Home / CatatanHukum : Surat Terbuka untuk Rakyat Jawa Timur (2-habis)

Siapa Sesungguhnya Petarung Sejati, Gus Ipul atau Khofifah

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 15 Sep 2017 23:40 WIB

Siapa Sesungguhnya Petarung Sejati, Gus Ipul atau Khofifah

Rakyat Jatim yang Terhormat, Dengan telah disetujuinya Khofifah Indar Parawansa, oleh Presiden Jokowi untuk maju dalam Pilgub Jatim 2018, Gus Ipul, bakal punya lawan tanding yang seimbang. Prediksi saya, bila selama ini ribuan kiai menyatakan dukungan kepada Saifullah Yusuf, sebagai satu-satunya kader dari NU yang layak diusung maju di Pilgub Jawa Timur 2018. Setelah ini, saya perkirakan bakal bermunculan kyai, santri dan ulama memberikan dukungan ke Khofifah Indar Parawansa sebagai kader yang diunggulkan dan di usung untuk maju di Pilgub Jawa Timur. Keduanya adalah sama-sama kader terbaik NU usia dibawah umur 60 tahun. Ada yang bisa kita tunggu adalah deklarasi Khofifah. Setelah itu, kita simak sejauh mana pilihan politik kiai-kiai yang selama ini terbuka mendukung Gus Ipul. Bagi masyarakat khususnya para santri dari kaum Nahdliyin, pengaruh kiai-kiai sampai kini masih dominan, meski tidak seberpengaruh 10-20 tahun lalu. Maklum, realitas politiknya, mayoritas masyarakat Jawa Timur adalah warga NU. Rakyat Jatim yang Terhormat, Saya kini justru khawatir ekses dari rivalitas antara pendukung Gus Ipul dan Khofifah. Akankah, persaingan antar sesama kader NU ini dapat membuat Pilgub Jatim menjadi seperti Pilgub Jakarta, yaitu riuh dengan pertentangan dan polarisasi. Saat ini, perhitungan saya adalah polarisasi dua kutub yang berlawanan seperti ini dapat mengandung risiko konflik horizontal di antara pendukung seperti yang pernah terjadi di Jakarta. Prakiraan saya bila sampai terjadi kemungkinan polarisasi politik, lebih pada soal fanatisme dan gender daripada isu SARA seperti di Pilgub Jakarta. Maka itu, peran kiai-kiai tetap diharapkan agar munculnya rivalitas antara pendukung Gus Ipul dan Khofifah, dapat terkelola dan terkendali dengan santun. Terutama polarisasi di akar rumput NU, yang merupakan basis utama keduanya. Empat bulan lalu saya membaca hasil survei dari Lembaga Survei Politik Indonesia (LSPI) yang dipublikasikan. Ternyata jumlah pemilih rasional atau pemilih atas dasar preferensi mandiri mengalami peningkatan, yakni telah mencapai 30,30 persen. Ternyata tokoh yang berpengaruh dan masih menjadi rujukan masyarakat adalah kiai dan ulama. Jumlahnya mencapai 20,90 persen. Disusul elite politik 16,6 persen, aktivis terpelajar 9,1 persen, informal leader 8,3 persen, tokoh pemerintahan 6,9 persen, eksekutif bisnis 3,8 persen, dan tokoh pemuda 2,5 persen. Sementara terkait survei elektabilitas, pada bulan Juli lalu, Saifullah Yusuf, sudah mencapai angka 31,69 persen. Sementara Khofifah Indar Parawansa 21.74 persen. Dengan pengalaman Gus Ipul dan Khofifah, dua kali pilkada dimana Khofifah kalah tipis, bisa jadi tingkat elektabilitas Khofifah menyamai, bahkan bisa menyalip Gus Ipul. Pertanyaan saya, bisakah partai politik pendukung dua kandidat ini dapat bertarung secara jantan?. Rakyat Jatim yang Terhormat, Pengamatan saya sampai surat terbuka ini saya tulis, gegap gempitanya cagub Jatim di media lokal masih didominasi oleh Gus Ipul. Sementara perkenalan La Nyalla, sebagai ikut maju dalam Pilgub Jatim masih dianggap partisipasi demokrasi. Bisa juga kuda hitam. Berbeda bila Ketua Kadinda Jatim ini mendeklarasikan sebagai kandidat cagub Jatim melalui jalur parpol atau independen. Praktis, kini baru dua cagub Jatim yang telah menyapa publik dengan terstruktur. Dalam diri Gus Ipul, maupun Khofifah, pilgub 2018 ini adalah pertarungan ketiga? Lalu, siapa diantara dua orang ini yang benar-benar petarung sejati dalam politik pilkada secara langsung? Kemudian, bagaimana sifat seorang petarung yang sesungguhnya? Khofifah, harus diakui, politisi dari NU yang tak pernah bosan dan jera untuk terus berjuang meraih jabatan Kepala Daerah. Meski kini sudah "berpangkat Menteri", dia masih menyapa rakyat Jatim dengan merangkak menggunakan status Ketua Umum Muslimat NU. Sering berjuang dengan berdiri, berjalan, dan berlari. Saya memperhatikan, kerja keras Khofifah, yang ibaratnya sudah dua kali ikut pilkada di Jatim, tapi terjatuh. Tapi ia masih tidak mau menyerah. Khofifah, kini malah bertekad maju ikut mencalonkan lagi sebagai Gubernur Jatim yang ketiga. Ini bukti bahwa Khofifah adalah petarung sejati yaitu orang yang tidak pernah membuat dirinya kapok. Bahkan persiapan jelang Pilgub Juni 2018, tampaknya Khofifah semakin mempersiapkan diri dengan matang sebagai tantangan baru. Dalam pandangan orang manajemen yang mengenali effort, Khofifah, adalah politisi yang ibaratnya sudah membentur benda yang ada di sekelilingnya, ingin melampaui benturan. Ia sepertinya memiliki Gen manusia yang tidak menghiraukan kesakitan kecil. Apalagi untuk mendapatkan keinginan berupa kekuasaan politik tingkat propinsi. Saya yakin, Khofifah dengan semangatnya, seperti mewarisi sifat gen yang suka menaklukan setiap tantangan yang menghadangnya. Sepertinya, Khofifah, politisi yang tidak mau menjauhi tantangan. Apalagi dengan pengalaman dua kali menjabat sebagai menteri, ada aura yang meyakini Khofifah layak menjadi pemimpin roda pemerintahan di Jatim. Tak salah, Khofifah adalah “petarung” sejati yaitu manusia yang tak mengharapkan pujian dari siapapun. Kini, dalam suasana kebatinan, Khofifah yang pernah dihadang oleh Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar, sepertinya, saat ini Memiliki mental petarung atau fighter. Dengan gaya bicara yang andap asor, Khofifah, terkesan bukan politisi yang senang berkelahi atau ribut sana sini. Ia seperti menggenggam sikap orang yang tegar, berani dan pantang mundur dalam segala medan yang dilaluinya. Pilihan Khofifah, maju lagi yang ketiga pilgub ia bukan tipe orang yang lari saat menghadapi sebuah risiko. Petarung ulung seperti petinju Mohammad Ali, tak pernah mengenal istilah Melemparkan handuk saat pertarungan belum selesai. Apalagi masalah kepada orang lain (parpol PKB yang mengusungnya). Tipe ini bukan mental seseorang petarung. Seorang petarung sejati, selalu akan mengatakan, “Ya ini salah saya. Dan saya yang bertanggung jawab." Dalam pandangan saya, Khofifah, memang dua kali terluka sakit tak terkira. Tapi dengan keberanian mundur dari jabatan Menteri, untuk bertarung di tingkat lokal, mengesankan dia tipe politisi yang mampu melawan musuh-musuh politiknya. Bisa jadi dalam perhelatan yang ketiga Juni 2018 nanti, Khofifah meraih sebuah kemenangan yang nyata sebagai Gubernur Jatim penerus Pak De ([email protected])

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU