusi dalam pemerataan pendidikan. Dengan sinergi antara sekolah swasta, sekolah negeri, dan pemerintah, sistem pendidikan nasional, termasuk PPDB zonasi, dapat lebih efektif dan inklusif," sambung dia.
Baca Juga: Buka Hotline Lapor Mas Wapres, Gibran Ngaku Serba Salah
Atas dasar itu lah, Hetifah berharap zonasi tidak seharusnya dihapus tanpa solusi yang baik. "Langkah mendesak adalah memastikan kebijakan pendidikan tetap menjunjung prinsip keadilan, aksesibilitas, dan peningkatan mutu pendidikan. Zonasi tidak semestinya langsung dihapus tanpa solusi yang lebih baik," imbuhnya.
2023, Jokowi Sudah Pertimbangkan
Gibran Rakabuming Raka mengaku telah meminta Mendikdasmen Abdul Mu'ti menghapus jalur zonasi dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Gibran mengatakan kunci Indonesia Emas 2045 adalah pendidikan.
"Kalau kita bicara generasi emas, Indonesia 2045, ini kuncinya ada di pendidikan, kuncinya ini ada di anak-anak muda. Makanya kemarin pas rakor dengan para kepala dinas pendidikan, saya sampaikan secara tegas ke Pak Menteri Pendidikan, sistem zonasi harus dihilangkan," kata Gibran saat sambutan dalam acara Tanwir I Pemuda Muhammadiyah di Aryaduta, Jakarta Pusat, Kamis (21/11).
Presiden Jokowi mengakui akan mempertimbangkan untuk menghapus penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi. Namun, dia akan mengecek secara mendalam kekurangan dan kelebihan dari pelaksanaan PPDB sistem zonasi.
Wacana soal penghapusan soal PPDB ini juga disampaikan Wakil Ketua MPR RI Ahmad Muzani pada 8 Agustus 2023, di mana Jokowi mempertimbangkan untuk menghapus kebijakan PPDB pada tahun depan.
Dia menjelaskan bahwa kebijakan PPDB sistem zonasi banyak menimbulkan masalah baru di banyak daerah.
Wacana soal penghapusan soal PPDB ini juga disampaikan Wakil Ketua MPR RI Ahmad Muzani pada 8 Agustus 2023, di mana Jokowi mempertimbangkan untuk menghapus kebijakan PPDB pada tahun depan.
Dia menjelaskan bahwa kebijakan PPDB sistem zonasi banyak menimbulkan masalah baru di banyak daerah.
Muzani menilai tujuan PPDB untuk pemerataan sekolah-sekolah unggul bagi peserta didik justru tak tercapai. "Yang terjadi justru sekolah unggul jadi unggul, yang enggak unggul malah tidak unggul," ujarnya.
Terkait pernyataan Presiden Jokowi, Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anang Ristanto mengatakan, pihaknya selalu terbuka terhadap segala masukan dari seluruh pihak.
"Kemendikbudristek selalu terbuka untuk menerima semua masukan dan saran sebagai bahan evaluasi dan perbaikan pelaksanaan PPDB di daerah masing-masing," kata dia, Jumat (11/8/2023).
Baca Juga: Gibran, Ngaku Pernah "Dikerjai" Nadiem Makarim
Menurut Anang, pihaknya terus melakukan pemantauan dan evaluasi PPDB di daerah.
"Saat ini, Kemendikbudristek telah membentuk Satuan Tugas yang bertugas khusus untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PPDB di daerah demi meningkatkan pelaksanaan PPDB di masa yang akan datang," jelas dia.
Korban Diskriminasi Kian Merajalela
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji justru mempertanyakan sikap Presiden Jokowi tersebut. Menurut dia, masalah utamanya bukan pada PPDB sistem zonasinya.
"Kalau zonasi dihapus terus diganti apa? Itu pertanyaannya. Kalau diganti prestasi atau berdasarkan nilai ya kita balik ke era primitif dan zaman jahiliyah. Korban diskriminasi kian merajalela. Problem sesungguhnya adalah bukan pada zonasi tapi tidak dapat kursi," kata dia kepada Jumat (11/8/2023).
Ubaid menerangkan, kursi di sekolah negeri itu sangat minim. Hanya tersedia 30-40 persen dari total kebutuhan. "Ibarat kata yang mau hadir di acara kondangan, itu 1.000 orang tapi porsi makanan dan kursi yang tersedia hanya 250. Ya pasti akan ricuh," jelas dia.
"Kewajiban pemerintah adalah sediakan kursi, bukan ribut buat sistem bagaimana mengatur 250 orang tadi. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana 1.000 orang tadi dilayani secara setara dan berkeadilan. Jangan 250 orang gratis masuk negeri sampai lulus, sementara mayoritas harus bayar sendiri," sambung Ubaid.
Dorong Daya Tampung Sekolah
Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Nisa Felicia berpendapat, secara prinsip tidak ada yang salah dengan sistem zonasi. Bahkan justru, penerapan sistem zonasi bisa menjadi praktik pendidikan ke arah yang lebih baik sejak diterapkan secara umum pada 2018.
Yang harus didorong saat ini adalah bagaimana agar pemerintah bisa menambah daya tampung sekolah negeri hingga merata di setiap kecamatan, atau menyediakan regulasi proporsional yang bisa mengakomodir ketimpangan jumlah sekolah negeri di daerah.
Dia mengakui, tidak ada yang salah dengan realita itu. Namun, karena biaya pendidikan di sekolah negeri menggunakan anggaran dari negara yang bersumber dari pajak masyarakat, maka harus digunakan secara berkeadilan, Jumat. n jk/erc/rmc
Editor : Moch Ilham