SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Awal minggu ini, pemerintah tiba tiba mulai soroti Shopaholic Indonesia yang doyan belanja di luar negeri. Salahkah mereka?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, beber data ada 10 juta orang terkaya Indonesia yang kabur belanja ke luar negeri.
Baca Juga: Wartawan Memeras, "Paparazi" yang tidak Bersertifikasi
Menteri mengaku kini pemerintah telah membuat sejumlah program untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Program itu ada Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas), Belanja di Indonesia Aja (BINA), dan Every Purchase is Cheap. Meski diklaim sukses mendatangkan cuan Rp71 triliun, Airlangga menyebut masih ada masalah yang belum selesai.
"Persoalan kita cuma satu, yaitu di tier satu, yang paling atas, yang 10 juta orang itu (orang kaya) belanjanya tidak di Indonesia," ungkapnya dalam BNI Investor Daily Round Table di Hotel Mulia Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (15/1).
"Nah, ini yang price sensitive terhadap produk yang tersedia. Dan juga terhadap assortment, jenis jumlah barang. Ini (10 juta orang kaya Indonesia) kebanyakan mereka belanjanya tidak di Indonesia, padahal itu daya beli yang kuat. Nah, itu yang sebetulnya kita perlu tarik juga ke sini," kata Airlangga seperti mengeluh.
Sayang dalam acara BNI Investor Daily Round Table di Hotel Mulia Senayan, Jakarta Pusat itu, Airlangga, tidak ungkapkan profesi 10 juta orang kaya di Indonesia? Berapa banyak orang kaya yang jadi penyelenggara negara?.
***
Himpunan Peritel dan Penyewa Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) membocorkan daftar barang yang sering dibeli 10 juta orang kaya RI di luar negeri.
Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah mengatakan barang-barang tersebut tak ada di dalam negeri. Pada akhirnya, kelompok tier I itu lebih memilih shopping di negara orang.
"Barang-barang branded, seperti tas, sepatu, jam, celana," ungkapnya dalam sambungan telepon dengan CNNIndonesia, Kamis (16/1).
"Itu kan (barang branded) di Indonesia pajaknya mahal, otomatis mereka belanja ke luar dan dipakai langsung. Sudah dipakai kan gak diminta pajak, misalnya dia beli jam langsung dipakai, pulang ke Indonesia gak mungkin diminta (pajak dan bea masuk)," tutur Budi.
Budi menegaskan untuk mengatasi masalah itu pemerintah tidak cukup menebar diskon belanja. Terlebih, ada momen-momen khusus kapan 10 juta orang terkaya di Indonesia itu melancong ke luar negeri.
Ia mengatakan masalah ini juga berhubungan dengan fasilitas kesehatan di tanah air. Bos Hippindo itu menyebut para orang kaya Indonesia kerap shopping di luar negeri saat tengah menjalani pengobatan.
"(Hippindo meminta) kemudahan impor untuk produk-produk yang dicari oleh 10 juta orang itu. Kenapa belanja ke luar karena barangnya di Indonesia gak ada. (Misalnya) rumah sakit, orang berobat ke luar negeri itu banyak," kata Budi.
"Sekarang pemerintah gencar mempermudah izin, baik dokter maupun rumah sakit luar negeri agar orang Indonesia tidak berobat di luar. Karena pada saat berobat (di luar negeri), sudah pasti belanja. Pada saat mereka berobat di Malaysia, ujung-ujungnya (belanja) makan, oleh-oleh, devisa kita ke luar," bebernya.
Menurutnya, Malaysia menjadi negara yang ketiban 'durian runtuh' dari pesatnya kemajuan sektor ritel. Budi mengatakan mal dan pusat perbelanjaan Negeri Jiran itu ramai dikunjungi orang-orang Indonesia.
Budi menghitung setiap orang kaya yang ke luar negeri belanja sekitar US$20 ribu alias Rp328 juta (asumsi kurs Rp16.402 per dolar AS). Ia memperkirakan kelompok tier I itu rutin ke Malaysia sekitar tiga bulan sekali.
"Filipina (dan) Vietnam juga ramai sekarang. Banyak orang Indonesia jalan-jalan (ke luar negeri), paling banyak ke Malaysia," tandasnya.
Juga Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja juga mengamini hal tersebut.
Alphonzus mengatakan konsumen kalangan atas punya keleluasaan dalam memilih lokasi belanja.
Sayang, produk yang dicari orang-orang kaya minim tersedia di Indonesia. Ini yang membuat mereka akhirnya memilih pergi ke luar negeri.
Ia menyebut sejak tahun lalu (2024), produk ataupun barang kelas atas apalagi kelas mewah ketersediaannya di Indonesia semakin terbatas, baik dalam hal jumlah maupun variasinya," jelas Alphonzus saat dikonfirmasi.
"(Keterbatasan stok barang kelas atas) akibat pemerintah memberlakukan pembatasan impor. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang mendorong belanja di luar negeri," tambahnya.
Pandangan dua asosiasi pusat belanja ini masukan untuk pemerintah. Persoalannya kompleks. Ada multiplafer efek dengan urusan berobat.
Baca Juga: Contempt of Court, Cabut "Nyawa" Dua Advokat
***
Beda dengan para shopaholic China pasca covid 19. Beberapa sumber mengungkap kini shopaholic China lebih banyak menghabiskan uangnya untuk membeli barang-barang mewah di dalam negeri.
Kondisi ini diproyeksikan mengancam destinasi dan merek asing di luar negeri yang bergantung pada turis-turis loyal asal China.
Dilansir dari Bloomberg, Rabu (3/5/2023), data dari Sandalwood Advisors, ada sekitar 62% pengeluaran yang dilakukan konsumen di China untuk membeli barang mewah per bulan April 2023. Angka ini meningkat 41% pada bulan yang sama di tahun 2019 atau tepatnya sebelum COVID-19.
Pertumbuhan positif ini terjadi di tengah pergeseran era pandemi, meskipun pembatasan mobilitas daratan telah dibuka kembali. Kondisi ini disinyalir akan berdampak besar pada destinasi dan merek asing yang dulunya bergantung pada kantong konsumen China.
Antusiasme para konsumen China untuk pergi ke luar negeri, kini menurun. Salah satunya lantaran naiknya harga barang-barang di seluruh dunia. Ditambah lagi, para konsumen melihat penawaran barang-barang mewah domestik telah berkembang jadi lebih canggih dan mudah dijangkau.
"Sebagian besar kekuatan konsumsi akan bertahan di pasar domestik karena kemudahan dan kenyamanan," kata analis senior di penyedia riset pasar Euromonitor International, Prudence Lai.
Sebelumnya, China sendiri merupakan sumber dari para turis loyal dengan pertumbuhan tercepat di dunia sebelum COVID-19, dengan pengeluaran belanja barang mewahnya mencapai 70% di luar negeri. Oleh karena itu, kondisi saat ini membawa kecemasan bagi tempat liburan dan belanja di Thailand hingga Italia yang menunggu para turis China.
"Pasar ritel di Asia yang populer di kalangan pembeli China akan melihat pemulihan yang lebih lambat dan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih kembali ke tingkat sebelum COVID-19 dibandingkan dengan industri perjalanan lainnya," ujar Prudence Lai.
Adapun perkembangan pasar barang mewah di China ini dapat di lihat di kawasan pusat perbelanjaan kelas atas di Hainan. Di kawasan bagian selatan, terjadi ledakan penjualan selama bertahun-tahun ketika pembatasan perjalanan diberlakukan hingga para turis potensial China terjebak di negaranya.
Pergeseran ini bahkan berdampak pada kota-kota mewah seperti Hong Kong dan Macau yang merupakan wilayah administrasi khusus China. LVMH, konglomerat top dunia pada bulan lalu mengalihkan sumber dayanya dari Hong Kong dan meningkatkan investasinya di kota-kota seperti Shanghai dan Shenzhen.
"Ke depan kami memperkirakan peningkatan yang lebih tinggi dari pengeluaran lokal dibandingkan dengan masa pra-COVID. Karena barang mewah sekarang lebih mudah diakses di daratan Tiongkok melalui perluasan toko selama bertahun-tahun secara nasional dan di Hainan." kata Kepala Peneliti Sandalwood, Agnes Xu.
Merek-merek produk mewah kenamaan dunia pun kini tengah bersiap menghadapi dampak dari kondisi tersebut. Salah satunya Procter & Gamble Co. (P&G) yang mengeluarkan produk perawatan kulit mewah SK-II, serta perusahaan produk-produk mewah Moët Hennessy Louis Vuitton (LVMH).
Baca Juga: Tebak "Raja Kecil" Gunakan Logika dan Imajinasi, Bahlil…?
Nah, itu strategi pemerintah China mengerem para shopaholic China, belanja uangnya ke luar negeri, Pak Airlangga.
***
Fenomena shopaholic adalah perilaku berbelanja secara berlebihan dan tidak bisa menahan keinginan untuk berbelanja. Shopaholic juga dikenal sebagai gangguan belanja kompulsif.
Dikutip dari laman repositori.usu.ac.id , dijelaskan Seorang shopaholic suka menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya. Mereka biasanya merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya. Namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya. Dan pada saat merasa stres, mereka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut.
Biasanya ingin memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu, jam atau barang-barang elektronik, dan lainlain yang tidak terhitung jumlahnya. Anehnya, barang-barang itu tidak pernah digunakan. Terkesan selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja, merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya. Da tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya. Hal ini disebabkan maraknya gaya hidup konsumerisme hedonistik, iklim kehidupan dan pola relasi sosial yang kian impersonal (lebih menekankan fungsi, tidak begitu peduli pada kebutuhan empati dan afeksi. Selain tempo kerja yang semakin cepat sehingga banyak orang mengalami keterasingan (alienasi) di tengah lingkungan hidupnya yang ia butuhkan.
Sementara, dari laman ejurnal.undana.ac.id membeberkan habitus belanja orang kaya. Antara lain pertumbuhan teknologi internet . Ini telah mengubah cara kita berbelanja. Tak heran banyak individu yang beralih ke belanja Online. Di tengah perubahan ini, anak muda menjadi salah satu kelompok yang signifikan dalam tren belanja Online dan perilaku Shopaholic.
Ada peneliti dari sebuah perguruan tinggi menyelidiki hubungan antara habitus belanja Online dan tren gaya hidup Shopaholic.
Penelitian menggunakan perspektif Cultural Studies. Metode penelitian melibatkan pendekatan kualitatif, dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan analisis konten terhadap narasi-narasi pengalaman belanja Online mahasiswa.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara habitus belanja Online dan tren gaya hidup Shopaholic di kalangan anak muda. Ada faktor-faktor seperti budaya konsumerisme, identitas sosial, dan tekanan sosial . Tiga hal ini memainkan peran penting dalam membentuk pola belanja Online dan perilaku Shopaholic.
Analisis ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana budaya dan identitas berinteraksi dengan teknologi untuk membentuk perilaku konsumen di kalangan anak muda tertentu.
Temuan ini memiliki implikasi penting untuk pemahaman lebih lanjut tentang dinamika konsumen di era digital, serta untuk pengembangan strategi intervensi yang lebih efektif dalam mengelola perilaku konsumsi Online yang berlebihan.
Studi ini juga memberikan kontribusi pada literatur Cultural Studies dengan melihat bagaimana budaya dan identitas berinteraksi dengan fenomena belanja Online di konteks pendidikan. ([email protected])
Editor : Moch Ilham