Home / Pilpres 2019 : Semalam, Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Ku

Jokowi-Ma’ruf, Resmi Presiden

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 28 Jun 2019 10:40 WIB

Jokowi-Ma’ruf, Resmi Presiden

Jaka Sutrisna, Rangga PutraTim Wartawan Surabaya Pagi SURABAYA PAGI, Jakarta - Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan kuasa hukum Capres Prabowo-Sandi. Termasuk soal ststus cawapres Maruf sebagai dewan penasihat BNI Syariah dan dana kampanye Jokowi. Bersamaan pembacaan putusan ini, Calon presiden 01 Joko Widodo sudah siap bersama cawapresnya Maruf Amin, berada di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Rencananya Presiden Jokowi, akan bertolak ke Jepang untuk mengikuti pertemuan G20. Presiden bersiap bersama Maruf, cawapresnya memberikan pernyataan di Halim, terkait putusan MK. "Saya menjemput Pak Kiai untuk ke Halim, kita sama-sama ke Halim. Nanti kita nobar di sana dan akan memberi statement di sana," kata Jokowi, semalam . Sebelum Jokowi menjemput KH Marif, KPU sudah optimistis Mahkamah Konstitusi (MK) akan menolak gugatan Prabowo dalam sidang sengketa Pilpres 2019. Jadwalnya setelah putusann MK, KPU akan langsung mengadakan rapat pleno penentuan tanggal penetapan pasangan calon terpilih. Dalil 02 DimentahkanMahkamah Konstitusi (MK) menganggap dalil gugatan Prabowo-Sandiaga yang mengklaim menang 52 persen tidak beralasan. Klaim itu tidak dapat dibuktikan."Pemohon mendalilkan, berdasarkan dokumen C1 yang dimiliki pemohon, perolehan suara pemohon adalah 68.650.239 atau 52 persen," kata hakim MK Arief Hidayat saat sidang pembacaan putusan di gedung MK, Kamis siangnya (27/6/2019). Dalam sidang pembuktian, Prabowo-Sandiaga mengklaim ada perbedaan hasil suara yang sebenarnya dan dengan versi KPU. Berdasarkan versi KPU, Jokowi-Maruf memperoleh 85.607.362 suara, sementara Prabowo-Sandiaga 68.650.239. Ketua tim hukum Prabowo-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto (BW)mempertanyakan cara kerja tim forensik yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK) . Pasalnya, Bukti C1 yang mereka miliki dianggap tidak meyakinkan. BW jugamembela keterangan ahli Jaswar Koto yang dimentahkan hakim Mahkamah (MK) terkait perbedaan suara sah Pilpres dengan Pemilihan anggota DPD. BW mengaku ahli yang dihadirkan memiliki argumen kuat mengapa membandingkan suara DPD dengan Pilpres. "Kami punya argumen ada suara tidak sah yang berbeda antara DPD dengan pilpres. Tadi argumen mereka (hakim) kenapa nggak dibandingkan dengan DPR. Ada logic yang beda, kalau di DPR kan banyak partai yang bisa dipilih, jadi nggak bisa dicocokkan," kata BW. "Seandainya dengan DPR, ternyata suara tidak sah di sana gede. Jadi kita katakan, kok suara tidak sah di presiden jauh lebih kecil daripada di DPD. Jadi itu agak cocoknya di DPD. Tapi majelis hakim ke DPR, sekarang saya tanya apakah masyarakat tahu jumlah partainya? Itu soal paradigma," imbuhnya. BW juga menepis anggapan bahwa bukti yang diajukan mereka lemah. Dia juga mengatakan terkait data scan C1 yang diserahkan timnya kepada mahkamah, menurutnya jika mahkamah ingin menolak hal itu sebaiknya melakukan metode forensik untuk mengetahui keaslian C1 itu. "Kalau hasil C1 (disebut) nggak benar, harusnya ada metode forensik yang dipakai, ini sama sekali nggak ada, dia katakan hasil nggak bisa diyakini, terus kalau nggak bisa diyakini, gimana caranya itu? Jadi ini hanya sudut padang beda dalam meyakinkan itu," ucapnya. TPS Siluman tak JelasMahkamah Konsitusi (MK) menganggap dalil adanya TPS siluman yang diajukan tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 tidak jelas. Alasannya, MK menilai dalil tersebut tidak dapat diperiksa karena bukti yang diajukan oleh tim 02 tidak bisa menunjukkan dengan jelas TPS siluman itu. "Dalil pemohon demikian menurut Mahkamah tidak dapat diperiksa lebih lanjut karena pemohon tidak menguraikan lokasi TPS yang disebut pemohon sebagai TPS siluman. Termasuk pemilih yang memilih di TPS tersebut," kata hakim konstitusi Saldi Isra sebelum sidang di skors kedua. Sudah Sesuai Prediksi Terkait sejumlah dalil yang ditolak MK ini, pakar hukum tata negara Universitas Negeri Surabaya Hananto Widodo menilai, arah putusan MK sudah sesuai dengan prediksi sebelumnya, yaitu menolak seluruh gugatan pemohon. Pasalnya, seluruh saksi dan dua ahli yang diajukan pemohon, tidak mampu menunjukan secara meyankinkan telah terjadi kecurangan TSM. Menurut pengamatan Hananto, pihak pemohon seperti sedang menebar jala dalam kolam. Seluruh dugaan kecurangan dipaparkan dengan tujuan ada salah satu atau beberapa yang terjaring. Hananto menyontohkan proses rekapitulasi Situng. Pihak pemohon bukannya tidak tahu kalau Situng tidak menjadi media rekapitulasi yang sah. Proses rekapitulasi yang sah menurut undang-undang adalah rekapitulasi berjenjang mulai dari TPS, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Namun, pihak pemohon bersikukuh kalau input data yang merugikan paslon 02 sebagai bentuk kecurangan. "Terlihat sekali kalau pemohon berusaha mendalilkan semua dugaan kecurangan dengan harapan ada yang kena," cetus Hananto kepada Surabaya Pagi, Kamis (27/6/2019). Oleh sebab itu, ketua Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Unesa itu berpendapat, dalil-dalil yang diajukan pemohon tersebut kontradiktif dengan kesaksian 15 saksi dan dua ahli mereka. Sebelumnya, pihak pemohon berniat mengajukan ratusan saksi demi kualitas pembuktian persidangan. Hanya saja, belasan saksi dari pemohon 02 tersebut justru sebaliknya, tidak mampu memperkuat dalil. Selain itu, sebagian besar kasus dugaan kecurangan yang didalilkan pemohon, menjadi kewenangan lembaga lain yaitu Bawaslu. "MK ini kan lembaga yang mengadili sengketa hasil, bukan proses karena sudah ada Bawaslu." Waktunya RekonsiliasiSementara itu, pengamat politik Universitas Trunojoyo Surokhim Abdus Salam juga sependapat dengan Hananto Widodo. Menurutnya, putusan MK sudah bisa ditebak sebelumnya sejak proses sidang pemeriksaan. Para saksi dan ahli yang didatangkan kubu 02, tak mampu membuktikan dalil mereka. "Sudah seperti yang diprediksi sebelumnya, kubu 02 tidak mampu membuktikan dalil mereka di persidangan MK," ungkap Surokhim. Oleh sebab itu, peneliti senior lembaga survei Surabaya Survey Center ini menyarankan, setelah putusan MK digedok, sudah waktunya kedua belah pihak baik kubu 01 dan 02 untuk rekonsiliasi. Soalnya, sambung Surokhim, secara psikologis dalam ilmu sosial, putusan MK yang menolak gugatan 02 malah bisa lebih mempersolid barisan pendukung mereka. Oleh sebab itu, proses rekonsiliasi idealnya datang terlebih dahulu dari yang menang, yaitu dari kubu 01 demi kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian, kubu 02 bakal bisa lebih menerima jika yang menang datang ke mereka. "Kubu 01 dalam hal ini Pak Jokowi, ada baiknya menelepon Pak Prabowo terlebih dahulu. Apabila kedua elit tersebut berdamai, niscaya akar rumput juga turut demikian. Kita ini masih punya masa depan, capek kita 10 tahun saling berseteru," papar Surokhim. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU