SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Mulai awal tahun 2025 ada lonjakan harga cabai di berbagai daerah hampir merata di Indonesia.
Harga cabai rawit di pasar tradisional di Surabaya, terus melonjak tajam lebih dari 100 persen usai perayaan tahun baru 2025. Kenaikan ini dipicu cuaca buruk yang menyebabkan penurunan hasil panen petani.
Baca Juga: Patrick Kluivert, Keturunan Suriname-Curacao, Dipacaki Indonesia
Di antaranya di Pasar Karah dan Dukuh Kupang. Harga cabai rawit dijual pedagang mencapai Rp120 sampai Rp130 ribu per kilogram (kg), naik 100 persen dari harga normal sebesar Rp40 ribu per kg.
"Harga cabai sekarang naik mas, biasanya Rp30 sampai Rp40 ribu per kg, sekarang naik Rp130 ribu per kg," kata Syifa, 43, salah satu pedagang di Pasar Karah, Rabu, (8/1) .
Kenaikan yang sama juga terjadi di Pasar Dukuh Kupang Surabaya, di mana cabai rawit dijual dengan harga Rp120 ribu hingga Rp130 ribu per kg. Padahal sebelumnya, harga cabai rawit hanya berkisar Rp35 ribu per kg.
"Kenaikan harga ini terjadi secara bertahap dalam beberapa minggu terakhir. Tapi lonjakan harga cabai rawit terjadi drastis tadi malam, kemungkinan besar karena cuaca buruk yang mempengaruhi hasil panen," kata Juminah, salah seorang pedagang di Pasar Dukuh Kupang.
Juga di pasar tradisional di Jakarta, harganya mencapai Rp 110.000 per kg.
Sementara di Pasar Tradisional Kebonagung, Pasuruan. Cabai rawit merah yang sebelumnya dihargai Rp 65.000 per kilogram, kini naik menjadi Rp 110.000. Lalu cabai rawit hijau melesat dari Rp 45.000 menjadi Rp 70.000 per kilogram.
Hal yang sama juga terjadi di Yogyakarta, dimana Data dari Dinas Perdagangan Kota Yogyakarta, harga cabai rawit Rp 100.000 per kilogram sudah terjadi sejak 6 Januari 2025. Ketua Tim Kerja Ketersediaan dan Pengendalian Harga Disdag Kota Yogya, Evi Wahyuni, menyampaikan, petani di beberapa sentra produksi cabai, seperti Boyolali, melaporkan gagal panen.
Harga cabai rawit yang mahal membuat beberapa pembeli memilih menahan diri dan mengurangi konsumsi. Hal ini membuat pedagang mengeluhkan sepinya pembeli. Guna menarik pembeli, pedagang di Pasar Tradisional Karangketug Kota Pasuruan, sejumlah pedagang mulai menjual cabai rawit campur.
Cabai rawit campur atau “cabai pelangi” dijual dengan mencampur cabai rawit super dengan cabai rawit hijau agar harga lebih terjangkau. "Karena pelanggan saya lebih memilih harga yang di bawah Rp 90 ribu per kilonya, yakni lombok warna pelangi atau campur," ujar Panji. Ini cabai oplosan, bukan cabai pelangi sesungguhnya.
***
Dikutip dari akun thehippyseedcompany.com, cabai Pelangi adalah hasil panenan. Di Bolivia, disebut Cabai numex twilight. Cabai pelangi ini merupakan salah satu varietas cabai yang dikembangkan di New Mexico dengan tinggi tanaman sekitar 18 inci dengan buah yang pertama kali berwarna ungu kemudian akan berubah warna menjadi kuning dan oranye lalu menjadi merah ketika sudah matang.
Sebagai bonus, rasa pedas dari cabai pelangi Bolivia dapat bervariasi di antara warna. Karena tahap perkembangan yang berbeda, sehingga seseorang bisa mendapatkan sedikit kejutan saat memakannya . Cabai pelangi ocok untuk ditambahkan ke salsa dan salad.
Dengan tingkat kepedasan sedang, cabai ini memberikan rasa pedas yang memuaskan. Sempurna bagi mereka yang menyukai sedikit rasa pedas tanpa rasa yang berlebihan. Cabai ini memiliki tingkat kepedasan antara 30.000 – 50.000 SHU pada skala Scoville .
*
Baca Juga: KPK Diolok-olok Megawati, Malah Defend
Badan Pangan Nasional (Bapanas) membeberkan penyebab harga cabai rawit merah semakin mahal di pasaran. Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) mengungkap harganya kini telah tembus Rp 90.000 sampai Rp 100.000 per kilogram (kg).
Kepala Bapanas Arief Prasetyo mengatakan penyebab mahalnya harga cabai rawit karena jumlah panen di beberapa daerah yang menurun. Untuk itu, pihaknya memberikan solusi dengan memfasilitasi distribusi dari beberapa daerah yang produksinya tinggi.
"Kalau cabai, produk-produk hortikultura itu challenge-nya sebenarnya adalah kalau panennya shortage, maka harga akan tinggi. Sehingga salah satu solusinya adalah memfasilitasi distribusi dari beberapa daerah yang memang masih produksinya tinggi," kata Arief dalam acara Festival Pangan Nusantara di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Minggu.
Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman menambahkan, penyebab utama kenaikan harga bukan pada produksi, melainkan distribusi. Hal ini ia sampaikan merespons klaim Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang sebelumnya menyebut lonjakan harga disebabkan masalah produksi.
Amran menuturkan, harga cabai tiga minggu sebelumnya justru sempat anjlok hingga membuat petani merugi.
"Tiga minggu lalu kan hancur harganya. Beri napas lah ke petani, kasihan," kata Amran saat ditemui di kantornya, Kamis (9/1/2025).
*
Baca Juga: Pembiaran Anak Buah Memeras, Seorang Kombes Dipecat
Kendati demikian, dia tidak menampik kenaikan harga cabai juga disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, sehingga mengganggu produksi cabai nasional.
"Mungkin karena pengaruh curah hujan tinggi. Tapi produksinya cukup ya, ini karena distribusinya," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Taufiq Ratule menjelaskan bahwa produksi cabai nasional sebenarnya mencukupi kebutuhan. Katanya, produksi cabai nasional mencapai lebih dari 2 juta ton per tahun, jauh di atas kebutuhan tahunan sebesar 1,17 juta ton. Namun, distribusi yang tidak merata menjadi tantangan, terutama di tengah musim hujan.
"Cabai itu tidak bisa disimpan seperti bawang merah yang masih bisa menggunakan cold storage. Jadi masalahnya ada di distribusi, apalagi curah hujan tinggi yang menghambat logistik. Namun secara keseluruhan, produksi kita cukup," jelas Taufiq.
Menurut petugas dinas Pertanian, di dataran rendah masa panen pertama adalah pada umur 75 - 80 hari setelah tanam, dengan interval waktu panen 2 - 3 hari. Sedangkan di dataran tinggi agak lambat yaitu pada umur 90 - 100 hari setelah tanam dengan interval panen 3 – 5 hari.
Dengan informasi dari Mentan, Dirjen Hortikultura, Bapanas dan dinas pertanian daerah, penyebab kelangkaan cabai saat ini masih diperdebatkan. Berapa persen disebabkan distribusi. Dan panen di beberapa daerah yang menurun Sementara petani cabai rawit tradisional menyebut faktor terbesar berada di saluran irigasi. Kurangnya sumber air membuat gagal panen menjadi penyebab utama.
Maklum, banyak petani cabai yang belum teredukasi tentang masalah ini, sehingga ini akan menjadi tugas pemerintah untuk memajukan pertanian.
Nah, temuan pemerintah bahwa problem utama cawai rawit karena distribusi cabai yang tidak merata. Saatnya Jangan jangan dimainkan spekulan. ([email protected])
Editor : Moch Ilham