Home / Catatan Tatang : "Catatan Wawasan Kebangsaan" (1)

Pers Nasional Soroti Penyelenggara Negara Rangkap Pebisnis PCR

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 02 Nov 2021 20:39 WIB

Pers Nasional Soroti Penyelenggara Negara Rangkap Pebisnis PCR

i

Catatan Dr. H. Tatang Istiawan

Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga saat ini ada potensi konflik kepentingan mahalnya harga pemeriksaan polymerase chain reaction atau Tes PCR di Indonesia.

ICW bahkan mengusik posisi Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Abdul Kadir, yang merangkap Komisaris Utama PT Kimia Farma Tbk (Persero).

Baca Juga: Luhut Penasaran, Taylor Swift tak Manggung di Indonesia

Abdul Kadir, meneken Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 yang menetapkan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp 900.000,- pada 5 Oktober 2020. Setelah itu, pemerintah menurunkan tarif PCR menjadi Rp 495 ribu.

Pertanyaan sederhananya, bagaimana mungkin seseorang yang membuat regulasi tentang tarif pemeriksaan PCR, dibolehkan menduduki posisi Komisaris Utama di BUMN Kimia Farma yang juga bertindak sebagai pihak penyedia jasa layanan PCR? Aneh bukan?

Juga Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, membeberkan ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) tes PCR yang di lapangan banyak diakali oleh penyedia tes sehingga harganya naik berkali lipat.

Bahkan Ketua Jokowi Mania (JoMan), Immanuel Ebenezer mengantongi data yaitu ada sejumlah menteri ikut dalam pengadaan PCR selama satu tahun setengah belakangan ini.

Sementara Mantan Direktur Publikasi dan Pendidikan Publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Agustinus Edy Kristianto menemukan sejumlah nama menteri terafiliasi dengan bisnis tes Covid-19, baik PCR maupun Antigen.

Melalui akun Facebook pribadinya, Edy menyebut sejumlah nama yakni yaitu Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan; dan Menteri BUMN, Erick Thohir.

Dan kemudian, Juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, ditengah sorotan publik melalui pers tentang tes PCR,

Mengakui Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan ikut dalam perusahaan GSI yang mengelola laboratorium untuk tes PCR.

Dalam catatan Litbang Surabaya Pagi, saat ini, sedikitnya ada 125 pejabat juga menduduki posisi Komisaris BUMN. Para pejabat yang memiliki jabatan rangkap itu, berasal dari berbagai instansi. Mulai dari kementerian, Sekretariat Kabinet, TNI/Polri, kalangan akademisi dari beberapa Perguruan Tinggi Negeri, hingga pejabat daerah.

Terkait fakta fakta ini, muncul pertanyaan untuk apa sebenarnya pendidikan atau pengetahuan wawasan kebangsaan diadakan bagi penyelenggara negara.

Pers tepatnya media mainstream tergelitik menyorotinya. Sederhananya soal etika kehidupan berbangsa. Etika ini memiliki rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal. Selain nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila.

Bagi akal sehat saya Ini adalah acuan dasar dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (wawasan kebangsaan).

Dalam literasi disebutkan bela Negara bukan hanya tugas TNI, tapi seluruh warga termasuk insan pers. Wartawan dan lembaga pers punya tugas yang sama dalam upaya menjaga Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI). Dalam Pasal 30 ayat 1 UUD 1945, misalnya ditulis setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

Nah berpedoman terhadap UUD 1945, maka pers bisa ikut dalam upaya bela negara, baik melalui pemberitaan dan tulisan. Inilah wujud bela negara dalam segala aspek dan segala bidang. Artinya selain melawan proxy war, tantangan terbesar bangsa Indonesia kedepan yakni masalah regulasi yang kadang ada yang tidak sesuai dengan undang-undang.

Jujur, tanpa disadari, pers sudah lama masuk ke pusaran kapitalisme dan bersinggungan dengan praktik oligarki.

Sesuai fungsinya, pers dapat membantu memberikan edukasi dan informasi terhadap masyarakat mengenai bahaya dan dampak dari keterlibatan pejabat dan penyelenggara negara yang membuat regulasi tapi turut berbisnis. Selain merangkap menjadi pejabat di BUMN.

Merosotnya pemahaman dan rasa cinta masyarakat khususnya generasi muda akan wawasan kebangsaan sebagai nilai nilai luhur, adalah segelintir dari efek negatif yang timbul. Ini memerlukan upaya konkret dari semua elemen untuk menghasilkan masyarakat dan generasi muda yang cinta tanah air.

Lebih jauh, setiap warga negara dituntut mampu berperan sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk berkontribusi dalam membela negara, antara lain melalui perubahan cara pikir dan cara pandang, membangun dan mempertahankan kejujuran sebagai modal utama untuk berwawasan kebangsaan yang baik.

Berikut catatan wartawan Surabaya Pagi, Dr. H. Tatang Istiawan, tentang peran pers kritis yang harus berani soroti penyelenggara negara yang rangkap jadi pebisnis tes PCR. Terutama gunakan pendekatan wawasan kebangsaan penyelenggara negara.

 

***

 

SELURUH warga negara dan pemerintah, sampai kini saya amati sama-sama kuwalahan dalam menghadapi penyebaran virus corona sejak awal tahun 2020.

Baca Juga: Dirut PLN Raih Best CEO of Communications, PLN Jadi Best of The Best Communications

Banyak aspek yang menyebabkan kerja-kerja pemerintah dalam menghambat penularan korona ini semula sangat lambat. Ditambah minimnya pengetahuan dan  kesadaran masyarakat terhadap virus corona. Peristiwa ini menjadi kendala besar dalam melaksanakan upaya mengatasi penularan sekaligus pencegahan, sehingga pemerintah membuat kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), bukan lockdown.

Meski namanya berbeda, tapi dampak PPKM pada masyarakat tak berbeda jauh dengan negara yang terapatkan lockdown.

Saya amati selama PPKM Darurat berlangsung, sejumlah aktivitas warga telah dibatasi, terlebih pada aktivitas ekonomi. Tentu hal ini memberikan dampak yang cukup besar terhadap sejumlah sektor perekonomian yang ada.

Juga Lockdown (karantina wilayah secara total) menjadi pilihan yang diperdebatkan oleh beberapa kalangan mulai dari elit pemerintah hingga para aktivis kesehatan. Beberapa pihak menilai bahwa Indonesia belum siap untuk lockdown, hal tersebut didasari karena Indonesia belum siap bila terjadi penurunan ekonomi.

Nah, kini ada tes PCR untuk calon penumpang pesawat udara. Dipublikasikan ini usaha pemerintah untuk meminimalisir penyebaran virus corona di atas pesawat udara.

Soal tes PCR, akal sehat saya teringat akan korban yang terdampak covid-19 tidak hanya masyarakat biasa, garda terdepan seperti dokter dan perawat yang menangani korban juga terpapar dan gugur dalam tugas. Momen korona ini menajdikan masyarakat saling bahu membahu membantu warga yang terdampak. Kondisi yang serba menegangkan ini ternyata masih ada oknum yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dengan menimbun masker, atau memborong masker yang tersedia, sehingga terjadi kelangkaan masker. Sebelum tes PCR ramai, kebutuhan akan masker dan ADP juga tak kalah riuhnya.

Saat itu hampir setiap hari, stocknya semakin menipis, sedangkan alat tersebut sangat di butuhkan oleh dokter dan perawat yang menangani wabah korona ini. Melihat kondisi seperti itu, masyarakat berbondong-bondong mengumpulkan dana untuk membeli masker dan APD. Masker dan APD yang terkumpul kemudian disumbangkan untuk petugas penanganan Covid-19. Kini diguncang aturan tes PCR.

Rakyat seperti digoyang terus oleh pebisnis masker, vaksin dan kini tes PCR.

Sebelum tes PCR, pernah menjadikan beberapa usaha kecil harus ditutup sementara untuk memutus penyebaran virus korona. Selain penutupan usaha sementara. Juga PHK buruh terjadi di beberapa perusahaan. Semua ini dilakukan untuk meminimalisir kerugian akibat dampak wabah korona. Banyaknya masyarakat yang mengalami kerugian akibat wabah ini. Beberapa Influencer dan Ormas mulai menginisiasi penggalangan dana untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Bantuan yang di berikan berupa kebutuhan pokok harian hingga uang tunai. Tindakan tersebut didasari oleh rasa empati masing-masing orang untuk membantu orang lain. Sehingga wabah korona ini dapat dijadikan momen untuk pembelajaran rasa empati terhadap orang lain kepada anak-anak atau orang dewasa. Selain memberi bantuan rasa empati yang dapat ditunjukan yaitu dengan tetap menjaga diri dari kerumunan dan setuhan fisik yang memungkinkan terjadi penularan virus korona. Kini tes PCR dimainkan oleh pebisnis. Dari harga Rp 900 ribu, Rp 490 ribu sampai Rp 275 ribu. Inikah empati penyelenggara negara dan pebisnis tes PCR? Walahualam.

 

***

 

Baca Juga: Okupansi Pesawat dan Hotel Singapura Naik Gegara Taylor Swift, Luhut Bakal Adakan Konser Tandingan

Sampai Selasa kemarin (2/11/2021), nama Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan sejumlah pejabat kabinet Presiden Jokowi dicurigai terkait dalam bisnis tes PCR di Indonesia oleh ICW dan mantan pejabat YLBHI Jakarta.

PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang menjadi perusahaan penyedia tes Covid di RI itu disebut didirikan Luhut dan 8 pemegang saham lainnya. Namun, Juru Bicara Menko Marves, Jodi Mahardi menegaskan tak ada konflik kepentingan dari keterlibatan Luhut di PT GSI.

Jodi mengakui memang sebelumnya ada sejumlah pengusaha yang berniat membantu penanganan pandemi pada awal 2020. Para pengusaha tersebut mengajak Luhut mendirikan PT GSI yang fokus melayani tes Covid-19. Jodi menyampaikan PT GSI tidak pernah membagikan deviden, termasuk untuk Luhut. Keuntungan yang diperoleh PT GSI digunakan untuk menggelar tes Covid-19 gratis secara massal.

Pers kritis tahu perbedaan tak ada konflik of interest sebagai sebuah pembelaan atau pernyataan akal sehat.

Artinya, pejabat yang ikut berbisnis vaksin sampai obat dan alat tes PCR pantaskah diklaim tak memiliki conflict of interest?.

Menurut akal sehat saya sebuah pembelaan atas dugaan penyelenggara negara ikut berbisnis alat kesehatan adalah hak . Disana ada hak memungkiri. Tapi pembelaan semacam ini dapat dipastikan tidak mengandung akal

sehat. Mengingat penyelenggara negara punya kewenangan membuat regulasi. Sedangkan pebisnis memanfaatkan peluang pasar dan kadang mengakali aturan yang dibuat regulator. Dalam praktik oligarki, pebisnis bisa berani berpikir pragmatis. Antara lain mengajak penyelenggara negara berkongsi. Dengan berkongsi kepentingan pebisnis yang mencari cuan, tidak segan mau membagi cuannya dengan penyelenggara negara. Demikian sebaliknya penyelenggara negara acapkali menggunakan momen perkongsian dengan pebisnis untuk menambah pundi pundi kekayaannya. Akal sehat menilai praktik semacam itu adalah pola simbiosis mutualisme.

Akal sehat saya berkata aabila Insan penyelenggara negara menemui kondisi Konflik Kepentingan (Conflict Of Interest) yang tidak sesuai dengan ketentuan undang undang, harus mundur dari jabatannya.

Salah satu faktor pendorong ia harus mundur, khawatir memunculkan tindak pidana korupsi )conflict of interest).

Konflik kepentingan ini seperti hubungan afiliasi antara seorang Penyelenggara Negara yang terlibat dalam berbisnis tes PCR.

Ini adalah situasi ketika seorang Penyelenggara Negara hendak mengambil keputusan terkait dengan sebuah lembaga di mana pejabat tersebut memiliki rangkap jabatan dalam bisnis. Situasi rangkap jabatan ya penguasa-dan pengusaha, acapkali berpotensi berpengaruh pada kualitas keputusan yang diambil oleh Penyelenggara Negara yang bersangkutan. Dan praktik semacam ini dapat mendorong terjadinya tindak pidana korupsi.

([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU