Home / CatatanHukum : Surat Terbuka untuk Gubernur Soekarwo, Gus Ipul, K

Soekarwo, Soekarno Kecil yang Kini Siapkan Penerusnya

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 22 Des 2017 01:28 WIB

Soekarwo, Soekarno Kecil yang Kini Siapkan Penerusnya

Gubernur Soekarwo, Khofifah, Gus Ipul, Anas dan Emil, Judul surat terbuka menjelang penutup kali ini, saya fokus menyoroti sosok Soekarwo, Gubernur dua periode yang membawa Provinsi Jawa Timur berprestasi seperti era Gubernur era Orde Baru, M. Noer. Bedanya, Soekarwo, benar-benar merakyat dan sampai sekarang konsisten tidak mau berbisnis meski dijadikan komisaris sebuah perusahaan sekali pun. Berbeda dengan M. Noer, yang juga pernah mendapat penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha seperti Soekarwo. Pemprov Jatim saat dipimpin M. Noer, tahun 1974 mendapat penghargaan tertinggi dari penguasa Orde Baru, Soeharto. Sedangkan penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha seperti Soekarwo, diperoleh tahun 2014, ketika Presiden Indonesia dipimpin oleh SBY. George Junus Aditjondro, seorang Sosiolog kelahiran Pekalongan 1946 lalu pernah menulis dalam bukunya yang berjudul ‘’Kasus korupsi’’ kepresidenan: reproduksi oligarki berkaki tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa. Dalam buku ini Junus menyebut M Noer sebagai antek Soeharto. Dia pernah menjabat sebagai Komisaris Stasiun Televisi SCTV milik anak Soeharto, Bambang Trihatmodjo bersama adik ipar Harmoko, Nyonya Yolla Zuraida Hasan. Junus juga menyebut M Noer disenangi keluar Soeharto, sehingga tak sungkan-sungkan memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan bisnis. Dia misalnya, disebut-sebut kerap mempengaruhi pengusaha di wilayahnya, sehingga mencantumkan namanya sebagai komisaris perusahaan-perusahaan itu. Nama M Noer misalnya, sempat tercatat sebagai komisaris pabrik sepatu PT Super Mitory Utama di Sidoarjo, pabrik plastik PT Berlina Co. Ltd. di Pandaan, pabrik barang-barang konsumen PT Unilever yang memiliki pabrik di Surabaya. Selain tercatat sebagai komisaris di perusahaan properti PT Mas Murni Indonesia yang memiliki Garden Palace Hotel di Surabaya, serta menjadi komisaris di PT Bank Tiara Indonesia. Nah, meski sosok M Noer, oleh sebagian orang dia dikenal sebagai gubernur legendaris, merakyat, dan termasuk sebagai tokoh panutan bagi sebagian besar masyarakat Jatim, dalam kariernya, dikenal juga sebagai sosok ideal gubernur Jatim. Tapi bagi sebagian orang lagi, M Noer juga tetap memiliki kelemahan. Sementara Soekarwo, berulang kali saya ajak kelola bisnis, bersama teman-teman pengusaha besar, selalu ia tolak, karena komitmennya masih sebagai pelayan publik. Bahkan istri dan tiga anaknya pun dilarang ikut berbisnis. Gubernur Soekarwo, Khofifah, Gus Ipul, Anas dan Emil, Noer, almarhum menjabat sebagai Gubernur sejak tahun 1967-1976. Sedangkan Soekarwo, berprestasi, cerdas dan merakyat, menjabat sejak tahun 2008-2018. Pria kelahiran Madiun, 16 Juni 1950, sejauh yang saya kenali adalah sosok birokrat tulen. Bahkan dari pidato yang sering saya simak, buku-buku hasil karyanya serta kebijakan politik pemerintahan selama menjadi Gubernur Jatim lebih sembilan tahun, ia seorang yang sangat visioner. Misalnya, saat menjabat Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur, Pakde Karwo, sudah melontarkan gagasan pelayanan publik. Konsepnya ini, karena Pakde merasa tak pantas pejabat itu menikmati birokratnya sebagai pemerintah. Pakde yang pengagum ajaran Bung Karno, tentang marhaenisme, gotong royong dan Trisakti, bikin terobosan memposisikan semua birokrat adalah pelayan. Maka itu, sejak di Sekdaprov, Pakde Karwo sudah mengubah perilaku birokrat dalam melayani publik dengan mekanisme mesin seperti di bank-bank. Hal ini untuk memudahkan urusan administrasi pelayanan. Artinya, gagasan demi gagasan kerakyatan yang berpihak pada publik terus dikembangkan. Saat mulai menjabat tahun 2008, misalnya, APBD yang hakikatnya dikutip dari rakyat diubah keberpihakannya pada rakyat dengan ‘’APBD untuk Rakyat”. Lalu, saat menjadi Gubernur periode kedua, Pakde gelisah dengan nasib UMKM di tengah globalisasi ekonomi. Ia kemudian menurunkan konsep Jatimnomics, agar pengusaha kecil bisa mengakses ke bank dengan bunga miring. Pria yang hidup dari pertanian di desa Palur, Madiun (7 kilometer dari Jalan Raya Madiun-Ponorogo), menghabiskan masa kecilnya di desa sampai SMA. Salah satu teman kostnya, Dr. Budi Setyawan, yang kini Ketua Bapeprov Jatim, tahu kesederhanaan Pak de dan semangat belajarnya. Maka itu, keberhasilannya sampai menjadi Gubernur dua kali berturut-turut, karena ia pekerja keras dan giat belajar. Maklum, ekonominya terbatas. Tak keliru, sejak kecil, ia sudah berpikiran harus ‘’melawan nasib’’. Dengan melawan nasib, ada titik terang, terutama dalam memenangkan peperangan untuk mengubah nasibnya. Pak De yakin, diantara generasi muda desa yang ada sekarang, bila berani ‘’melawan nasib’’ bisa juga menjadi gubernur sepertinya. Misal, Khofifah Indar Parawansa. Sekalipun dua kali head to head merebut Gubernur tahun 2008-2013, kini Pakde secara politik lebih memilih Khofifah-Emil, sebagai penerusnya ketimbang Gus Ipul alias Saifullah Yusuf. Mengapa? bisa jadi, nilai-nilai yang dimiliki Khofifah sama dengan Pakde, yaitu memiliki keuletan, kegigihan, kerakyatan dan berani “melawan nasib’’. Maka itu, dalam mendukung Khofifah-Emil, Pakde Karwo yang direstui oleh mantan Presiden SBY, tidak mau tanggung-tanggung. Ini jiwa besar Pak de, seperti yang dimiliki Soekarno. Makanya, Pak de sampai kini tak lekang memperjuangkan sektor usaha kecil dan menengah di Jatim. Pemberdayaan usaha kecil menengah yang selama ini terhimpit oleh konglomerasi, dianggap sebagai salah satu pemahaman yang diserap Pakde atas ajaran ekonomi-politik Bung Karno, yakni Marhaenisme. Pemahaman terhadap marhaen ini justru ada pada Khofifah, bukan Gus Ipul. Salah satu yang menonjol pada jiwa Khofifah, ia juga concern terhadap ibu-ibu, makanya ia rela menjabat Ketua Muslimat NU dua periode. Apalagi diserahi oleh Presiden Jokowi, untuk kelola Kementerian Sosial. Jiwa kerakyatan Khofifah, bertegak lurus dengan Soekarwo dan Soekarno. Hal yang saya serap dari buku-buku dan pidato Soekarwo, pemahaman tentang kaum marhaen seperti orang pondok yang khatam membaca Al Qur’an. Kaum marhaen now (kekinian) adalah rakyat kecil yang terhimpun dalam ruang lingkup kaum pekerja dan usaha kecil di mana saka gurunya adalah kaum tani. Mereka ada yang sudah menjadi pemilik alat produksi kecil, tetapi belum diorganisasi secara ekonomi-politik. Terutama untuk memenuhi hajat hidup dan memperkuat kemakmurannya. Perhatiannya ke UMKM dengan political will, dimaksudkan bisa mendongkrak hasil produksi UMKM agar menjadi lebih efisien. Harapannya, perusahaan UMKM bisa bersaing dengan produk dari perusahaan besar yang juga efisien, karena menggunakan teknologi. Memperhatikan berbagai kebijakan Oakde Karwo, hampir semua pembangunan ekonomi ditekankan kepada mereka yang kecil. Ini sejalan dengan konsep Marhaennya Bung Karno. Dan keberpihakan Soekarwo, dibuktikan lewat politik partisipatoris yang diterapkan untuk menjalankan roda kebijakan pemerintahan yang dipimpinnya, Jawa Timur. Hebatnya, dalam perumusan pembuatan kebijakan pembangunan, Pakde Karwo selalu mengajak dan mengikutkan akademisi dan banyak elemen berdialog yang berkepentingan. Akhirnya, meski dia dari sipil berhasil menjaga stabilitas politik di Jawa Timur. Ini menjadi kekhawatiran pada awal-awal dilantik tahun 2008 menggantikan Imam Utomo, gubernur berlatar belakang militer. Saat peralihan ini, tak sedikit pengamat politik yang meragukan Apakah bisa seorang berlatar belakang sipil memimpin politik dengan latar belakang masyarakat Jawa Timur yang beragam. Nyatanya, sampai periode kedua, Soekarwo bisa membuktikan menjaga stabilitas politik, pembangunan dan ekonomi pun di Jawa Timur berjalan dengan baik. Dalam kajian kultural yang saya pelajari, pengikut sebuah ajaran yang telah diakui kemanfaatannya secara nasional seperti ajaran BK bisa mengkultuskan individu BK. Sementara yang lebih rasional, cukup menyerap konsep-konsep kenegaraan BK untuk bangsa dan rakyatnya. Pakde Karwo termasuk sosok yang mengikuti ajaran BK dengan serapan intelektualnya. Nah, dalam beberapa buku dan pemikiran yang ditulisnya, saya menyerap terkandung nilai-nilai perjuangan BK yang sangat herois. Maka itu, saya lebih memilih Pak de ini pengikut ajaran BK, bukan pengikut gaya kepemimpinan BK. Sebagai pengikut ajaran BK, pikiran-pikiran BK tentang Pancasila, Trisakti, Berdikari, Gotong royong dan Bhinneka Tunggal Ika, Diimplementasikan dalam membangun provinsi Jawa Timur. Berbeda dengan Ketua Umum NasDem, Surya Paloh, yang cenderung lebih meniru gaya kepemimpinannya BK. Ini saya amati dari cara Surya Paloh, berpidato yang meledak-ledak seperti saat BK berorasi ketika berkuasa dulu. Kembali, tentang pembangunan di provinsi yang dipimpinnya, Soekarwo, yang sejak tahun 2014 fokus memperhatikan sektor UMKM, makin memperjelas penguasaan tentang marhaen. Lapisan ini diterjemahkannya dalam policy dengan mendistribusi uang yang idle di Bank Jatim untuk memberdayakan sektor UMKM. Hasilnya, sektor UMKM di Jatim berkembang sampai 6,8 juta jiwa. Menariknya, UMKM di Jatim sampai tahun 2016 mampu melakukan serapan tenaga kerja se-Jatim sebesar lebih dari 11 juta jiwa. Bahkan salam sebuah seminar, saya mencatat Pakde Karwo menyatakan bahwa prinsip pembangunan yang dia terapkan untuk membangun Jatim bersandar pada Trisaktinya Bung Karno. Ajaran Soekarno ini menggariskan sebuah prinsip pembangunan bernegara yang berpijak pada berdikari secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Nah, dalam era globalisasi, prinsip Trisakti ini oleh Soekarwo, dikontekstualisasikan melalui metode perjuangan bersama pelaku usama UMKM di era globalisasi. Perjuangan baru yang dilakukan Soekarwo, ini berbeda dengan Rizal Ramli, yang juga pengikut ajaran Soekarno. Baru beberapa bulan menjadi pembantu presiden Jokowi, Rizal Ramli, tersingkir. Padahal, RR, nama akrab Rizal Ramli, amat dekat dengan anak biologis Soekarno, seperti Megawati dan Rachmawati. Apa kunci Soekarwo, yang sejak lama sudah dikenali oleh kalangan akademisi Unair, UGM dan UI, sebagai Soekarno kecil asal Madiun. Sebagai Soekarno kecil, Soekarwo, orang nasionalis yang low profile, menunjukkan konsistensi kerakyatannya. Ia yang saya kenal, bukan gubernur yang memanfaatkan jabatannya seperti umumnya Gubernur. Ini mungkin gagasan yang belum selesai dikerjakan yaitu mewujudkan Trisakti sebagai poros utama pembangunan Jatim. Maka itu, ia kini menyiapkan kader yang pantas menjadi penerus Trisakti dalam pembangunan di Jatim. Siapa? Secara emosional, Soekarwo cukup dekat dengan Gus Ipul. Maklum, sembilan tahun bersatu dalam tugas kelola pemerintahan provinsi. Tapi dari aspek politik, budaya, sosial dan hukum yang disupport Pak de justru Khofifah, tokoh muslimat yang juga konsisten blusukan ke desa-desa, mengaji bersama ibu-ibu .([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU